Minggu, 26 Januari 2025

Menonton "ASURA", Menonton Lanskap Sebuah Keluarga di Negeri Sakura

 

 

 

Drama series Jepang ini tayang perdana di pelantar Netflix, 9 Januari lalu. Kisah keluarga Kotaro Takezawa (70 tahun) yang diperankan oleh aktor senior Jun Kunimura dengan empat anak perempuan dewasa. Tentang sisi gelap seorang ayah yang dibuat "to the point" dalam tayangan episode pertama, hingga menjadi kemasan dari seluruh cerita dan menyibak misteri lain oleh masing-masing anggota keluarga. Dorama (dalam istilah Jepang) ini terurai dalam tujuh episode, masing-masing berdurasi satu jam. Menyuguhkan empat tokoh utama aktris Jepang dalam jajaran top. Rie Miyazawa berperan sebagai Tsunako, anak pertama berusia 50 tahun, lahir pada saat Perang Dunia II usai di mana Jepang mengalami kekalahan dan mengalami kehidupan keluarga yang sulit. Machiko Ono memerankan anak kedua (Makiko) berusia 40-an tahun, seorang ibu rumah tangga dengan dua anak remaja. Anak perempuan Takezawa yang ketiga adalah Takiko (diperankan oleh Yu Aoi) yang bekerja sebagai PNS di perpustakaan kota. Si bungsu diperankan oleh Suzu Hirose sebagai Sakiko. Keempat anak perempuan dewasa Takezawa tersebut tinggal di kediaman masing-masing dengan hanya Makiko yang dikisahkan tinggal bersama keluarga dalam biduk rumah tangga.

Dorama ini tercatat sebagai kisah drama/series realis yang sangat natural dari dialog yang terbangun satu sama lain. Karakter kuat nyaris dari seluruh pemainnya membuatnya layak disebut "film berdurasi panjang" ketimbang drama. Mengambil latar tahun 1979 di Tokyo yang kala itu telah menjelma "peradaban baru" dalam kancah modernisme usai kalah dalam percaturan perang dunia dan memasuki era Perang Dingin, Asura mengetengahkan sisi sosial dari unit kecilnya bernama keluarga. Pasang surut relasi antaranggota keluarga dengan empat anak yang semuanya telah dewasa, nyaris mengambil seluruh penceritaan.

Adalah Takiko, si anak ketiga yang bekerja sebagai pustakawan menyewa detektif untuk menyelidiki Takezawa. Sang ayah terbukti memiliki perempuan lain selain ibunya berikut seorang anak laki-laki berusia 7 tahun. Barang bukti berupa foto-foto dan identitas perempuan lain dalam hidup ayahnya itu lantas dibawa ke pertemuan keempat saudara kandung tersebut. Mereka bertemu di rumah Makiko. Percakapan yang benar-benar berlangsung secara natural sebagaimana layaknya antarsaudari kandung saat bertemu, hal remeh temeh dan menggelikan yang kadang menyinggung romantisme masa lalu mereka ketika masih tinggal bersama orangtua, memandu riuhnya pertemuan malam itu, meski berakhir dengan pemukulan terhadap Sakiko oleh Takiko lantaran tersinggung dengan ucapannya yang menyerang pribadi dan tampak tidak mau serius dengan kasus sang ayah. Takiko yang berkarakter serius dikisahkan tidak memiliki relasi emosional yang dekat dengan si bungsu, tidak seperti Tsunako dan Makiko.


Takiko mengambil peran sentral dalam problem utama ini dengan alasan membela dan menyelamatkan ibunya. Sebuah alasan yang tampaknya tidak begitu mendapat dukungan kuat oleh saudarinya yang lain, kecuali Makiko. Tsunako sendiri dapat ditebak sikapnya lantaran ia memiliki sisi pribadi yang disembunyikan sehingga naif jika ia mendukung Takiko untuk menyibak perselingkuhan ayahnya. Sakiko si anak bungsu yang bekerja sebagai pelayan restoran dan tengah menjalin hubungan dengan petinju profesional amatir tampak sangat tidak peduli, sejalan dengan karakter yang dilekatkan kepadanya sebagai tokoh yang suka bertindak konyol dan tidak dewasa. Hanya Makiko yang setuju dengan langkah Takiko, yang sesungguhnya lebih dibayangi oleh ketakutan bahwa kelak suaminya pun akan berada satu barisan dengan ayahnya. Namun, baik Tsunako, Makiko, maupun Sakiko disatukan dalam perspektif yang sama yang bisa jadi di luar dugaan penonton, yakni pandangan permissif mereka bahwa "lelaki memang begitu" seakan memaklumi perilaku selingkuh laki-laki.

Penceritaan dengan sangat realis ini bagi saya menyenangkan. Tidak seperti drama-drama lain seperti Korea atau Cina yang bungkus dramatisasinya kerap overdosis, dorama satu ini disuguhkan dengan karakter, latar, dan pengemasan cerita yang cukup kuat dan menjauh dari kesan dramatisasi. Terkesan tidak dibuat-buat. Seolah benar-benar dibawa masuk ke dalam khasanah hidup sehari-hari di dalam sebuah keluarga, di dalam sebuah masyarakat Jepang. Diperkuat dengan penataan latar ruang sebuah rumah keluarga era 1979-1980-an dengan aneka perabot dan partisi yang disusun "begitu penuh" dan tidak teratur. Sentuhan modernitas ditampilkan lewat adanya pesawat telepon kabel, televisi, alat pemutar video, juga kulkas. Bahkan, di sebuah scene, si bungsu Sakiko tampil mengendarai mobil mewah dengan atap terbuka, sebagai penanda pencapaian status ekonomi usai menikah dengan petinju profesional yang karirnya menanjak. Satu hal yang rupanya menjadi titik rumitnya dalam relasi dengan Takiko, kakak persis atasnya.

Konflik berjalan "amat teratur" usai terungkap perselingkuhan Takezawa. Fuji, istri Takezawa, diperankan oleh Keiko Matsuzaka justru tidak banyak mengambil peran dalam ketegangan cerita drama ini. Karakter keibuan yang sangat kuat menempel padanya membuat hidup dijalani dengan sangat biasa. Emosi dipendam dengan sangat halus, lantas dibuat "meledak" sekian detik oleh sutradara, dilokasikan secara cerdik dengan shoot kamera ke mainan mobil-mobilan ukuran kecil yang cukup ditekan menggunakan telapak tangan hingga remuk dan ditimpukkan ke dinding papan hingga mencipta sebuah lubang. Saking halusnya emosi yang dikelolanya, terlontar kalimat "begitu perempuan mengakui, maka saat itu ia kalah", untuk menanggapi kasus selingkuh laki-laki.

Kendati seolah puncak konflik mengambil hal umum dari alat drama, yakni rumah sakit yang mempertemukan mereka semua dengan si ibu yang kemudian meninggal dunia dalam kehancuran hati, Asura tidak menghentikan diri di situ. Cerita seolah memulai dari awal lagi, seolah hendak menyelesaikan hubungan-hubungan yang rumit yang tersisa antarsaudari dengan ayah mereka. Detil yang tidak tertebak, jadi alat bagi sutradara untuk kian mempermanis penceritaan. Dari Asura penonton diajak menonton lanskap sebuah keluarga dengan empat anak perempuan yang semuanya berusia dewasa, menonton bagaimana kehidupan yang berlangsung dalam sebuah keluarga itu sejatinya tidak pernah berjarak cukup jauh dari realitas sehari-hari, realitas kekinian di berbagai bangsa.