Jumat, 08 Juni 2012

Kekerasan itu Bernama Teror

Pada suatu sore...

Kami duduk berhadap-hadapan. Satu meter saja jarak antara kami. Perempuan bermata belok dan berkerudung hijau lumut dengan dua ujung kain ditautkan di belakang kepala itu duduk di atas sebuah kursi kayu berpelitur coklat. Pelan ia berkisah. Aku menyimaknya dari bibir jendela yang kududuki. Aku cukup menikmati kesegaran angin sore yang merasuk di ruang 8 x 3 meter ini. Di langit-langit atas tampak susunan kayu warna coklat, rapi, dan kokoh. Ya, di atas ruangan ini adalah lantai dua. Tak sempat aku memeriksa naik ke atas, hanya saja sebelum kumasuki ruangan ini aku sempat melongoknya. Seperti sebuah rumah panggung yang baru dibangun. Dibawah persis rumah panggung itu, bersebelahan dengan ruangan tempat kami berada, perpustakaan tampak tertata rapi namun sepi. Kaca bagian depan masih sisakan bongkah pecahan dan hanya ditempeli lakban bening melintang untuk menandakan bahwa ada pecahan kaca di situ. Cukup lebar.

Jari telunjuknya mengarah ke monitor flat di atas meja samping kami. "Ini baru saja kupakai. Punyaku yang lama jadi korban, remuk dirusak, untung saja CPU-ku tidak kena, tuh aku taruh di bawah". Hmm, ciri khas Indonesia banget. Saat terkena musibah apa pun, masih ada kalimat "untung saja", sebuah pertanda syukur masih ada yang "tidak kena musibah". Seluruh kisah yang mengalir dari mulutnya sudah kudengar sebelumnya. Bahkan mungkin seluruh negeri ini juga pernah mendengar dari pemberitaan media. Namun terasa berbeda tatkala berita itu tertutur langsung dari korban yang mengalami.

Kronologis penyerangan itu tak begitu menjadi perhatianku. Lantaran aku sudah tahu. Aku lebih tertarik menyimak ungkapan perasaannya saat itu dan kini. Tak hanya perempuan di depanku ini, hampir semua kawan-kawannya merasakan hal yang sama. Terteror. Jika mendengar suara motor meraung-raung, atau bahkan suara-suara massif dari kendaraan bermotor, rasa di dada langsung "mak tratap", tergeragap. Hingga saat pulang ke kontrakannya, dia merasa teror itu masih membuntutinya. Kamar pribadinya yang dekat dengan jalan raya membuatnya tak bisa tidur, lantaran jika mendengar deru kendaraan bermotor dirinya mudah tergeragap. Hal itu berlangsung hingga dua pekan paska kejadian terkutuk itu. Ya, terkutuk. Apakah namanya jika sebuah diskusi biasa yang berlangsung damai dan biasa-biasa saja tiba-tiba dibubarkan paksa, gedung, kaca-kaca, dan aset-aset di dalam rumah dirusak membabi-buta tanpa ada perlawanan, jika bukan perbuatan terkutuk?

Sampai di sini aku terhenyak. Apa yang dapat diperbincangkan lagi antara kami? Aku larut dalam nuansa emosinya yang stabil dan tertata baik itu. Selarit pun tak kurasakan aroma kebencian terhadap para penyerang yang terkutuk itu. Kami terdiam agak lama sebelum akhirnya kami musti beranjak meninggalkan ruangan itu.

Sepanjang perjalanan pulang, aku bertanya-tanya; terbuat dari apa hati orang-orang itu? Orang-orang yang sempit pikiran dan hati, lalu dengan kebencian dan kebengisannya menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak terhadap yang berbeda dari yang mereka yakini? Melakukan pengrusakan dengan meneriakkan nama Tuhan? Bagaimana mungkin yang mengaku beriman dan mendirikan sholat berjamaah di masjid setiap harinya, bisa memiliki pemahaman dan ekspresi keyakinan ketuhanan yang sedemikian picik?

Tiba di kamar, kubuka-buka jejaring sosial massif dan kutemukan beberapa dari orang-orang macam itu tengah berkicau--meracau. Menebar kebencian tanpa bisa dimaklumi lagi. Muncul lagi pertanyaanku, pada saat aku sembahyang Maghrib; aku juga sholat sama seperti mereka. Aku yakin cara sembahyangku, cara menghadap Tuhanku sama dengan mereka. Namun, apa ya yang kira-kira terbenak dalam diri mereka ketika sembahyang? Bacaan sholatkah? Urut-urutan gerakan sholatkah? Atau suntuk dengan bagaimana Tuhan dengan asyik diajak bercakap-cakap secara imajiner dalam batin? Hingga terbit kepasrahan mendalam akan dhaifnya manusia dan bisa merasakan sakit jika menyakiti manusia lain?

Allahu a'lam bis showwab..

Kamis, 07 Juni 2012

Perempuan Bertudung Hujan

            : n. a.

Ceritakan kembali padaku risalah manik-manik yang kau rangkai dari
Warna ungu burung-burung pembawa kabar  yang menumbuhkan biji-biji hujan

Lembaran mushaf kau angsurkan sedang aku tak tahu dari mana mula aku membacanya bersebab tak ada tanda baca yang persis sama saat kita sama-sama mengeja alif ba ta
Hanya gugusan bintang dalam gradasi yang enyah
Kau panggil hujan hanya untuk kau ludahi gigilnya sepanjang musim yang kerap tak pasti mengganti-ganti diri

Perempuan itu engkau
Memapah hujan pelan-pelan, masuk ke sanubarimu, berpapasan dengan gerimis yang lebih memilih lunaskan tempias ketimbang memungkasi rembulan
Almanak tergantung bisu di sisi jendela
Membubuhkan masa lalu
Bersisihan dengan debu dan angin kering salah musim

Lingkaran yang tengah kau tandai itu, bergerak
Menelusur mahkota di atas kepalamu yang terbuat dari bianglala
Aku mengejanya sebagai pelangi yang lupa mengemasi warnanya
Lantaran desir angin membawanya serta
Pada hati yang gugup
Gemetar meringkas cinta yang terkatup

Yang Terbatas Yang Menetas

Mobil merah membawa tubuh kami berempat, tepat pukul satu dini hari. Meninggalkan area Kampus STIT [Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah] Raden Wijaya Mojokerto Jawa Timur. Usai tiga hari beranjangsana dalam workshop kreatif menulis sastra. Terkemas dalam tajuk "Liburan Sastra di Pesantren". Gathering yang menyenangkan. Bertemu komunitas pesantren. Diselenggarakan kawan-kawan Badan Eksekutif Mahasiswa kampus tersebut. Diikuti oleh remaja pesantren Jawa Timur. Kami dari tim Komunitas Matapena Yogyakarta, mengawal acara dari awal hingga selesai. Kenangan hinggap di ingatan. Menelusup pelan di hati. Kala berkesempatan mengunjungi kota dengan ruap harum sejarah Majapahit masa silam. Candi-candi dan nuansa alam. Sempat kurekam dalam puisi yang kubaca di panggung budaya kampus saat penutupan gathering.

Satu mobil dengan tiga kawan laki-laki. Sesuatu yang kurasakan sebagai kebiasaan di tempat kerja. Biasa-biasa saja. Penat dan letih mengurung tubuh-tubuh tak berdaya di dalam mobil. Kami menuju Kota Tuban. Sementara kawan-kawan kami yang lain masih tinggal di kampus menunggu mentari pagi merekah, melanjutkan langkah ke tujuan masing-masing. Beberapa di antara mereka kutahu menumpang kereta.

Aku? Jelas tanpa persiapan. Bekal pakaian yang kubawa tak cukup untuk seminggu ke depan. Tapi tak mematahkan arang dari tungku semangat yang selalu menyala. Ini rangkaian perjalanan perdana. Yang semestinya bukan job-ku, lantaran satu dan lain hal. Aku hanya musti persiapkan fisik. Kulirik, kawan yang duduk di jok paling belakang tertidur pulas. Sekira sejam menjelang Subuh kami tiba tepat di Masjid Agung Tuban, seputaran alun-alun. Kusapu pandangan sekeliling. Nuansa khas kota kabupaten. Alun-alun yang di tengah Masjid Agung dan gedung-gedung pemerintah. Biasanya tak jauh dari situ pasti ada pasar tradisional dan stasiun. Kombinasi unik pola tata kota di Jawa warisan tempo doeloe.

Salah seorang utusan Kyai, menelepon dan menjemput kami tak lama begitu kami tiba. Berjarak kurang lebih tiga kilometer, kami menginjakkan kaki di Komplek Pondok Pesantren Sunan Bejagung. Suasana masih sepi. Mobil kami bergerak pelan parkir di halaman pondok. Area pesantren ini kira-kira empat hektar dengan jarak gerbang ke pusat pesantren sekira 300 meter. Halaman luas tanah berpagar tembok. Rumput basah dan hawa dingin yang menusuk tulang. Kami disambut oleh pengasuh pesantren. Usai perkenalan singkat itu beduk penanda Subuh dan adzan berkumandang. Aku diantar ke asrama [komplek] santri putri. Ketiga kawan laki-laki yang lain ke asrama putra.

Sebuah ruang yang cukup luas, rapi dan bersih disediakan untukku beristirahat menunggu pagi. Kuitarkan pandang ke sekeliling. Komplek pondok kulihat ada sekitar sepuluh kamar berletter L di depanku. Semua rapi dan bersih. Jauh sekali dari kesan kumuh sebagaimana kerap kusaksikan di pesantren-pesantren tradisional. Saat aku masuki kamar mandi, pun aku tersenyum senang. Bersih dan rapi. Tak ada satu pun kain atau selembar handuk yang bertengger di sembarang tempat. Tak kulihat pula gayung-gayung tempat biasa santri meletakkan peralatan mandi mereka, yang tertinggal dan disusun di dalam kamar mandi. Semuanya tertata apik dan rapi di tempat khusus di luar. Benar-benar menyenangkan.

Beberapa jam kemudian aku selesai mandi dan mematut diri. Dua santri putri menemuiku mempersilakan sarapan pagi dengan sopan. Mereka menggunakan Bahasa Jawa kromo hinggil [halus]. Bahkan antar satu santri dengan yang lain pun begitu, tak pandang usia. Aku sempat menangkap tulisan terpasang di tembok-tembok, seperti tulisan peringatan kurang lebih, "di sini area wajib berbahasa Jawa kromo hinggil". Aku tersenyum.

Tak lama berselang, seorang ibu paruh baya masuk. Rupanya beliau Ibu Nyai, istri Kyai pengasuh pesantren ini. Berkebaya krem cerah dan mengenakan jarit. Kepala hanya ditutupi kerudung berenda-renda. Bukan jilbab menjuntai. Bu Nyai itu cantik sekali. Sepintas memang tak beda dengan kebanyakan ibu-ibu Nyai istri Kyai pengasuh pesantren yang kutahu dan kukenal. Dalam perkenalan singkat sembari beliau menemaniku sarapan, aku dibuat terkagum oleh keramahannya. Dari beberapa menit awal perkenalan kami, meluncurlah cerita panjang tentang keberadaan pesantren, suka duka "mbabat alas" di area yang menurutnya tak sepi dari friksi di awal keberadaannya. Aku teringat cerita-cerita seputar Pesantren Tebuireng dari Bapakku. Bagaimana Hadratus Syaikh mengawali perjuangan "menebar kebaikan Islam" dengan perlawanan warga sekitar.

Kala itu, Bu Nyai pernah hendak "mundur" dengan mengajak pulang suaminya ke rumah asal. Namun atas kegigihan suaminya, perjuangan itu lanjut hingga kini. Aku senang mendengar penuturan Bu Nyai itu. Bahasa dan tutur katanya lembut mengalir lancar. Penuh keakraban. Hingga semua harus disudahi lantaran aku telah ditunggu di ruang aula utama. Agenda sehari itu praktis aku sendiri membawa kelas dengan 80-an santri putra-putri. Sementara kawanku yang lain membawa kelas di ruang lain. Dimulai pukul delapan hingga berakhir pukul lima sore. Hanya berjeda istirahat siang, waktu dhuhur.

Kali pertama, setelah perkenalan dan salam hangat saling sapa, mereka kuminta mengeluarkan peralatan menulis. Satu hal yang biasa kulakukan dalam setiap kesempatan belajar menulis, peserta selalu kuminta untuk menuliskan jawaban dari pertanyaan, "apa yang engkau rasakan saat ini?". Aku selalu ingin tahu suasana batin dari mereka sejak awal kelas dimulai. Sehingga aku bisa sesegera mungkin menyesuaikan diri di tengah-tengah mereka, bagaimana bersikap dan bagaimana membawa kelas. Rata-rata dari mereka menuliskan perasaan bahagia, senang, termotivasi untuk belajar menulis. Aku tersenyum. Kubaca satu per satu. Lalu diperbincangkan bersama-sama. Suasana kelas mulai hidup dan semarak.

Hal yang paling sering kutemukan dalam pembelajaran bercampur begini, santri putri selalu malu-malu untuk tampil ke depan dan membacakan karyanya. Lantaran ada santri putra. Begitu pula sebaliknya, meski kulihat kadang santri putra lebih menjaga gengsi dan memiliki keberanian "lebih". Ini pondok pesantren. Biasanya memakai hijab [tabir], tapi ini tidak. Di luar itu, tata pergaulan mereka diatur sedemikian rupa, hingga "area transaksi komunikasi" lawan jenis menjadi begitu terbatas. Darinya, kurasakan sebuah nuansa yang kaku. Sering begitu. Lalu kucoba berikan ice-breaking, meski tak cukup membantu namun lumayan melemaskan kakunya suasana yang sering ditimbulkan oleh persinggungan komunikasi dua lawan jenis ini.

Jam-jam berikutnya mereka mulai lancar mengikuti perkembangan kelas menulis. Mereka kuminta untuk praktik menuliskan ide. Kupajang tiga botol air mineral di atas meja, berikut spidol dan penghapus papan tulis. Itu strategi yang biasa kugunakan untuk memperkenalkan soal ide. Apa pun bisa menjadi ide tulisan dengan yang dekat di depan mata. Aku mencoba memancing imajinasi mereka dengan barang-barang di atas meja itu. Hasilnya? Selalu terbentuk dua macam genre tulisan; fiksi dan non-fiksi. Mereka cukup berbakat. Susunan kata dan kalimatnya menarik. Dalam durasi yang cukup panjang, kelas kuminta untuk mendiskusikan hasil tulisan mereka. Kemudian mulai praktik menulis cerita singkat. Hingga waktu tak terasa berakhir.

Di sela-sela mengisi acara di pesantren itu, aku bertemu dengan satu-satunya putri pengasuh. Ning, istilahnya. Aku diberi tanda mata kain batik khas Tuban. Berikut cerita panjang seputar latar belakang profilnya. Dari Ning yang manis ini aku menjadi tahu bagaimana fasilitas-fasilitas yang disediakan untuk santri yang terbatas. Mereka sama sekali tak bersinggungan dengan mesin ketik bernama komputer. Rupanya hanya untuk diajarkan di sekolah formal, itu pun terbatas. Hingga pada malam harinya, dengan duduk melingkar, aku dikelilingi santri-santri putri di ruang tempat aku menginap. Mereka memintaku untuk bercerita, berbicara lagi soal diriku. Wah!

Diterpa kondisi fisik yang sangat melelahkan, aku terkantuk-kantuk. Suaraku parau. Nyaris empat hari melakukan pembelajaran bersama di dua tempat berbeda membuat suaraku hilang. Ketika menerima telfon dari Adikku, sempat aku terdiam lama karena tak ada suara keluar. Aku masih dikerubungi santri-santri putri itu. Di luar ruang, belasan santri lainnya sedang belajar Tari Saman untuk pementasan. Tari Saman dari Aceh ala santri pesantren ini diiringi dengan tembang  yang diambil dari nadzam Alfiyah Ibnu Malik. Aku terpesona menyaksikannya. Gerakan mereka sempurna. Kembali ke dalam ruang, ada salah satu santri putri yang mengangsurkan buku tulis tebal. Isinya tulisan yang sudah penuh. Ternyata NOVEL!

Aku memeriksanya sembari terus mendengar celoteh-celoteh ringan mereka. Ada juga yang serius berkisah kepadaku, perihal "dunia mistis" khas pesantren. Aku tersenyum-senyum mendengarnya. Ada makhluk besar raksasa penjaga gerbang utama pondok pesantren yang selalu siap "memangsa" para santri yang "nakal" diam-diam keluar/kabur dari pesantren. Entahlah..

Di dalam benakku aku terhenyak. Mengapa novel ini bagus sekali? Kenapa pula hanya ditulis tangan dan tak diketik komputer? Si penulis bilang, mereka ada dalam keterbatasan. Bahkan, katanya, untuk sekadar ke kantor pos mengirimkan karya itu ke penerbit misalnya. Hmm, yang terbatas seperti ini ternyata tak selalu membuat terbatas bagi santri untuk berkarya. Yag terbatas, justru menetas. Di Pondok Pesantren Sunan Bejagung Tuban ini aku menemukannya. Aih....


Perempuan Bahu Laweyan



Siang lengang menghampar di beranda rumah Mak Minji. Tampak sesekali ia mondar-mandir keluar-masuk rumah. Sedikit resah ia menanti anak dan menantu laki-lakinya datang. Janda bertubuh subur dan berwajah keras mengekal itu kini tinggal sendirian. Putri semata wayangnya belum genap sebulan dipinang orang. Di tanah seberang, si menantu baru itu membawanya menanam hidup. Sebenarnya tidak sendirian betul perempuan itu tinggal. Dua-tiga kerabatnya hidup bertetangga dengannya. Di sepetak tanah warisan moyang mereka. Dirimbuni pepohon kelapa yang berjajar di kaki bukit. Di pinggir sebatang sungai yang membelah dua desa.
Sehari-hari pekerjaan perempuan itu membuat penganan kecil dan es lilin yang dititipkan di warung-warung. Jika pekerjaan usai, ia akan tidur sepuasnya. Barangkali, keseharian bergelut memasak dan mencicipi semua makanan dan tidur yang puas itulah yang membuat tubuhnya gembul. Di saat lain, ia akan menyigi pohon kelapanya yang berbuah lebat. Di sekujur tanah yang mengelilingi rumahnya, pohon kelapa dan pohon pisang Kepok merimbuni rumah desa peninggalan orang tuanya. Mak Minji akan memanggil penjual pisang atau penjual kelapa untuk membeli hasil kebunnya itu. Ia tak perlu bersusah-susah menjual sendiri ke pasar meski harganya jatuh bersebab ulah para tengkulak.
Tapi tidak dengan siang lengang ini. Mak Minji tampak sibuk. Bukan saja ia tidak tidur siang sepuasnya, tak pula ia memanggil tengkulak langganannya untuk menawar buah kelapa dan pisang yang telah masak. Mak Minji tampak sesibuk orang kebanyakan dalam persiapan helat. Ya, Mak Minji akan menikah. Tepatnya menikah lagi.
Bukan Mak Minji tak hendak berkabar kepada orang-orang. Tetapi berita pinangan yang diterimanya dari lelaki yang seorang pensiunan tentara itu telah lama menyeruak sampai ke pelosok. Mengharu-biru orang ramai di tegalan, sawah, hutan jati, pusat desa, dan tak luput para pejabat desa yang diam-diam menaruh perhatian padanya. Meski kata orang-orang badan Mak Minji kelewat subur, tapi tak mencuri kemudaan dan kecantikannya. Dalam usia yang cukup muda, 40 tahun dan sedang ayu-ayunya, perempuan itu telah menikah selama enam kali. Angka yang fantastis untuk ukuran orang-orang desanya. Lebih fantastis lagi, keenam suami Mak Minji itu berpisah dengannya bukan karena perceraian, melainkan karena meninggal dunia. Macam-macam penyebab kematian itu.
Suami pertama yang seorang petugas pemadam kebakaran, tewas saat bertugas. Suami kedua sekaligus satu-satunya suami yang sempat memberinya seorang anak, meninggal sesaat setelah terjatuh dari pohon kelapa, hendak mendaras air untuk dibuat gula merah. Suami ketiga mengalami nasib sama, jatuh dari pohon kelapa tapi tidak mati seketika, Mak Minji musti mengeluarkan biaya banyak untuk operasi tulang dan menunggui di rumah sakit ortopedi, nyaris dua bulan penuh sebelum akhirnya mati sia-sia. Suami keempat meninggal akibat penyakit gula. Suami kelima yang seorang sopir truk pengangkut kelapa, mati kecelakaan di jalur pantura H-3 lebaran, dan suami keenamnya meninggal lantaran sakit masuk angin mendadak.
Orang-orang kerap menyebutnya perempuan bahu laweyan. Perempuan yang setiap kali menikah, dipastikan suaminya akan meninggal. Dan, para lelaki berikut para perangkat desa yang terpikat sekaligus tak pernah terikat padanya, tak pernah berani untuk berhubungan kelewat jauh dengan perempuan itu. Takut mati sia-sia. Anehnya, para istri di desa itu pun tak berani melabrak Mak Minji ketika suami mereka diam-diam merajut kedekatan dengannya. Beredar kabar bahwa Mak Minji memiliki kekuatan supranatural akibat status bahu laweyan yang disandangnya.

*          *          *

Beberapa kerabat tampak berdatangan. Beberapa langsung menuju dapur melakukan persiapan. Seolah paham dengan keadaan, tak perlu mempercakapkan lebih panjang perihal dengungan di mulut orang-orang, mereka bekerja cekatan menyiapkan hidangan sementara Mak Minji bersiap pergi ke toko bunga depan pasar kecamatan. Ada yang lupa dibelinya kemarin. Dan itu menjadikan suasana separo gaduh dalam pembicaraan orang-orang.
”Apa macam hendak ia beli bunga?” Ibu paruh baya yang sibuk memarut kelapa bertanya setengah berbisik. Yang diajak bicara menoleh ke segala arah. Memastikan si tuan rumah tak ada agar pembicaraan tak menuai bencana.
”Ah, mungkin bunga setaman. Apalagi kalau tidak untuk sesajian. Tahu sendiri ’kan? Minji tetap memikat ’kan karena pakai begituan ...” Jawab perempuan yang masih kerabat itu. Tangannya yang tengah mengupas bawang terlihat berhenti. Seolah menegaskan seriusnya ucapan.
”Ya, mungkin. Tapi bisa jadi dia memiliki lelaku tertentu seperti itu. Bukankah ia akan menikah? Biasanya ’kan begitu?” Seorang nenek yang sibuk menyobeki daun pisang untuk alas besek kenduri sambil mengunyah sirih, menimpali.
”Maksud Nenek, lelaku itu bertujuan agar suaminya kelak akan mati juga? Dengan begitu Mak Minji mendapatkan tumbal bagi pesugihan-nya?” Kali ini perempuan si pemarut kelapa tadi bertanya dengan berbisik.
Mak Minji memang dikenal kaya. Setidaknya dari materi yang dimilikinya. Kilauan aneka perhiasan yang dikenakan, serta perabot rumah yang bertekstur kekinian.
Menurut orang-orang, Mak Minji yang jarang bergaul itu juga terkenal sebagai orang yang tidak pemurah. Tak pernah ia bersedekah barang seribu perak. Kayu-kayu dari pelepah kelapa di pekarangan rumah yang tak jarang jatuh sia-sia, tak pernah diberikannya kepada para tetangga yang membutuhkan meski ia sendiri berkecukupan. Singkatnya, hampir tak ada yang pernah dibuat senang oleh janda cantik itu. Anehnya, orang-orang terlanjur percaya bahwa Mak Minji bukan orang sembarangan hingga mereka tak berani berurusan panjang. Pun ketika mereka dimintai bantuan untuk persiapan helat, hampir semua tetangga kiri-kanannya menyatakan sanggup.
*          *          *
Keesokan harinya, suasana sederhana namun meriah, tumpah meruah di kediaman pengantin.  Orang-orang larut dalam kesenangan berpesta. Akad nikah berlangsung lancar. Sepasang mempelai yang tak lagi muda itu tampak sumringah. Hiburan orkes ”organ tunggal” pun disuguhkan untuk menghibur tetamu. Biduan cantik melenggak-lenggok menyanyikan lagu dangdut populer. Tak lupa lagu-lagu Campursari kegemaran penduduk kampung.
Mak Minji menebar senyum sarat arti. Begitu pun hadirin dan kerabat. Mereka larut dalam suka cita. Seakan terlupa apa yang kerap mereka pergunjingkan akan pengantin perempuan. Riang suasana itu tak sampai selesai. Orang-orang dikagetkan oleh Gayatri, putri Mak Minji, yang jatuh pingsan tiba-tiba. Sontak alunan musik berhenti. Seluruh mata memusat ke sumber kejadian. Tubuh Gayatri dipapah masuk. Upacara sederhana itu disudahi sebelum waktunya. Dengungan terdengar di mulut orang-orang. Tampak tetamu satu per satu meninggalkan ruang.
Mak Minji menangis meraung-raung di samping tubuh Gayatri yang tak jua siuman. Suami barunya hanya terpaku. Sebentar-sebentar resah. Pun begitu dengan sang menantu. Dalam kamar itu mereka hanya berempat. Tangis Mak Minji barangsur-angsur reda. Tinggalkan sembab dan titik yang berkaca-kaca. Hingga malam Gayatri masih terdiam meski napasnya teratur. Saran dari keluarga dekat agar dipanggilkan mantri tak diiiyakan oleh Mak Minji. Dijawabnya pasti nanti siuman sendiri.
Hati Mak Minji berdebar. Di kamarnya harum bunga sedap malam menguar. Ini empat kali sudah Gayatri pingsan. Selalu di saat ia melangsungkan pernikahan. Batin pengantin baru itu ngilu. Kepalanya pening. Matanya sedikit berkunang-kunang. Mungkin karena keletihan yang panjang usai perhelatan dan kebingungan yang mencekam, Mak Minji menyusul Gayatri; pingsan!
Udara malam mengerudungi desa itu. Menelusupkan dingin yang sangat ke pori. Suasana alam sunyi. Hanya terdengar suara burung gagak di sudut desa, tak jauh dari hutan jati...

Kulonprogo, Agustus 2010


Keterangan cetak miring:
Bahu Laweyan: sebutan untuk orang yang setiap kali menikah, pasangannya meninggal
Lelaku: semacam tirakat untuk beroleh tujuan tertentu
Pesugihan: kemakmuran yang diperoleh yang ditengarai bukan dari hasil biasa
Sumringah: gembira teramat sangat





Rabu, 06 Juni 2012

Hanya Jagad Kecil Seorang Ndari...


Salam,

Adakah yang lebih berkesan dari selain mesin waktu? Tatkala ia berdetak merangkai semua yang bernama hiasan sekaligus kiasan?

Mesin waktu bak jagad maha luas. Seperti mulut ikan paus raksasa. Kita selalu tertelan di dalamnya. Setiap saat. Dan di dalam perut buncit itu, segalanya berlangsung--berkejadian.

Blog ini bolehlah dibilang sekadar "pindah rumah" dari blog saya terdahulu [www.sketsajagad.blogspot.com] yang sudah saya hapus akunnya. Mengapa? Ada sedikit--banyak alasan serta gagasan yang tak perlu saya tulis di sini. Tak lebih dari bahawa saya ingin "segar" dengan memiliki blog baru atas nama saya sendiri. [hehehe].

Semoga hadirnya rumah maya saya yang baru ini tidak merugikan pihak mana pun, syukur-syukur bisa bermanfaat. Meski mungkin, ke depannya masih terus sebagai area belajar menulis saya [yang tak kunjung produktif-produktif ini].

Tabik,
Akhiriyati Sundari

;))