Jumat, 07 November 2014

Belajar Resolusi Konflik di Sekolah

Ihwal resolusi konflik yang pernah saya baca dan sedikit pelajari secara langsung dalam sebuah forum resmi, barangkali lebih banyak bersifat 'berat' pada ranah tema dan melibatkan beragam unsur di luar entitas yang selama ini berjejalan dalam aktivitas sehari-hari. Resolusi konflik senyatanya tak melulu menjadi perbincangan yang terjadi dalam ranah sosial yang lebih besar dan rumit. Justru ihwal demikian dapat juga dipelajari dan dijadikan semacam 'pembekalan' bagi anak-didik pada lembaga-lembaga pendidikan formal.

Kolom mata pelajaran Sosiologi di tingkatan Madrasah Aliyah [setingkat SMA] ada memuat materi tentang 'konflik dan integrasi sosial'. Model pembelajaran di dalamnya akan sangat kering jika hanya berhenti pada teori semata. Akan sangat bagus dan mengena apabila anak-didik dihadapkan langsung pada persoalan riil. Tentu saja memang musti pandai-pandai pihak pendamping anak-didik dalam hal ini guru, untuk menciptakan suatu media yang berkenaan dengannya.

Sependek yang sudah saya lakukan sebagai guru, sahabat pendamping belajar mereka [anak-didik Madrasah Aliyah di mana saya mengajar], metode pengayaan kerap saya lakukan dengan meminimalisir diri saya sendiri untuk menjadi keynote speaker. Metode pembelajaran mengedepankan mereka bergerak secara aktif, dua arah. Jarang saya gunakan metode ceramah apalagi menulis/mendikte/menyalin bahan pelajaran. Saya kerap gunakan metode diskusi. Beberapa anak saya buat kelompok yang biasanya terdiri dari 3-4 orang, membahas sebuah tema lalu menuliskan hasil bahasan mereka dalam sebuah tulisan makalah atau artikel untuk selanjutnya mereka presentasikan di depan kelas.

Sejauh ini, cukup berhasil jika ditinjau dari 'hidup'-nya forum diskusi tersebut. Suasana yang tercipta dalam kelas belajar kami sudah mirip dengan situasi perkuliahan di perguruan tinggi. Di mana anak-didik menyiapkan diri dari rumah/asrama tempat mereka tinggal, dengan bahan-bahan ajar yang sudah saya berikan, lalu di kelas mereka diskusikan berbarengan dalam kelompok dan mempresentasikannya. Dalam forum diskusi ini saya menekankan kepada mereka untuk membiasakan diri belajar berbicara atau mengemukakan pendapat di muka umum. Tidak mempedulikan benar-salah sebuah argumen, tidak mempedulikan feedback dari kawan-kawannya terlebih dahulu. Namun, prinsip saling menghormati dan menghargai di dalam ruang perdebatan diskusi, tetap saya tekankan. Di situlah mereka saya ajak secara bersama-sama untuk belajar.

Tradisi ini telah berlangsung nyaris dua tahun lebih sejak mereka duduk di tahun pertama. Mereka berdiskusi dalam kelompok-kelompok kecil [focus group discussion] dengan tema yang berbeda-beda namun tetap dalam satu tarikan garis materi yang sama. Lalu mereka mempresentasikan secara bersama-sama tanpa menentukan satu tugas bahwa satu orang akan bertindak sebagai juru bicara dan yang lain semata penyimak atau moderator. Mereka selalu saya arahkan untuk berlaku menjadi nara sumber, tanpa terkecuali. Saya lah yang menjadi moderator dari diskusi itu.

Situasi kelas terkadang saya ciptakan secara 'resmi' mengikuti alur seminar-seminar publik. Peserta diatur tempat duduknya membentuk formasi huruf "U", lalu kelompok yang bertugas untuk presentasi, duduk di kursi deretan depan layaknya nara sumber nge-top. Di aras inilah situasi "dua arah" saya ciptakan murni dari mereka sendiri. Saya mengambil posisi bergabung sebagai peserta diskusi dengan duduk di tengah-tengah audien yang lain. Sebaliknya, ketika diskusi berlangsung, suasana menjadi cair, tidak kaku.

Alur perjalanan diskusi biasanya berlangsung dengan seru, terlebih manakala tema yang dibahas sangat sensitif dan hangat yang tentu tengah menjadi minat mereka. Ihwal sosial-politik tidak saya sangka rupanya menjadi hal yang mereka sukai. Tak terkecuali persoalan yang menyangkut hajat hidup mereka sehari-hari di mana mereka adalah santri pesantren yang 24 jam berada di komunitas pesantren, tempat tinggal yang sama. Sebagai guru, saya dituntut [wajib] untuk hapal dengan ragam karakter mereka. Hingga saya pun wajib hapal karakter mereka di dalam ruang diskusi. Manakah yang aktif, vokal, kritis, apresiatif, pandai merumuskan persoalan dalam kalimat yang bagus, dan mana yang masih kesulitan menyusun buah pikiran, tak lupa saya hapal siapa yang masih pasif [saya kerap menegurnya dengan memanggilnya penganut "aliran kebatinan", memendam pikiran hanya di dalam batin saja].

Pokok dari cerita tulisan ini adalah begini. Suatu ketika, terjadi konflik yang lumayan meruncing di antara mereka. Terjadi di luar kegiatan belajar mengajar aktif. Mereka bersitegang dalam tulisan-tulisan yang mereka unggah sendiri di jejaring sosial. Konflik yang bermula dari saling sindir-menyindir itu kemudian mereka bawa ke ranah dunia nyata. Saya tidak menyangka sebelum-sebelumnya bahwa mereka bisa mengarah untuk nyaris terlibat perkelahian fisik. Bahwa conflict of interest di antara mereka ada, saya telah mengetahuinya. Saya pernah berbicara empat mata dengan masing-masing dari mereka jauh sebelum konflik itu terjadi. Dari sana saya memiliki kesimpulan sendiri terkait potensi konflik yang ada. Sebagai guru, saya tertantang untuk tidak lena sedikit pun dengan kondisi ini. Namun, apa lacur semua toh terjadi juga sebagai akibat kekurangketatan saya dalam mendampingi dan mengawal mereka.

Singkat cerita, persoalan itu selesai dengan model penyelesaian perdamaian di antara mereka sendiri, entah bentuk bagaimana. Kemungkinan besar mereka menyelesaikan sendiri dengan saling memaafkan. Saya yang kala itu tengah tidak berada di lokasi, hanya mendapat laporan saja dari guru-guru dan pengurus pesantren yang lain. Di dalam hati saya langsung merasakan situasi tidak nyaman itu. Naluri saya terusik. Barangkali persis yang dirasakan seorang Ibu manakala anak-anaknya bertengkar. Saya menganggap mereka seperti anak-anak saya sendiri, lebih dari hubungan guru-murid. Jadilah, saat saya memasuki kelas mereka untuk mengajar, saya membuka kasus ini di hadapan mereka. Kendati saya telah mendengar laporan dari para guru dan pengurus pesantren bahwa kondisi sudah berbalik 'aman' lagi dan karenanya dinyatakan 'selesai', saya tetap menanyai mereka langsung. Saya tanyakan kebenaran informasi itu. Tidak saya mulai dari penghakiman. Tetapi saya mulai dari lontaran pertanyaan. Apa yang telah terjadi? Apakah persoalan sudah diselesaikan dengan baik? Apakah masih ada yang belum tuntas?

Salah seorang di antara mereka, yang tidak terlibat secara langsung [bukan person yang berkonflik] menjawab bahwa persoalan memang sudah diselesaikan, namun masih menyisakan sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang tidak baik, dalam pengertian belum mengembalikan situasi kelas kondusif seperti hari-hari sebelumnya. Oke, saya pikir biasanya memang demikian, butuh waktu bagi persoalan rekonsiliasi untuk memulihkan diri kembali.

Sebuah keputusan telak saya ambil di hadapan mereka. Saya sampaikan bahwa saya tak sudi mengajar di kelas mereka sampai mereka mampu selesaikan persoalan ini secara tuntas setuntas-tuntasnya dan mampu memberikan jaminan kepastian kepada saya selaku wali kelas mereka, bahwa persoalan seperti ini tak akan terulang lagi. Sejurus kemudian salam penutup saya ucapkan, saya tinggalkan kelas begitu saja. Mereka terbengong-bengong...

Ajaib, malam harinya mereka mengadakan pertemuan secara khusus. Didampingi pengurus pesantren
tempat mereka tinggal. Proses musyawarah penyelesaian masalah, rekonsiliasi, mereka lakukan secara bersama-sama dalam situasi kekeluargaan. Hasilnya? Baik pengurus pesantren maupun murid yang terlibat konflik secara indah kemudian mengirim pesan singkat ke saya secara pribadi. Menyampaikan kronologis pertemuan sekaligus hasilnya. Sesuatu yang membuat saya terharu di akhir paragraf, kalimat yang meluncur dari murid saya adalah kalimat permohonannya kepada saya untuk ridho atas persoalan ini dan memohon kepada saya agar berkenan mengajar mereka kembali. Jujur, saya terharu...

Keesokan paginya, saya masuk ke kelas mereka kendati saat itu saya tak ada jadwal atau jam mengajar. Saya mengapresiasi apa yang sudah mereka lakukan. Saya membuka kembali ruang rekonsiliasi terbuka di dalam kelas. Cukup singkat, tak sampai 15 menit. Satu per satu dari mereka bersuara. Menyatakan kesalahan masing-masing dan meminta maaf. Closing statement saya sampaikan terkait rekonsiliasi itu. Semacam kontemplasi singkat. Saya meminta mereka untuk terlebih dahulu untuk saling memaafkan diri sendiri masing-masing. Bahwa kemampuan memaafkan orang lain adalah dimulai dari menyadari kesalahan diri sendiri terelebih dahulu. Lalu kami semua saling bersalam-salaman sebagai simbolisasi dan uapaya perekatan hubungan psikologis kami...

Saya merasa mendapat anugerah dari sistem pendidikan yang dianut di sekolah kami yang mengintegrasikan pendidikan formal [Madrasah Aliyah] dengan pondok pesantren. Penanaman nilai-nilai yang menjadi keseharian memberikan perisai tersendiri dalam menghadapi apa pun persoalan yang menyesakkan. Anak-anak saya masih berada dalam "bingkai" ruang yang menyehatkan secara psikologis. Dipandu lingkungan keagamaan yang mewarnai roda hidup mereka 24 jam. Ada yang berpadu saat mereka tinggal di asrama dan mengikuti kegiatan sehari-hari dalam alur pesantren [keilmuan dan akhlak], lalu aktivitas formal dalam KBM di bangku sekolah.

Pada akhirnya, proses rekonsiliasi dari pembelajaran resolusi konflik secara sederhana mampu anak-anak saya lakukan secara cukup matang dan istimewa. Ini menjadi kali pertama kami ditempa secara bersama-sama bagaimana mengelola harmoni hidup sebagai laboratorium belajar yang sesungguhnya.

Kotagede, 7 November 2014