Kamis, 07 Juni 2012

Yang Terbatas Yang Menetas

Mobil merah membawa tubuh kami berempat, tepat pukul satu dini hari. Meninggalkan area Kampus STIT [Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah] Raden Wijaya Mojokerto Jawa Timur. Usai tiga hari beranjangsana dalam workshop kreatif menulis sastra. Terkemas dalam tajuk "Liburan Sastra di Pesantren". Gathering yang menyenangkan. Bertemu komunitas pesantren. Diselenggarakan kawan-kawan Badan Eksekutif Mahasiswa kampus tersebut. Diikuti oleh remaja pesantren Jawa Timur. Kami dari tim Komunitas Matapena Yogyakarta, mengawal acara dari awal hingga selesai. Kenangan hinggap di ingatan. Menelusup pelan di hati. Kala berkesempatan mengunjungi kota dengan ruap harum sejarah Majapahit masa silam. Candi-candi dan nuansa alam. Sempat kurekam dalam puisi yang kubaca di panggung budaya kampus saat penutupan gathering.

Satu mobil dengan tiga kawan laki-laki. Sesuatu yang kurasakan sebagai kebiasaan di tempat kerja. Biasa-biasa saja. Penat dan letih mengurung tubuh-tubuh tak berdaya di dalam mobil. Kami menuju Kota Tuban. Sementara kawan-kawan kami yang lain masih tinggal di kampus menunggu mentari pagi merekah, melanjutkan langkah ke tujuan masing-masing. Beberapa di antara mereka kutahu menumpang kereta.

Aku? Jelas tanpa persiapan. Bekal pakaian yang kubawa tak cukup untuk seminggu ke depan. Tapi tak mematahkan arang dari tungku semangat yang selalu menyala. Ini rangkaian perjalanan perdana. Yang semestinya bukan job-ku, lantaran satu dan lain hal. Aku hanya musti persiapkan fisik. Kulirik, kawan yang duduk di jok paling belakang tertidur pulas. Sekira sejam menjelang Subuh kami tiba tepat di Masjid Agung Tuban, seputaran alun-alun. Kusapu pandangan sekeliling. Nuansa khas kota kabupaten. Alun-alun yang di tengah Masjid Agung dan gedung-gedung pemerintah. Biasanya tak jauh dari situ pasti ada pasar tradisional dan stasiun. Kombinasi unik pola tata kota di Jawa warisan tempo doeloe.

Salah seorang utusan Kyai, menelepon dan menjemput kami tak lama begitu kami tiba. Berjarak kurang lebih tiga kilometer, kami menginjakkan kaki di Komplek Pondok Pesantren Sunan Bejagung. Suasana masih sepi. Mobil kami bergerak pelan parkir di halaman pondok. Area pesantren ini kira-kira empat hektar dengan jarak gerbang ke pusat pesantren sekira 300 meter. Halaman luas tanah berpagar tembok. Rumput basah dan hawa dingin yang menusuk tulang. Kami disambut oleh pengasuh pesantren. Usai perkenalan singkat itu beduk penanda Subuh dan adzan berkumandang. Aku diantar ke asrama [komplek] santri putri. Ketiga kawan laki-laki yang lain ke asrama putra.

Sebuah ruang yang cukup luas, rapi dan bersih disediakan untukku beristirahat menunggu pagi. Kuitarkan pandang ke sekeliling. Komplek pondok kulihat ada sekitar sepuluh kamar berletter L di depanku. Semua rapi dan bersih. Jauh sekali dari kesan kumuh sebagaimana kerap kusaksikan di pesantren-pesantren tradisional. Saat aku masuki kamar mandi, pun aku tersenyum senang. Bersih dan rapi. Tak ada satu pun kain atau selembar handuk yang bertengger di sembarang tempat. Tak kulihat pula gayung-gayung tempat biasa santri meletakkan peralatan mandi mereka, yang tertinggal dan disusun di dalam kamar mandi. Semuanya tertata apik dan rapi di tempat khusus di luar. Benar-benar menyenangkan.

Beberapa jam kemudian aku selesai mandi dan mematut diri. Dua santri putri menemuiku mempersilakan sarapan pagi dengan sopan. Mereka menggunakan Bahasa Jawa kromo hinggil [halus]. Bahkan antar satu santri dengan yang lain pun begitu, tak pandang usia. Aku sempat menangkap tulisan terpasang di tembok-tembok, seperti tulisan peringatan kurang lebih, "di sini area wajib berbahasa Jawa kromo hinggil". Aku tersenyum.

Tak lama berselang, seorang ibu paruh baya masuk. Rupanya beliau Ibu Nyai, istri Kyai pengasuh pesantren ini. Berkebaya krem cerah dan mengenakan jarit. Kepala hanya ditutupi kerudung berenda-renda. Bukan jilbab menjuntai. Bu Nyai itu cantik sekali. Sepintas memang tak beda dengan kebanyakan ibu-ibu Nyai istri Kyai pengasuh pesantren yang kutahu dan kukenal. Dalam perkenalan singkat sembari beliau menemaniku sarapan, aku dibuat terkagum oleh keramahannya. Dari beberapa menit awal perkenalan kami, meluncurlah cerita panjang tentang keberadaan pesantren, suka duka "mbabat alas" di area yang menurutnya tak sepi dari friksi di awal keberadaannya. Aku teringat cerita-cerita seputar Pesantren Tebuireng dari Bapakku. Bagaimana Hadratus Syaikh mengawali perjuangan "menebar kebaikan Islam" dengan perlawanan warga sekitar.

Kala itu, Bu Nyai pernah hendak "mundur" dengan mengajak pulang suaminya ke rumah asal. Namun atas kegigihan suaminya, perjuangan itu lanjut hingga kini. Aku senang mendengar penuturan Bu Nyai itu. Bahasa dan tutur katanya lembut mengalir lancar. Penuh keakraban. Hingga semua harus disudahi lantaran aku telah ditunggu di ruang aula utama. Agenda sehari itu praktis aku sendiri membawa kelas dengan 80-an santri putra-putri. Sementara kawanku yang lain membawa kelas di ruang lain. Dimulai pukul delapan hingga berakhir pukul lima sore. Hanya berjeda istirahat siang, waktu dhuhur.

Kali pertama, setelah perkenalan dan salam hangat saling sapa, mereka kuminta mengeluarkan peralatan menulis. Satu hal yang biasa kulakukan dalam setiap kesempatan belajar menulis, peserta selalu kuminta untuk menuliskan jawaban dari pertanyaan, "apa yang engkau rasakan saat ini?". Aku selalu ingin tahu suasana batin dari mereka sejak awal kelas dimulai. Sehingga aku bisa sesegera mungkin menyesuaikan diri di tengah-tengah mereka, bagaimana bersikap dan bagaimana membawa kelas. Rata-rata dari mereka menuliskan perasaan bahagia, senang, termotivasi untuk belajar menulis. Aku tersenyum. Kubaca satu per satu. Lalu diperbincangkan bersama-sama. Suasana kelas mulai hidup dan semarak.

Hal yang paling sering kutemukan dalam pembelajaran bercampur begini, santri putri selalu malu-malu untuk tampil ke depan dan membacakan karyanya. Lantaran ada santri putra. Begitu pula sebaliknya, meski kulihat kadang santri putra lebih menjaga gengsi dan memiliki keberanian "lebih". Ini pondok pesantren. Biasanya memakai hijab [tabir], tapi ini tidak. Di luar itu, tata pergaulan mereka diatur sedemikian rupa, hingga "area transaksi komunikasi" lawan jenis menjadi begitu terbatas. Darinya, kurasakan sebuah nuansa yang kaku. Sering begitu. Lalu kucoba berikan ice-breaking, meski tak cukup membantu namun lumayan melemaskan kakunya suasana yang sering ditimbulkan oleh persinggungan komunikasi dua lawan jenis ini.

Jam-jam berikutnya mereka mulai lancar mengikuti perkembangan kelas menulis. Mereka kuminta untuk praktik menuliskan ide. Kupajang tiga botol air mineral di atas meja, berikut spidol dan penghapus papan tulis. Itu strategi yang biasa kugunakan untuk memperkenalkan soal ide. Apa pun bisa menjadi ide tulisan dengan yang dekat di depan mata. Aku mencoba memancing imajinasi mereka dengan barang-barang di atas meja itu. Hasilnya? Selalu terbentuk dua macam genre tulisan; fiksi dan non-fiksi. Mereka cukup berbakat. Susunan kata dan kalimatnya menarik. Dalam durasi yang cukup panjang, kelas kuminta untuk mendiskusikan hasil tulisan mereka. Kemudian mulai praktik menulis cerita singkat. Hingga waktu tak terasa berakhir.

Di sela-sela mengisi acara di pesantren itu, aku bertemu dengan satu-satunya putri pengasuh. Ning, istilahnya. Aku diberi tanda mata kain batik khas Tuban. Berikut cerita panjang seputar latar belakang profilnya. Dari Ning yang manis ini aku menjadi tahu bagaimana fasilitas-fasilitas yang disediakan untuk santri yang terbatas. Mereka sama sekali tak bersinggungan dengan mesin ketik bernama komputer. Rupanya hanya untuk diajarkan di sekolah formal, itu pun terbatas. Hingga pada malam harinya, dengan duduk melingkar, aku dikelilingi santri-santri putri di ruang tempat aku menginap. Mereka memintaku untuk bercerita, berbicara lagi soal diriku. Wah!

Diterpa kondisi fisik yang sangat melelahkan, aku terkantuk-kantuk. Suaraku parau. Nyaris empat hari melakukan pembelajaran bersama di dua tempat berbeda membuat suaraku hilang. Ketika menerima telfon dari Adikku, sempat aku terdiam lama karena tak ada suara keluar. Aku masih dikerubungi santri-santri putri itu. Di luar ruang, belasan santri lainnya sedang belajar Tari Saman untuk pementasan. Tari Saman dari Aceh ala santri pesantren ini diiringi dengan tembang  yang diambil dari nadzam Alfiyah Ibnu Malik. Aku terpesona menyaksikannya. Gerakan mereka sempurna. Kembali ke dalam ruang, ada salah satu santri putri yang mengangsurkan buku tulis tebal. Isinya tulisan yang sudah penuh. Ternyata NOVEL!

Aku memeriksanya sembari terus mendengar celoteh-celoteh ringan mereka. Ada juga yang serius berkisah kepadaku, perihal "dunia mistis" khas pesantren. Aku tersenyum-senyum mendengarnya. Ada makhluk besar raksasa penjaga gerbang utama pondok pesantren yang selalu siap "memangsa" para santri yang "nakal" diam-diam keluar/kabur dari pesantren. Entahlah..

Di dalam benakku aku terhenyak. Mengapa novel ini bagus sekali? Kenapa pula hanya ditulis tangan dan tak diketik komputer? Si penulis bilang, mereka ada dalam keterbatasan. Bahkan, katanya, untuk sekadar ke kantor pos mengirimkan karya itu ke penerbit misalnya. Hmm, yang terbatas seperti ini ternyata tak selalu membuat terbatas bagi santri untuk berkarya. Yag terbatas, justru menetas. Di Pondok Pesantren Sunan Bejagung Tuban ini aku menemukannya. Aih....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar