Jumat, 05 Desember 2014

Empat Tahun dalam Bilangan Angka

3 Desember 2010

Satu hari yang paling sulit didefinisikan. Terlebih nuansanya bagi saya dan keluarga. Malam itu, setiba di rumah dari opname di rumah sakit, hanya berselang dua jam, Ibu berpulang menghadap Yang Maha Kuasa. Ibu berpulang dipandu dengungan suara-suara doa yang dipanjatkan oleh jamaah ibu-ibu dari ruang pesholatan. Entah bertalian atau tidak, sehari sebelumnya, masih di rumah sakit, Ibu memang meminta agar di rumah diadakan acara doa bareng [tahlilan-yasinan] oleh jamaah ibu-ibu yang pernah beliau pimpin semasa sehat dulu.

Dan malam ketika Ibu hendak berpulang kepada-Nya, menit-menit terakhir perbincangan di ruang putih rumah sakit pada sisa-sisa Maghrib, Ibu memanggil-manggil Kakek-Ninek yang telah bertahun silam tiada [kami semua memanggil orang tua Ibu dengan sebutan "Kakek-Ninek", bukan Mbah Kakung Mbah Putri sebagaimana umumnya di kampung kami]. Saya diam saja, tidak menanggapi kalimat panggilan itu meski kulihat Ibu masih memiliki kesadaran penuh. Di ujung kalimatnya, Ibu mengatakan ingin segera tiba di rumah dan Ibu ingin memilih waktu kematiannya di rumah. Lagi-lagi saya diam dan tidak menjawab sama sekali kalimat itu. Tak perlu dibayangkan bagaimana hati saya remuk dan hancur kala itu.

Ya, Ibu saya masih dalam kesadaran penuh ketika mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang sangat jelas bahwa beliau ingin meninggal dunia di rumah kami sendiri, bukan di rumah sakit. Apakah orang yang akan meninggal bisa mengetahui "waktu" yang akan datang itu? Ataukah bawah sadarnya yang muncul? Allahua'lam.

Setiap orang memiliki sikap masing-masing dalam menghadapi "kehilangan". Sebuah lakon hidup yang tak bisa dihindari atau ditepis, sebaliknya, harus dihadapi dengan "gagah". Tak sedikit yang berhasil keluar dari sedih nan akut seusai "kehilangan" itu. Tak sedikit pula yang gagal menepis sakit dari penderitaan usai "kehilangan" itu. Dan saya memilih yang pertama. Saya masih memilih, lantaran semuanya terus berproses dipandu sang waktu. Bukan kepastian yang saya bisa lahirkan. Saya hanya bisa menjalani. Itu saja. Saya seorang hamba..

Saya kira tak ada yang melawan ungkapan kebanyakan, bahwa ditinggal pergi orang tua selama-lamanya adalah kesakitan paling agung dalam hidup kita. Bagaimana tidak? Orang tua adalah belahan dari jiwa, bagian dari yang "menyusun" ruh kita. Sulit sekali menjawab bagaimana rasanya berpisah dengan belahan jiwa seperti itu. Bagaimana rasanya saat bagian dari ruh kita tercabut. Terlebih-lebih lagi ketika ditinggal Ibu. Saya tidak pernah bisa membayangkan sebelumnya bagaimana jika berpisah dengan Ibu. Sebagaimana saya tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan saya ketika sembilan bulan saya berada dalam wadah rahim Ibu. Seluruhnya gelap dalam penglihatan saya. Apa artinya? Tak lain betapa tak ada artinya saya, terlebih di hadapan Sang Pembuat Kehidupan itu sendiri. Ada yang terbatas dalam kefanaan saya. Ada yang tak terjangkau dalam sulur-sulur ingatan raga saya. Pada titik yang demikian, pengetahuan itu hadir, bahwa kita tidak pernah memiliki apa-apa. Termasuk orang tua atau belahan jiwa. Semua milik Tuhan sepenuh-penuhnya. Dan ketika Sang Pemilik memintanya kembali, kita ini apa? Siapa? Bisa apa?

Suatu hari, saya berkunjung ke rumah Bu Martini, konon sahabat akrab Ibu sejak Ibu masih gadis. Sebelumnya tak pernah saya melakukan ini, entah wahyu apa yang menuntun saya kala itu hingga tiba di hadapan sahabat Ibu yang masih cantik itu. Sebuah pagi gerimis, mata saya menyapu halaman luas nan asri di kediaman mewah beliau. Hamparan sawah di samping rumah itu, menghamburkan ruap hawa dingin yang dibawa gerimis. Dari dalam rumah keluar sosok yang hendak saya tuju, mengernyitkan dahinya melihat saya yang tengah memarkir motor. Begitu saya mengucap salam dan mencium tangan beliau, pecahlah tangis beliau di pagi itu. Saya tidak menyangka, kedatangan saya membuatnya menangis. Semuanya bercampur, rindu juga haru. Dipeluknya saya sembari terus diusap-usap kepala saya yang berkerudung. Saya hanya terus tersenyum, saya tidak mampu menangis, entah, mungkin waktu itu saya sengaja memberi kesempatan hanya milik beliau. Lantas saya diajaknya masuk, bukan ke ruang tamu sebagaimana lazimnya, melainkan ke ruang tengah, ruang keluarga. Saya merasa diperlakukan istimewa. Dibuatkannya segelas teh hangat untuk saya. Kemudian diambilkannya saya piring dan sendok, beliau mengangsurkan kepada saya dengan isi penuh nasi, sayur, dan lauk-pauk. Beliau meminta saya menghabiskan makanan itu. Jadilah pemandangan kala itu, seorang gadis berkerudung seorang diri menikmati sarapan pagi ditingkah gerimis ritmis dipandu kisah-kisah yang meluncur dari seorang Ibu yang duduk di depannya. Air muka beliau begitu bening menatap saya, lama. Membuat saya grogi. Nyaris mudah tertebak apa saja yang beliau kisahkan; tentang masa-masa indah beliau bersama mendiang Ibu saya! Dalam hati saya sempat menirukan ucapan Da Jang Geum kepada Madam Han ketika terkuak siapa jati dirinya. Ya, "Saya tengah bersama sahabat Ibu, tidakkah engkau lihat ini, Ibu?". Empat jam saya berada di rumah Bu Martini. Tidak terasa, selama itu beliau mengudar cerita panjang tentang mendiang Ibu. Saya tidak menyangka bahwa Bu Martini bisa merasakan "kehilangan" itu melebihi yang saya rasakan. Saya mencatatnya dalam hati. Saya mengamini kesaksian Bu Martini. Saya memohonkan berkah kepada Tuhan untuk beliau. Saya merasa terlambat mengetahui. Saya merasa kian tak tahu apa-apa. Saya merasa kian fana'.

Empat tahun sudah dalam bilangan angka saya berpisah dengan Ibu. Hari demi hari menggelinding dalam kehidupan saya, nyatanya saya tak pernah mampu menghanyutkan ingatan derita "kehilangan" itu dalam samudera jiwa. Saya hanya mampu menyusunnya kembali dalam remah hati. Mengikat kasih sayang yang tak pernah putus Tuhan anugerahkan itu, dalam paragraf doa munajat saya. Saya bahagia ditakdirkan sebagai penyaksi, memberikan kesaksian paling jujur kepada Tuhan bahwa Ibu telah usai menunaikan "tugas khalifah"-nya kepada kami, Ibu telah tunai dengan sangat baik menjaga rahmat-Nya untuk kami. Ibu tak pernah mampu kami definisikan selain bahwa beliau adalah hulu sekaligus muara kasih sayang tak berbilang...

Sebagaimana kisah Kanjeng Nabi Muhammad SAW, seandainya boleh menyembah, Ibu-lah yang akan disembah setelah Tuhan. Saya mengamini itu jauh sekali di lubuk hati. Sejauh jarak rindu yang tak mampu dipangkas antara hidup dan mati...

*Al-Fatihah

~dalam luruh Maghrib, 5 Desember 2014~