Malam menggantung pucat di puncak
pekat. Begitu kecil begitu sipit cahaya tercurah dari arah bulan sabit,
menyirami jalan setapak menuju pondok,
sedikit-sedikit. Dari arah selatan, kesiur angin laut menampar wajah seorang
remaja perempuan, mencubit-cubit kulitnya hingga merekahkan gigil. Hendak ia
percepat langkahnya saat melewati samping kiri tanah kebun luas yang ditanami
rimbun pohon singkong Sumatera. Daun singkong kecil-kecil sesaat melambai
dikecup angin, terlihat seperti bayangan tak bernama bergoyang-goyang di
matanya. Ingatannya tiba-tiba ngilu. Tak ada lampu penerangan menuntunnya kecuali
seonggok bulan sabit.
Di kesunyian dusun yang harus
menempuh 35 km untuk sampai ke kota kecamatan, seorang remaja perempuan
bergegas percepat langkahnya. Seorang diri menyusuri kelokan jalan setapak tak
beraspal di bawah bukit. Ia mendekap sebuah tas tak jelas warnanya. Sesekali
kerudungnya berkibar-kibar dicandai angin dari tubuhnya yang setengah berlari
ringan.
Sebuah pondok dengan penerangan lampu
minyak mulai redup di ujung dusun menjadi tujuan sang remaja perempuan itu. Ia
pelankan gerak tubuhnya begitu memasuki pekarangan tanah di depan pondok.
Dengan kaki bersijingkat hati-hati ia ketuk pelan pintu rumah. Lalu beruluk
salam. Sesosok kepala berkerudung sulaman bunga warna kuning menyembul dari
balik daun pintu setengah terbuka, menjawab salam, dan mengulurkan tangan. Sang
tamu mencium punggung tangan itu lantas mengikuti langkah tuan rumah.
“Jadi kamu sudah bulat tekad,
Nduk?”, Nyai Sarah bertanya setelah sebelumnya didahului basa-basi sebentar, sembari
mengangsurkan secangkir kopi ke hadapan tamunya.
“InsyaAllah, Lala sudah nawaitu,
Nyai”, dijawabnya pendek berikut senyuman kecil.
“Apa orang tuamu sudah setuju?”
“Bapak mengijinkan, sedang Ibu
tidak. Tapi saya tetap kekeuh dengan niat saya ini, Nyai..” sedikit
gugup Lala menyeruput kopi dalam genggaman tangan kanannya. Di bawah sinar
lampu temaram, dua orang perempuan beda usia duduk bersimpuh memilih jeda
pembicaraan. Di luar, angin bertiup makin kencang. Ini musim kering, saban malam
hari angin tak henti-hentinya menghentak-hentakkan dingin. Suara ranting pohon
jeruk Bali di sisi kiri depan beranda pondok terdengar patah dan jatuh ke
tanah. Tak ada percakapan panjang setelah itu. Sunyi. Jeda pembicaraan
mengantar pikiran masing-masing. Sejurus kemudian Nyai Sarah mempersilakan Lala
masuk untuk beristirahat di kamar.
Di belakang rumah utama tampak
beberapa bilik kecil berbentuk rumah panggung kayu dengan pondasi sekotak batu
limasan. Bangunan pondok pesantren salaf milik Nyai Sarah. Masing-masing
terdiri dari empat buah batu sebesar helm pengendara motor dewasa untuk
menyangga sepetak bilik yang dihuni kurang dari enam orang santri putri. Nyai
Sarah memang hanya memiliki santri mukim, kurang dari duapuluh saja jumlahnya.
Semuanya perempuan. Barangkali lantaran suara angin begitu kencang di luar,
aktivitas mendaras Al-Quran yang sudah menjadi tradisi di dalam bilik
masing-masing itu menjadi tak terdengar. Lala berusaha menajamkan pendengaran demi
memastikan ada tidaknya suara-suara dari seberang luar kamar yang ia tempati
sekarang, namun tak berhasil ia dengar sesuara selain hempasan angin
berkali-kali. Matanya tak henti-hentinya berkedip cepat. Gerakan tangan beserta
tubuhnya pun mulai tak stabil. Ada kecemasan yang menyala di sudut keningnya.
*****
Bianglala, nama lengkap gadis itu. Seorang gadis
remaja yang tengah risau. Simpangan jalan hidup hendak ditempuhnya. Ia
menamatkan SMA-nya di perantauan. Di kota sejuta cerita para pelajar itu ia
mengenyam pendidikan cukup mapan dan tinggal di sebuah asrama modern. Tak ada
yang luar biasa dari kisahnya sebagai pelajar. Belajar rajin, meraih prestasi
yang stabil, dan menggondol selembar ijasah kelulusan dengan hasil sangat
memuaskan. Modal yang lebih dari cukup untuk menapak jenjang selanjutnya.
Suara pintu kamar diketuk
mengagetkan dirinya. Nyai Sarah masuk pelan menyodorkan selimut tebal.
“Tidurlah, sebelum Subuh nanti kau harus sudah bangun. Amalan pertama
akan kau lakukan nanti”, suara datar Nyai Sarah diikuti anggukan kepala Lala.
Gadis itu mematung sesaat setelah pemilik rumah keluar kamar dan menutup pintu
dengan tersenyum.
Lala rebahkan tubuhnya, menatap
langit-langit kamar. Nyala pelita di atas meja ujung kamar meredup,
bergoyang-goyang memantulkan bayangan kelambu di dinding. Ia teringat perdebatan
sengit dengan ibunya sebelum ia berangkat menuju pondok ini.
“Ibu tidak ijinkan kamu ke sana.
Kamu harus lanjut kuliah”, terngiang
suara ibunya berapi-api.
“Tidak, Bu. Ini sudah keputusan
Lala. Lala ingin berkonsentrasi mendalami agama. Mendalami suluk. Tarekat.
Hanya di pondok Nyai Sarah tempat yang pas untuk Lala”, santun Lala mencoba
menjawab.
“Sebaiknya biarkan saja Lala
memilih, Bu. Toh itu juga belajar namanya. Belajar kan tidak harus di perguruan
tinggi. Sudah bagus anak kita berniat mendalami agama”, Bapak menimpali.
“Bu, Lala tetap akan ke sana. Ini terasa
seperti panggilan jiwa. Susah sekali Lala mengelaknya. Yakinlah Ibu, keputusan
ini akan membuat hati Lala tenang. Aduhai, Ibu restuilah..”
“Tidak! Pokoknya Ibu tidak setuju!”
suara ibunya meninggi. Bapaknya terdiam. Tak berdaya menengahi. Dua perempuan
terkasihnya sama-sama keras kepala.
Lala menegarkan diri. Tidak
menangis. Ia mencoba memahami. Harapan ibunya agar ia menyandang gelar sarjana
begitu tinggi. Apalagi ia merupakan anak semata wayang. Namun ia tidak berminat
sama sekali. Atau mungkin hanya belum.
Semua ini tidak terjadi secara
kebetulan. Pertengahan tahun sebelum ia selesaikan sekolah menengah atas, Lala
merasakan sesuatu tengah melanda dirinya. Di dalam batinnya. Tak tahu bagaimana
ia katakan istilahnya. Lala hanya merasakan hatinya sejuk, hilang semua murung,
dan merasa intim akan kehadiran Tuhan dalam dirinya secara tiba-tiba. Gadis itu
merasa seakan ada pusaran gaib di dalam jiwanya yang membuatnya tenang, indah,
dan bahagia. Ia tergugu dan menangis berhari-hari. Ia merasa sendiri. Merasa
hanya ia yang mengalami. Tanpa menemu jawaban dari sekian tanya, Lala
kelimpungan sendiri. Hingga suatu hari ia ceritakan kepada guru ngajinya.
“Sepertinya kamu tengah mengalami ekstase
dalam perjalanan imanmu. Jika kamu kuat menghadapinya, kamu tak boleh berhenti
di sini saja. Kamu harus mencari jalan ke sana”
“Maksud Ibu jalan apa? Bagaimana?”
“Jalan tarekat. Tapi tidak mudah.
Butuh teguh dan niat yang kuat. Tapi ibu yakin kamu mampu, La..”
*****
Sejak itu, Lala kerap menemui Nyai
Sarah sebagaimana arahan sang guru. Nyai Sarah, sosok perempuan paruh baya nan
sederhana itu telah memikat hati Lala sejak kali pertama bertemu. Tutur kata
sopan dan lembut mengajak dirinya hanyut. Bianglala penasaran, mengapa
perempuan sehebat Nyai Sarah yang baginya memiliki magnet spiritual luar biasa itu
bisa jauh dari penglihatan orang-orang? Mengapa di lereng bukit terpencil
sebuah dusun tak jauh dari sebuah teluk kecil pinggir laut, berikut keelokan
pantai yang belum terjamah nalar kapitalis perancang destinasi wisata, ia musti
bertempat tinggal? Sungguh, sebuah tempat yang jauh sekali dari hiruk-pikuk
manusia pemburu modernitas. Bahkan, listrik pun tak ada. Sungguh, Lala
merasakan ia berada di tempat yang nyaris tak pernah terjangkau oleh otaknya selama
ini, yang kelewat lama menyatu dengan dunia kota. Kehadirannya di tempat ini
pun tak mudah, lantaran akses transportasi yang tidak memadai. Lala harus
menghitung dan memastikan dengan cermat berapa waktu dan seberapa aman
perjalanan mesti ia tempuh. Sebuah perjalanan travelling yang tidak
biasa. Dan ia tempuh seorang diri.
“Saya tidak mengerti apa yang
tengah terjadi pada diri saya, Nyai. Hati saya kebat-kebit, bingung.
Inginnya nangis terus tapi tidak tahu mengapa dan untuk apa saya nangis.
Pengennya menyendiri saja. Nggak ingin pergi main sama teman-teman”, kisah Lala
waktu pertama bertamu ke Nyai Sarah. Yang duduk di depan Lala hanya melempar
senyum bijak. Gadis remaja yang pemberani, pikirnya. Tanpa sungkan bercerita
tentang pribadi kepada orang yang baru dikenalnya. Nyai Sarah menatap lekat ke
wajah gadis itu. Menyapu ke seluruh bagian paras cantiknya. Seakan-akan ada
yang hendak ia pastikan dari pemandangan di depannya. Ia mengenali beberapa
garis yang tergurat dari gadis itu. Nyai Sarah bahagia ketika pada detik-detik
tertentu mereka bersitatap, ia rasakan ada kesamaan yang juga ia miliki dari
penampakan ayu di depannya. Perempuan itu seolah melihat lipatan dirinya ada di
dalam diri seorang Lala.
“Itu namanya takdir orang hidup,
Nduk. Garis jalan hidup yang mesti dilalui. Dulu Ibu juga pernah mengalami
sepertimu. Hanya saja Ibu membiarkannya dan segera lupa”
“Trus saya mesti gimana, Nyai?”
“Jalani saja. Ketahuilah, bahwa kamu
mendapatkan cahaya petunjuk dari Tuhan. Hati kamu bersih, Nduk. Maka cahaya itu
mudah merasuk ke dalam dirimu. Yang perlu kamu lakukan hanyalah menjaganya agar
jangan sampai hilang. Dekatkanlah
senantiasa dirimu kepada-Nya. Ingatlah Tuhan di setiap detik napasmu.”
“Rasanya Lala sudah melakukan itu
semua, Nyai. Tapi mengapa hati Lala masih rusuh begini?”
“Butuh waktu. Butuh berdamai dengan
dirimu sendiri. Kamu masih teramat muda. Jangan menyerah untuk belajar dan
mencari tahu. Begitu juga dengan caramu mendekatkan diri kepada Tuhan.
Lakukanlah sembahyang lebih khusyu’ dari yang sudah-sudah. Dini hari, pada saat
sepertiga malam, gunakan untuk sembahyang. Berdialoglah dengan dirimu sendiri,
hakikatnya kamu sedang berdialog dengan Tuhan”
*****
Percakapan demi percakapan mengalir
biasa antara Lala dan Nyai Sarah. Tampaknya, perempuan paruh baya pemilik
pesantren itu memahami gejolak muda Bianglala. Segala pertanyaan diterimanya
dengan suka hati. Terkadang dijawab, terkadang hanya cukup mengulum senyum.
Gadis itu kian bertambah penasaran. Baru kali ini ia bersinggungan dengan ‘guru
spiritual’ secara lebih intens. Namun ia sejatinya tak paham mengapa ia berguru
ke sana. Berguru kepada Nyai Sarah. Bukan kepada Kyai atau guru laki-laki yang lain.
Bianglala diam-diam takjub sendiri.
“Mungkin ini yang namanya diperjalankan Tuhan. Mungkin Nabi Muhammad dulu juga
mengalami peristiwa batin sepertiku ini”, gumam Lala. Gadis itu membayangkan
Nabi ketika berada di Gua Hira. “Pastinya menggigil sepertiku. Pasti Nabi
mengalami kebingungan sepertiku, atau bahkan lebih hebat dariku, meski aku
merasa hampir gila”.
Kali ini ia teringat Bu Santi, guru
ngajinya di sekolah. Sebenarnya tidak begitu berbeda dengan Nyai Sarah, hanya
saja ia seorang guru yang mengajar di sekolah formal dan tidak memiliki
pesantren maupun santri. Dari guru di sekolahnya itu Lala menimba ilmu
pengetahuan tentang agama. Sesuatu yang membuatnya adem dan betah adalah Bu
Santi sangat ramah. Mengajarinya, juga murid-murid lain di sekolahnya dengan
ajaran dan ujaran yang menurutnya menentramkan. Tidak pernah sedikit pun
menyulutkan kebencian terhadap orang atau kelompok lain. Selalu mengajarkan
menghormati sesama dan tidak merasa benar sendiri. Lala selalu kagum dengan
sikap-sikap seperti itu. Bukankah agama semestinya memang mengajarkan hal
demikian?
Dari Bu Santi pula Lala beroleh penjelasan
utuh bahwa kedudukan laki-laki dan
perempuan adalah setara. Termasuk juga di dunia sufi, laki-laki dan
perempuan bermartabat sama. Hanya derajat amal kebaikan yang membedakan. Tak
hanya pada saat pelajaran di sekolah yang membuat Lala kian memahami hebatnya
Bu Santi. Di luar kelas, pun.
Alkisah, kepiawaian Lala yang fasih
dan merdu melantunkan ayat-ayat suci dalam perlombaan qiro’ah mengantarkannya
pada juara satu di sekolah dan berhak mewakili maju ke tingkat selanjutnya,
bersaing dengan sekolah lain. Namun, secara sepihak sekolah menggugurkan
kesepakatan itu dengan alasan yang tidak begitu jelas. Konon, usut punya usut,
sekolah menunjuk sang juara dua, seorang murid laki-laki untuk maju mewakili
sekolah. Alasannya, Lala seorang perempuan. Suara Lala adalah aurat, tak boleh
dipertontonkan di depan umum. Lala marah bukan main kala itu, lalu apa gunanya
menggelar kompetisi di sekolah jika hanya akan berakhir seperti itu? Lala mengadu
ke Bu Santi. Keduanya lalu bersama memprotes keputusan pihak sekolah, lalu
digelarlah sebuah rapat tertutup. Kendati mereka berdua kalah suara, namun Lala
jadi kian paham bahwa ia berada di pihak yang benar sementara dunia tidak adil
kepadanya. Hal itu ia ketahui dari argumen-argumen yang meluncur dari mulut Bu
Santi. Luar biasa, batin Lala.
Lala kerap dibuat kagum dengan
kisah-kisah yang meluncur dari mulut Bu Santi. Terutama kisah tentang
perempuan-perempuan hebat pada jaman dahulu. Tak disadarinya kadang, ia
terobsesi meniru mereka. Gejolak remajanya mudah meluap-luap, tatkala kisah Aisyah
istri Nabi yang hebat dalam menyusun strategi peperangan, diudarkan kepadanya.
Kendati Lala tak menyukai kekerasan apalagi peperangan, ia begitu menyukai gaya
perempuan ketika masuk ke medan perang. Apalagi jika menunggang kuda. Gambaran
tentang gagahnya seorang perempuan yang tubuhnya terguncang-guncang di atas
pelana sambil pegang kendali tali kekang, serta mengacungkan tombak atau pedang
adalah pemandangan yang sangat sedap di jangkauan kelopak matanya, sebagaimana pernah
ia lihat di film-film. Seketika, ingatannya melayang ke sosok Nyi Ageng Serang,
pahlawan nasional penunggang kuda yang kesohor dalam soal atur siasat perang.
Lala sering kali tak habis pikir, perempuan-perempuan hebat sepanjang sejarah
itu mengapa kini seakan senyap dari perbincangan?
*****
Bianglala nyaris tak mampu
memejamkan matanya. Kepingan-kepingan ingatan yang pernah ia salin satu-satu,
kini berjumpalitan muncul. Hilir mudik tak menentu menyesaki pikirannya. Suara
angin kencang di luar berubah menjadi kesiur rendah. Lala lelah. Lala resah. Teringat
ibunya di rumah. Sebenarnya tidak sekali dua ia pernah kisahkan pertemuan demi
pertemuan di pondok Nyai Sarah itu kepada ibunya. Namun ibunya seperti tak
bergeming. Alasan melanjutkan kuliah seakan hanya kedok saja untuk menutupi
ketidaksukaannya.
“Yang ibu tahu, seorang pemimpin
tarekat seperti mursyid semestinyalah seorang laki-laki, seorang kyai”, ucap
ibunya suatu kali.
“Mengapa bisa begitu, Bu?”
“Ya kalau laki-laki kan tidak
pernah menstruasi? Jadi ibadahnya kepada Tuhan bisa penuh dan total. Kalau
perempuan? Jelas tidak bisa. Setiap ada halangan seperti itu kan jadi tidak
beribadah, tidak boleh sholat, ngaji, atau juga puasa”
“Lho, bukankah perempuan menstruasi
dan tidak beribadah wajib itu demi mengikuti dan taat pada syariat juga Bu? Aturan
Tuhan? Apa itu tidak boleh dikatakan bahwa perempuan pun beribadah dengan
situasinya, Bu?”
“ Ya tetap saja kurang itu namanya”
“Lho, bukankah yang tahu kurang
tidaknya amalan kita itu hanya Tuhan, Bu?
“Ya pokoknya kalau untuk ukuran
menjadi pemimpin tarekat ndak bisa. Kalau memang kamu pengen masuk tarekat ya
harus berguru ke kyai! Yang kealimannya sudah terakui!”, ibunya mengakhiri
percakapan dengan suara sengit. Bianglala gusar. Bukankah ia hanya ingin
belajar? Apanya yang membedakan laki-laki dan perempuan dalam mengajarinya
untuk berdekatan dengan Tuhan?
Bianglala menjadi penyaksi dengan
inderanya sendiri, bagaimana kekhusyukan Nyai Sarah beribadah. Merapal dzikir
dan wirid. Mengajari santri mengaji. Menyimak setoran hapalan Al-Quran oleh mereka.
Lala melihat dalam diri sosok Nyai Sarah menyimpan nuansa batin yang luar biasa
lembut. Dan itu yang Lala inginkan selama ini!
“Apa kamu mau menjadi Rabiah
Adawiyah? Mana mungkin. Situasinya berbeda, La! Kita hidup di jaman modern. Tak
akan bisa kau capai derajat sepertinya! Apalagi hanya berguru dengan Nyai
Sarah! Seorang istri yang meminta cerai suami hanya karena nurut kepentingannya
sendiri”, kalimat-kalimat nyaring ibunya sekali lagi membuat ingatannya ngilu,
hatinya kelu. Menyakitkan nian kalimat terakhir itu. Lala hanya ingin
membuktikan bahwa seorang perempuan yang memimpin tarekat pun mampu mendidiknya
untuk menyelami jalan iman yang ia rasakan agung sekaligus aneh itu. Memiliki
keilmuan mendalam. Penghormatannya kepada manusia sangat besar meski tampaknya
ia tak banyak bicara. Lantas apa yang keliru dengan status perkawinannya?
Rabiah Al-Adawiyah tidak menikah.
Namun toh itu tak menghalanginya mendharmabaktikan dirinya kepada Tuhan. Ia tak
hendak meniru Rabiah atau siapapun. Ia hanya ingin mendekatkan diri kepada
Tuhan. Itu saja. Titik. Namun sesuatu merambat pelan di sudut hati Lala, perih
dan iba terhadap ibunya. Bagaimana ini? Hatinya ngilu.
Lala beranjak meraih tas yang ia
letakkan di atas meja sudut ruang dekat pelita. Ia memutar lingkaran kecil bergerigi
di bawah kaca semprong untuk mengatur penerangan, membesarkan nyala api.
Perlahan Lala keluarkan isi tasnya. Selembar mukena, sajadah, dan beberapa
pakaian, Al-Quran berukuran kecil dan sebuah buku bacaan hadiah dari Bu Santi
pada acara kelulusan sekolahnya. Sejenak ia terpaku mengamati sampul buku. Warnanya
mulai kusam.
“Kamu hanya perlu membaca isi buku
ini untuk luaskan pengetahuanmu”, pesan Bu Santi bernada perintah kepadanya
suatu hari. “Nanti kamu akan tahu, bahwa perempuan juga bisa menjadi sosok yang
mendalami tarekat sepadan dengan tokoh laki-laki”, Lala menajamkan telinganya.
Ia sedikit terperanjat.
“Kurun waktu yang panjang dari
sejarah tidak pernah menceritakan ini, Lala. Entahlah, dunia sepertinya sudah
berganti wajah dengan cepat. Sebenarnya ada Hamidah binti Sulaiman di Aceh. Ada
Ratu Raja Fatimah dan Nyimas Ayu Alimah, keduanya dari Cirebon. Semuanya
perempuan sufi nusantara, La. Mungkin terasa asing nama-nama itu di kupingmu.
Tapi mereka perempuan hebat”, cerita Bu Santi.
“Kita juga punya Kanjeng Raden Ayu
Kilen, garwa pangerembe Hamengku Buwono II dari Yogyakarta. Ada juga Kanjeng
Ratu Kadospaten, istri Pangeran Mangkubumi. Ohya, Kanjeng Ratu Kadospaten ini
sosok unik, La. Beliau ini punya pengaruh kuat dan memainkan peran penting
dalam membentuk spiritualitas mistik Jawa, termasuk seorang tokoh yang memiliki
andil bagi spiritualitas Pangeran Diponegoro, satu hal yang kamu pasti akan
tertarik dengan hal ini. Kedua tokoh sufi itu ada di sekira awal abad 18 dan
19”, lanjut Bu Santi tersenyum teduh. Kedua mata lala mengerjap-ngerjap takjub.
Ingatannya langsung melesat ke jaman kolosal, aih…menunggang kuda!
Kelopak mata Lala kini kembali berkedip-kedip
mengingat penuturan guru ngajinya itu. Ia senang mendengar cerita darinya. Ia
mencoba menera seperti apa tokoh perempuan sufi dari Yogyakarta itu. Penasaran
betul ia dibuatnya. Jika ia memang benar berasal dari lingkungan kraton,
alangkah hebat, sekaligus membingungkan. Ia tak paham dunia kraton. Sepanjang
yang ia ketahui, budaya kraton tidak mengenal penutup kepala dan hijab seperti
yang ia bayangkan pasti dikenakan oleh Rabiah Adawiyah. Lalu, apakah seorang
sufi tidak berhijab? Tanda tanya besar menggelayut di pelupuk matanya,
sekaligus membuatnya sedikit pusing. Mengapa ia bisa sampai pada pertanyaan
seperti itu? Ia tak sempat menanyakan kepada Bu Santi.
Bianglala melirik jam di
pergelangan tangan yang belum sempat dilepasnya. Pukul dua dini hari. Akankah
ia bisa tidur? Rasanya tidak. Kedua bola matanya masih nyalang. Napasnya
menghela sembari menutup buku. Memutar kembali gerigi kecil di pelita,
meredupkan nyala apinya. Kembali ke ranjang. Duduk di tubir ia mengusap-usap
wajahnya. Ia telah berada di sini. Seperti pesan Nyai Sarah, esok ia mesti
bangun sebelum Subuh. Ada ritual tertentu yang
akan ia jalani, entah apa ia tak tahu.
Gadis itu mencoba pejamkan mata
sembari bahu ia sandarkan di sisi kayu penyangga ranjang tidurnya. Ia pasrah
dan telah berbulat hati akan mengikuti proses di pesantren Nyai Sarah.
*****
Di bagian kamar lain, Nyai Sarah tengah
bersimpuh di lantai. Mukena putih melekat di tubuhnya. Nyala pelita di kamarnya
telah diredupkan ke titik nyala paling kecil hingga nyaris padam. Alam pikirnya
mengembara menyusuri kelokan-kelokan kenangan yang berbeda. Bulan sabit kian
memucat berpendar di langit jauh. Bak sebuah telinga gaib yang berjaga untuk
mendengar nyanyian derita. Nyai yang beranjak sepuh itu menggumamkan doa di
sudut batin. Hanya ia yang tahu doa apa yang sedang ia langitkan.
Bianglala adalah gadis yang
ditunggu-tunggunya. Lebih dari sekadar bahwa ia akan menjadi muridnya. Yang mungkin
akan ia pilih kelak untuk mewarisi pesantrennya. Gadis itu nampak memiliki
kecerdasan dan keistimewaan batiniah. Ujung batinnya tersentuh-sentuh getaran
hebat. Lebih dari itu. Ia sendiri yang menamai gadis itu Bianglala. Tujuh belas
tahun silam, ketika gadis itu lahir dari rahimnya.
Bulan sabit di luar jauh kian
menggigil. Langit fajar semburat bersih hadir melukis sunyi. Serupa sunyi yang
telah mati berkali-kali.
Yogyakarta, Juni 2016
Cerpen ini pernah dimuat di Jurnal Perempuan No. 90 Tahun 2016