Selasa, 03 September 2024

Drama Keluarga Biasa yang Tidak Biasa; Catatan Usai Menonton Film "The Magic of Ordinary Days"

 


Minggu pagi, 7 Desember 1941 Jepang berhasil meluluhlantakkan armada laut AS di sebuah pelabuhan terkuat bernama Pearl Harbour. Peristiwa tragis itu telah menewaskan korban yang begitu besar di pihak AS.
Peristiwa ini sekaligus menandai dimulainya Perang Asia Timur Raya sekaligus masuknya Amerika Serikat ke dalam Perang Dunia II.

Rilis pada tahun 2005, film ini dibintangi oleh dua tokoh utama Keri Russel sebagai Livy, seorang perempuan cerdas dan berbakat yang datang dari sebuah kota di AS. Mahasiswi pascasarjana dengan konsentrasi arkeologi. Sangat tertarik dengan 'hal yang dianggap usang oleh sebagian orang', karenanya butuh untuk 'digali' lebih dalam. Tokoh utama kedua diperankan oleh Skeet Ulrich yang berperan sebagai Raymond, seorang petani di distrik maha luas di kawasan Amerika, memiliki keluarga dengan latar belakang militer dan semangat nasionalisme atas eksistensi negara. Adik laki-lakinya, seorang tentara yang turut terjun langsung dalam Perang Dunia. Sekaligus menjadi korban tewas dari peristiwa penyerangan Pearl Harbor oleh militer Jepang yang mengubah dunia dan arah kebijakan sentral politik Amerika kala itu. Sang adik yang anumerta tersebut dimakamkan di sebuah pemakaman sunyi di desa mereka tinggal. Ray dan adik perempuannya, memiliki luka batin tak terkira atas kematian sang adik laki-laki tersebut. Maka ia sebagai kakak kemudian bertekad untuk "menjaga makam adik" dengan mengabdikan diri selamanya tinggal di desa tersebut ketimbang turut menyumbangkan diri sebagai bagian dari nasionalisme warga Amerika, sebagai tentara. Ray tampak hanya seperti lelaki petani desa biasa. Namun film itu mengisahkan latar belakang awal abad 20 dalam tataran modernitas awal negara AS, sekurangnya tampak dari representasi mesin traktor dan sudah adanya pesawat telepon. Sehingga meski tinggal di desa kawasan pertanian, Ray adalah juga seorang petani sukses.

Menit awal film ini mengisahkan Livy sebagai seorang gadis yang 'dibuang' oleh ayahnya, lantaran kedapatan hamil di luar pernikahan sementara pacar yang menghamilinya tidak bertanggung jawab. Sang ayah menyusun skenario 'penyelamatan muka' dari penjagaannya terhadap nilai dan kehormatan keluarga. Mengirim Livy ke desa di mana Ray tinggal. Skenario pernikahan untuk memberikan perlindungan terhadap kehamilan Livy ini ditangani oleh pendeta terpandang yang berkoneksi dengan ayah Livy.

Utusan pendeta menjemput kedatangan Livy di stasiun. Mereka menuju rumah dan mempertemukan dengan Ray. Pada pandangan pertama dikisahkan bahwa si laki-laki langsung bisa menerima dan bahkan jatuh cinta dalam sikap yang sunyi dan tenang meski ia
tahu bahwa perjodohan mereka adalah semata kontrak dan tidak selamanya. Sementara Livy masih tampak menjaga jarak dan menyimpan pertanyaan tidak menentu di hatinya.

Adegan berikutnya langsung disusul dengan sebuah upacara pemberkatan pernikahan oleh pendeta di gereja. Pemberkatan pernikahan itu hanya disaksikan oleh adik Ray dan seorang pemetik piano. Ray lantas membawa Livy pulang ke rumahnya. Ray telah melakukan segala persiapan lebih dari cukup. Menyediakan rumah yang ditempatinya seorang diri selama ini, lengkap dengan segala isinya untuk mendukung (kenyamanan) seorang ibu hamil. Livy sebagai tokoh utama di film ini benar-benar diperlakukan sebagai "perempuan yang sangat beruntung". Livy dengan sangat baik diterima di lingkungan sosial yang menjauhkan dirinya dari tekanan sosial, bahkan dalam bentuk apa pun. Ray (juga keluarganya, dalam hal ini adik perempuannya yang kebetulan telah berkeluarga) seolah menjadi "pahlawan berkuda putih" yang bersedia menjemput sang putri dalam keadaan 'terhormat' serta tidak merasakan kekurangan dan kesukaran hidup apa pun.

 Jika ada kesulitan, maka satu-satunya yang dirasakan pada awalnya adalah belum adanya telepon kabel di rumah Ray, meskipun pada akhirnya keinginannya dipenuhi oleh Ray di akhir cerita. Keinginan Livy untuk bisa berkomunikasi atau berkabar dengan keluarganya di rumah (terutama Abby, adik perempuannya) menjadi sedikit terhambat. Livy musti keluar rumah, keluar dari distrik persawahan mahaluas tersebut menuju kota--yang juga masih dalam skala kecil--untuk bisa melakukan panggilan telepon melalui KBU atau kabin khusus telepon umum. Livy harus menggunakan agen pos untuk berkirim surat. Di film ini memang tidak ditampakkan televisi (sebagai penanda modernitas lain, selain telepon).

Ray diperankan dengan karakter yang agak kaku, tidak romantis, namun tetap lembut. Semata ditujukan untuk dapat memberikan kenyamanan bagi Livy. Pernikahan paksa itu terkesan tidak menimbulkan efek buruk, justru sebaliknya, meski tetap tercipta jarak antara keduanya dengan masing-masing tidur di kamar sendiri. Begitu juga dengan Livy, berhati baik dan lembut serta mampu berperan sebagai ibu rumah tangga domestik dengan sangat baik. Hanya digambarkan satu kekurangannya, yakni tidak bisa memasak. Pasangan suami-istri ini juga dikelilingi sirkel sosial yang nyaris baik dan memberikan rasa aman dan nyaman bagi Livy untuk tinggal lama.

Ordinary days alias hari-hari biasa, hari-hari selayaknya orang berkeluarga, berumah tangga. Hanya adagium yang populer di jawa witing tresna jalaran seka kulina muncul dari bahasa tubuh Ray terhadap Livy. Sedikit romantik hadir sesaat ketika mereka berdua baru pulang dari pesta perayaan ulang tahun adik perempuan Ray. Di pesta itu mereka tampil untuk pertama kalinya dalam situasi "dekat" secara fisik, yakni dengan menari. Sentuhan fisik itu rupanya memicu hal sentimentil romantik di diri Ray terutama. Hampir saja Ray mencium Livy ketika hendak berangkat tidur, namun Livy menolak halus.

Latar Perang Dunia II

Sedikit ketegangan dimulai dari Livy yang suatu hari menemukan teman baru, dua  perempuan pekerja di areal pertanian. Rupanya mereka adalah tawanan perang. Dua orang yang mengaku orang Amerika, namun jelas mereka adalah orang Jepang. Tidak dijelaskan gamblang di film ini tentang peran kedua perempuan pekerja tawanan ini. Mereka tinggal di kamp khusus dan sehari-hari bekerja di areal pertanian. Bila waktu istirahat bekerja tiba, mereka mengeksplor wilayah itu dengan menunjukkan minat mereka terhadap fauna, yakni kupu-kupu. Mereka dikisahkan sebagai dua orang yang menyukai kupu-kupu, menggambarnya di buku gambar khusus. Lantaran di areal itu terdapat diversifikasi fauna kupu-kupu yang cukup banyak. Livy yang tengah jalan-jalan tidak sengaja memergoki mereka berdua. Terjadilah perkenalan singkat dan Livy menawarkan kedua orang Jepang itu main ke rumahnya saat senggang. Persahabatan muncul dari situ.

Saat Livy menyampaikan hal itu, Ray hanya menunjukkan respons datar dan sedikit sinis, "orang Amerika tapi Jepang" ucapnya. Dengan hati-hati menjaga nada ucapannya, Livy menanyakan apakah Ray terganggu lantaran adiknya tewas dalam serangan Pearl Harbour. Agaknya sedikit ketegangan mulai tampak di sini. Namun Ray menutup obrolan dengan menyatakan bahwa ia bukanlah pembenci dan bukan yang suka bersosialisasi. Di kemudian waktu Livy baru mengetahui bagaimana hati Ray hancur bersebab kematian adik laki-lakinya itu. Saat makan malam peringatan Hari Thanksgiving, Ray mengungkapkan harapannya agar perang dunia usai dan mereka akan menjalani hidup dalam damai.

Latar Perang Dunia II dalam film ini juga tampak bahwa AS tengah bersitegang dengan negara-negara Eropa termasuk Jerman. Hal ini muncul ketika Livy bercerita tentang tokoh Arkeolog yang mendasarinya untuk menulis tesis tentang Troya, sebuah kota yang hilang. Ray langsung menanyakan apakah tokoh itu seorang Nazi Jerman. Livy menjawab bukan.

Dua negara disebut dalam film ini, Jepang dan Jerman, menjadi kunci ketegangan faktor luar yang rupanya mampu menembus dinding rumah tangga hubungan dua orang yang awalnya terlibat dalam pernikahan paksa. Persahabatan Livy dengan dua perempuan Jepang pekerja yang merupakan tawanan kemudian membawa mereka pada situasi yang nyaris berbahaya. Salah satu perempuan Jepang rupanya berpacaran dengan tawanan dari Jerman. Si laki-laki memanfaatkan kedekatan pacarnya dengan Livy, yakni menumpang mobil bak Livy agar membawanya pergi keluar dari kawasan itu. Akan tetapi, kecerdikan Livy mampu menggagalkan itu semua dengan sangat dramatis.

Witing Tresna Jalaran Seka Kulina

Pepatah jawa itu rupanya juga berlaku di Amerika. Kesabaran Ray dalam memperlakukan Livy, menjadi teman yang baik meski kadang ada sedikit diselingi kesalahpahaman, membuahkan hasil. Livy yang awalnya ragu dengan dirinya sendiri apakah pantas bersandingan dengan Ray, akhirnya mau menerima pernyataan Ray yang mencintainya. Ray tidak meminta membalasnya, hanya memberikan penguatan kepada Livy bahwa dia harus bisa memaafkan dirinya sendiri. Kalimat menyentuh itu berhasil membuat Livy mengurungkan niatnya untuk pergi meninggalkan Ray usai perayaan Thanksgiving. Kisah mereka berakhir bahagia dengan lahirnya si bayi yang dilingkupi kasih sayang orang-orang di sekitarnya.


Sumber tontonan: https://www.youtube.com/watch?v=vLsNPQRk5ds

Tidak ada komentar:

Posting Komentar