3 Desember 2010
Satu hari yang paling sulit didefinisikan. Terlebih nuansanya bagi saya dan keluarga. Malam itu, setiba di rumah dari opname
di rumah sakit, hanya berselang dua jam, Ibu berpulang menghadap Yang
Maha Kuasa. Ibu berpulang dipandu dengungan suara-suara doa yang
dipanjatkan oleh jamaah ibu-ibu dari ruang pesholatan. Entah
bertalian atau tidak, sehari sebelumnya, masih di rumah sakit, Ibu
memang meminta agar di rumah diadakan acara doa bareng
[tahlilan-yasinan] oleh jamaah ibu-ibu yang pernah beliau pimpin semasa
sehat dulu.
Dan malam ketika Ibu hendak berpulang
kepada-Nya, menit-menit terakhir perbincangan di ruang putih rumah sakit
pada sisa-sisa Maghrib, Ibu memanggil-manggil Kakek-Ninek yang telah
bertahun silam tiada [kami semua memanggil orang tua Ibu dengan sebutan
"Kakek-Ninek", bukan Mbah Kakung Mbah Putri sebagaimana umumnya di
kampung kami]. Saya diam saja, tidak menanggapi kalimat panggilan itu
meski kulihat Ibu masih memiliki kesadaran penuh. Di ujung kalimatnya,
Ibu mengatakan ingin segera tiba di rumah dan Ibu ingin memilih waktu
kematiannya di rumah. Lagi-lagi saya diam dan tidak menjawab sama sekali
kalimat itu. Tak perlu dibayangkan bagaimana hati saya remuk dan hancur
kala itu.
Ya, Ibu saya masih dalam kesadaran penuh ketika
mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang sangat jelas bahwa beliau ingin
meninggal dunia di rumah kami sendiri, bukan di rumah sakit. Apakah
orang yang akan meninggal bisa mengetahui "waktu" yang akan datang itu?
Ataukah bawah sadarnya yang muncul? Allahua'lam.
Setiap
orang memiliki sikap masing-masing dalam menghadapi "kehilangan". Sebuah
lakon hidup yang tak bisa dihindari atau ditepis, sebaliknya, harus
dihadapi dengan "gagah". Tak sedikit yang berhasil keluar dari sedih nan
akut seusai "kehilangan" itu. Tak sedikit pula yang gagal menepis sakit
dari penderitaan usai "kehilangan" itu. Dan saya memilih yang pertama.
Saya masih memilih, lantaran semuanya terus berproses dipandu sang
waktu. Bukan kepastian yang saya bisa lahirkan. Saya hanya bisa
menjalani. Itu saja. Saya seorang hamba..
Saya kira tak
ada yang melawan ungkapan kebanyakan, bahwa ditinggal pergi orang tua
selama-lamanya adalah kesakitan paling agung dalam hidup kita. Bagaimana
tidak? Orang tua adalah belahan dari jiwa, bagian dari yang "menyusun"
ruh kita. Sulit sekali menjawab bagaimana rasanya berpisah dengan
belahan jiwa seperti itu. Bagaimana rasanya saat bagian dari ruh kita
tercabut. Terlebih-lebih lagi ketika ditinggal Ibu. Saya tidak pernah
bisa membayangkan sebelumnya bagaimana jika berpisah dengan Ibu.
Sebagaimana saya tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan saya ketika
sembilan bulan saya berada dalam wadah rahim Ibu. Seluruhnya gelap
dalam penglihatan saya. Apa artinya? Tak lain betapa tak ada artinya
saya, terlebih di hadapan Sang Pembuat Kehidupan itu sendiri. Ada yang
terbatas dalam kefanaan saya. Ada yang tak terjangkau dalam sulur-sulur
ingatan raga saya. Pada titik yang demikian, pengetahuan itu hadir,
bahwa kita tidak pernah memiliki apa-apa. Termasuk orang tua atau
belahan jiwa. Semua milik Tuhan sepenuh-penuhnya. Dan ketika Sang
Pemilik memintanya kembali, kita ini apa? Siapa? Bisa apa?
Suatu
hari, saya berkunjung ke rumah Bu Martini, konon sahabat akrab Ibu
sejak Ibu masih gadis. Sebelumnya tak pernah saya melakukan ini, entah
wahyu apa yang menuntun saya kala itu hingga tiba di hadapan sahabat Ibu
yang masih cantik itu. Sebuah pagi gerimis, mata saya menyapu halaman
luas nan asri di kediaman mewah beliau. Hamparan sawah di samping rumah
itu, menghamburkan ruap hawa dingin yang dibawa gerimis. Dari dalam
rumah keluar sosok yang hendak saya tuju, mengernyitkan dahinya melihat
saya yang tengah memarkir motor. Begitu saya mengucap salam dan mencium
tangan beliau, pecahlah tangis beliau di pagi itu. Saya tidak menyangka,
kedatangan saya membuatnya menangis. Semuanya bercampur, rindu juga
haru. Dipeluknya saya sembari terus diusap-usap kepala saya yang
berkerudung. Saya hanya terus tersenyum, saya tidak mampu menangis,
entah, mungkin waktu itu saya sengaja memberi kesempatan hanya milik
beliau. Lantas saya diajaknya masuk, bukan ke ruang tamu sebagaimana
lazimnya, melainkan ke ruang tengah, ruang keluarga. Saya merasa
diperlakukan istimewa. Dibuatkannya segelas teh hangat untuk saya.
Kemudian diambilkannya saya piring dan sendok, beliau mengangsurkan
kepada saya dengan isi penuh nasi, sayur, dan lauk-pauk. Beliau meminta
saya menghabiskan makanan itu. Jadilah pemandangan kala itu, seorang
gadis berkerudung seorang diri menikmati sarapan pagi ditingkah gerimis
ritmis dipandu kisah-kisah yang meluncur dari seorang Ibu yang duduk di
depannya. Air muka beliau begitu bening menatap saya, lama. Membuat saya
grogi. Nyaris mudah tertebak apa saja yang beliau kisahkan; tentang
masa-masa indah beliau bersama mendiang Ibu saya! Dalam hati saya sempat
menirukan ucapan Da Jang Geum kepada Madam Han ketika terkuak siapa
jati dirinya. Ya, "Saya tengah bersama sahabat Ibu, tidakkah engkau
lihat ini, Ibu?". Empat jam saya berada di rumah Bu Martini. Tidak
terasa, selama itu beliau mengudar cerita panjang tentang mendiang Ibu.
Saya tidak menyangka bahwa Bu Martini bisa merasakan "kehilangan" itu
melebihi yang saya rasakan. Saya mencatatnya dalam hati. Saya mengamini
kesaksian Bu Martini. Saya memohonkan berkah kepada Tuhan untuk beliau.
Saya merasa terlambat mengetahui. Saya merasa kian tak tahu apa-apa.
Saya merasa kian fana'.
Empat tahun sudah dalam bilangan
angka saya berpisah dengan Ibu. Hari demi hari menggelinding dalam
kehidupan saya, nyatanya saya tak pernah mampu menghanyutkan ingatan
derita "kehilangan" itu dalam samudera jiwa. Saya hanya mampu
menyusunnya kembali dalam remah hati. Mengikat kasih sayang yang tak
pernah putus Tuhan anugerahkan itu, dalam paragraf doa munajat saya.
Saya bahagia ditakdirkan sebagai penyaksi, memberikan kesaksian paling
jujur kepada Tuhan bahwa Ibu telah usai menunaikan "tugas khalifah"-nya
kepada kami, Ibu telah tunai dengan sangat baik menjaga rahmat-Nya untuk
kami. Ibu tak pernah mampu kami definisikan selain bahwa beliau adalah
hulu sekaligus muara kasih sayang tak berbilang...
Sebagaimana
kisah Kanjeng Nabi Muhammad SAW, seandainya boleh menyembah, Ibu-lah
yang akan disembah setelah Tuhan. Saya mengamini itu jauh sekali di
lubuk hati. Sejauh jarak rindu yang tak mampu dipangkas antara hidup dan
mati...
*Al-Fatihah
~dalam luruh Maghrib, 5 Desember 2014~