“Akhirnya
kriwikan dadi grojogan, Mas”, ucapku sembari menerima uluran secangkir
kopi tanpa gula buatan suamiku. Sore ini kami menggiring ujung hari dengan
berbincang di sisi samping tempat kami tinggal, yang kami fungsikan sebagai
beranda. Kendati hanya seluas tiga kali lima meter, suamiku cekatan menata
nyaris di semua sisi. Didesainnya sebuah kolam ikan mini yang tidak ada ikannya
di sudut tembok pembatas. Tampak hanya ada tiga lembar daun dan tangkai bunga
teratai yang masih menguncup, mengapung di atas air. Sepoi angin mengembus ke wajahku.
Segar.
“Masih
soal Sumi?”, responsnya, sejurus kemudian meletakkan pantatnya duduk di
sebelahku. Diletakkannya gawai miliknya di atas meja, usai scroll mengecek
progres harian pekerjaannya sebagai seorang desain interior.
“Iya.
Apalagi kalau bukan itu?”, jawabku dengan nada tanya. Kami diam, jeda sejenak.
Suamiku menghela napas berat. Nyaris semua tentang Sumi selalu aku kisahkan
kepadanya. Sumi, teman sepermainan semasa kecil dulu di kampung. Nama yang di
ingatanku hanya tersemat penderitaan di sebagian besar hidupnya kini.
“Apa
yang kamu sampaikan ke Sumi?”, tanya suamiku.
“Ndak
ada yang bisa kusampaikan, Mas. Selain harusnya ia berpisah saja dari Topo,
suaminya. Wong sekarang malah kian ruwet dan membesar masalahnya. Sumi terlihat
bimbang dan kalut. Tapi tidak tahu bagaimana mengatasinya. Ia takut suaminya
kembali merundungnya. KDRT”, aku bicara dengan rasa prihatin yang buntu.
Sumi
Liem, nama aslinya. Ia warga keturunan. Terlahir dari Bapak Cina, ibu Jawa. Kebetulan
ia tinggal selisih tiga rumah dengan rumah keluargaku. Kami kerap bermain dan
bersekolah bersama-sama. Kulitku yang cenderung legam dan kulitnya yang putih glowing
menjadikan kami seperti dua anak yang datang dari dua dunia asing jauh.
Sumi mewarisi hampir seratus persen ciri fisik dari bapaknya. Hanya hidung yang
mirip ibunya, sedikit lebar dan besar. Anak-anak sekolah kami kadang
merundungnya. Mengejek hidungnya yang mirip bongkok pelepah batang kelapa. Sumi
kerap melawan. Tak jarang berakhir dengan perkelahian. Meski tubuhnya setipis papan
tripleks, saking kerempengnya, kekuatan fisiknya rupanya bertolak belakang. Ia
bisa sekuat baja. Karenanya ia selalu menang kelahi, sekalipun melawan anak
laki-laki.
Keluarga
Sumi tergolong kalangan the have, demikian kami mengistilahkannya
dahulu. Keluarga berpunya. Orangtuanya membuka usaha studio foto dan penyewaan
tenda, tarub, meja, kursi, dan alat-alat hajatan. Itungannya terbesar di sebuah
kota kecil kabupaten. Tujuh kilometer dari rumah. Sumi anak tunggal. Namun hal
itu tidak menjadikannya bak princess, sebagaimana imajinasi tentang Ratu
Bidadari yang sering sama-sama kami baca dari majalah Bobo langganannya.
Sumi satu-satunya anak yang langganan majalah itu. Orangtuanya lebih dari mampu
untuk hanya sekadar membayar langganan majalah anak-anak termahal kala itu. Aku
beruntung bisa nebeng, menuntaskan dahagaku membaca. Lebih tepatnya,
takjub dengan gambar-gambar bagus di majalah itu.
Segala
kebutuhan Sumi tercukupi. Sangat tercukupi dibandingkan dengan keluarga-keluarga
lain di kampung kami. Ditambah lagi eyang Sumi yang tinggal satu rumah
dengannya, adalah orang terpandang di kampung kami. Tanah sawah dan tegalannya
banyak. Eyang Sumi menjabat lurah di desa kami. Tanah bengkok-nya sangat
menjanjikan. Lantaran sifat dermawannya, eyang Sumi sangat dihormati dan
disegani seluruh warga. Nyaris tidak ada yang kurang dari masa kecilnya. Kami
berpisah ketika orangtua Sumi pindah ke ibukota. Membuka bisnis di sana. Sumi
diajaknya serta. Sumi memulai sekolah SMP di sana.
Aku
kehilangan sahabat riang dan baik hati seperti Sumi sejak saat itu. Meski
setahun sekali Sumi pasti mudik saat lebaran, kami tidak pernah leluasa bermain
sama-sama karena tradisi lebaran di keluarga terpandang eyang Sumi selalu saja padat,
selalu ada acara besar yang membuat Sumi harus terlibat di dalamnya.
Kepergianku merantau ke lain provinsi selepas SMA dan jarang pulang, turut
andil dalam membuat kami tidak pernah bisa bersua.
“Hati-hati
berbicara soal ini dengannya, Dik. Keprihatinan kita pada kondisi Sumi
sewajarnya saja. Karena ini sudah urusan pribadi ia dan keluarganya”, ucap
suamiku membuyarkan jalan-jalannya ingatanku.
“Ya
tapi tetap saja Sumi harus dibantu, Mas. Dia tidak ada siapa-siapa sekarang.
Hanya aku yang dianggapnya bisa menjadi support system-nya” sanggahku.
“Benar,
aku mengingatkan saja kalau-kalau kamu lupa. Masalah begini kan hampir selalu
ada di seluruh keluarga di Indonesia” sahut suamiku cepat.
“Masalah
keluarga Indonesia”, kami berucap serempak bersamaan. Ya, kami sering
mengatakan kalimat itu setiap kali membahas peliknya persoalan keluarga di
mana-mana. Tapi aku merasa kelu. Masalah Sumi terasa sangat serius lantaran ia
sahabat baikku. Aku turut merasakan kepahitan yang ia alami. Jika dulu raut
wajah Sumi putih glowing cantik khas warga keturunan, maka kini wajahnya
putih pucat seperti mayat.
Suamiku
diam. Biasanya ia akan begitu ketika perbincangan di antara kami kehabisan
kalimat. Ia tahu aku reaksioner jika sudah menyangkut sahabatku itu. Ia sengaja
membiarkan aku rusuh dengan pikiranku sendiri.
MEI
1998
Langit
hitam menudungi ibukota kala itu, awal dari penderitaan hidup Sumi. Sekurangnya
demikian yang aku dengar tentang Sumi di kemudian hari. Keluarga Sumi
porak-poranda. Kedua orangtuanya hangus terbakar saat api menyulut di bangunan rumah
sekaligus pertokoan di mana mereka tinggal. Sumi diseret oleh orang-orang yang
tak dikenalnya. Sumpah serapah dan caci maki lantaran matanya yang sipit menghujani
telinganya. Sumi yang kukenal punya fisik sekuat baja, kala itu lunglai dalam
kepungan massa. Tubuhnya koyak oleh hantaman fisik yang tak sanggup aku
ceritakan. Ia ditemukan beberapa hari setelahnya di rumah sakit. Konon kawan-kawan
aktivis di kampusnya berhasil menolongnya.
Namun
sejak saat itu hidup Sumi suwung, lahir batinnya telah koyak. Ia
menanggung luka sangat dalam dari sesuatu yang tidak pernah ia mengerti.
Gejolak sosial yang hanya ia kenal lewat teori-teori ilmu sosial di bangku
kuliahnya, tidak dinyana menghampiri hidupnya dan menghabisi tanpa ampun. Sumi
dijemput pulang oleh keluarga eyangnya. Pulang ke kampungku dalam kondisi
mental hancur dan depresi berat.
Beberapa
waktu kemudian Sumi berbadan dua. Tragedi Mei itu ternyata membuat perutnya
bunting. Tanpa tahu sesiapa dan bagaimana. Hanya ingat bahwa ada banyak
laki-laki laknat dan durjana. Kengerian yang nyaris membuatnya gila. Keluarga
eyang Sumi lalu menikahkannya dengan laki-laki yang dipilih dan dipaksa. Ada
berkat atas imbalan materi sebagai syarat. Tentu saja si laki-laki yang
kebetulan anak dari asisten rumah tangga keluarga eyang Sumi itu mau menikahi
Sumi. Ia kaya mendadak sejak saat itu. Entah apa yang sedang coba diselamatkan
oleh keluarga eyang Sumi terhadapnya. Nasib Sumi atau rasa malu dan kehormatan
keluarga besar kepala desa.
Aku
ingat, waktu itu aku berbicara di telepon dengan ibuku. Mengalirlah kisah itu
dari mulut ibuku. Sumi dibawa pergi suaminya ke kota yang sama dengan kota di
mana aku merantau bekerja. Berbekal harta dari eyang Sumi, sepasang pengantin
paksa itu menanam kehidupan barunya. Tidak begitu menemui kesulitan selain
merawat Sumi dalam kondisi depresi dan hamil. Mertua Sumi turut serta khusus
untuknya. Suami Sumi tidak bekerja. Dukungan keuangan yang banyak itu
membuatnya merasa aman. Termasuk mengamankan dirinya dari tanggung jawab atas
Sumi yang dipasrahkan kepadanya. Suami Sumi menganggur. Lalu mata rantai
kesengsaraaan Sumi itu benar-benar tidak bisa terputus.
Aku
baru mengetahui saat aku pulang kampung, saat pernikahanku dihelat. Eyang Sumi
meninggal sepekan sebelum hari pernikahanku. Rupanya “masalah keluarga Indonesia” itu
berdengung riuh di antara para perewangan. Tak hanya didominasi oleh
ibu-ibu di dapur, sekelompok kecil bapak-bapak yang menjaga patehan pun
tak sepi dari bergosip. Semua mengarah ke peristiwa yang terjadi di keluarga
eyang Sumi.
Keluarga
eyang Sumi diguncang prahara karena persoalan warisan sepeninggal eyang kepala
desa. Kerabat dekat kian merapat dan kerabat jauh kian mendekat. Semua sulit
bersepakat. Ujungnya saling berebut. Tentu saja Sumi tidak kebagian.
Orang-orang tidak peduli. Hanya mengingat bahwa Sumi membawa penyakit kejiwaan.
Namun waktu itu justru aku lihat Sumi sudah tampak sehat. Dia datang menghadiri
pernikahanku. Kami bahkan sempat berbincang cukup lama, hingga membuat janji
untuk bertemu. Aku dan suamiku kebetulan tinggal tidak jauh dari rumahnya, di
kota yang sama.
“Aku
sekarang bekerja di pabrik tekstil, Wigid. Libur hanya hari Minggu dan hari
besar”, Sumi membuka percakapan denganku saat aku bertandang ke rumahnya.
Sebulan sesudah aku menikah. Sejujurnya aku tercengang melihat pemandangan di
depanku. Sumi tinggal di sebuah rumah petak. Katanya mengontrak. Bukan rumah
milik sendiri.
“Suamimu?”,
tanyaku bermaksud ingin tahu pekerjaan suaminya.
“Mas
Topo tidak bekerja. Kalau kutanya pasti langsung marah dan memakiku”, wajahnya
berubah suram. “Dia membenciku. Katanya akulah yang menyebabkannya sengsara
karena harus menikahiku”
“Kenapa
bisa begitu? Bukannya Topo sudah mendapatkan harta karena menikahimu?”, Aku
menyela, tak paham. Aku mengenal Topo, suaminya. Dia dulu kakak kelas, dua tingkat di atas kami semasa di SD. Dia juga
yang dulu pernah kena bogem mentah Sumi karena mengejek hidungnya yang seperti
bongkok pelepah kelapa.
“Ya
‘kan karena dulu ada eyang. Semua dibiayai sama eyang. Sekarang eyang sudah
ndak ada. Kami ndak punya apa-apa lagi. Yang ada selama ini hanya buat
kesenangannya bermain judi di rumah Pak Joko. Seharian juga dia betah di sana”.
“Ya
tapi kalau membencimu bagaimana bisa kamu sampai punya anak lagi sama dia?” Aku
nyerocos bertanya wagu, teringat dia punya dua anak dari suaminya itu. Di
depanku ini bahkan terlihat perut Sumi yang sedang membesar, hamil lagi. Sumi
bersungut kesal ke arahku. Kutepok jidatku sendiri. Bodoh. Pertanyaanku dungu.
“Awalnya
dia baik padaku, Wigid. Dia dulu bilang suka padaku. Jadi aku juga mulai suka
padanya. Aku lupa ber-KB. Makanya aku bunting”, jawab Sumi. Keningku datar.
Kugerakkan kedua bibirku ke dalam. Miris. Topo pasti tidak peduli soal alat
kontrasepsi. Tapi bagaimana dengan biaya hidup mereka?
“Kata
Mas Topo aku sudah jatuh miskin. Tidak ada yang bisa diharapkan dari
keluargaku. Jadi aku harus bekerja sendiri untuk membiayai hidup. Aku tidak
bisa menyuruhnya bekerja. Dia selalu mengungkit-ungkit masa lalu itu. Sakit
banget rasanya, Gid”, isak Sumi terdengar sepanjang ia bercerita. Sumi jadi
pencari nafkah tunggal dengan bekerja di pabrik seharian. Ketiga anaknya
ditinggal di kontrakan bersama suaminya. Entah, aku tidak sanggup membayangkan
mengingat bagaimana perangai Topo. Apa mungkin dia bisa menjaga anak-anaknya
ketika Sumi tidak ada karena pergi bekerja?
Begitulah.
Sumi kerap menceritakan dirinya kepadaku. Semua situasi sulitnya. Aku
mendengarnya, namun aku merasa tidak berdaya karena tidak bisa membantunya.
Bulan-bulan berikutnya aku mulai jarang bercakap dengannya. Aku mulai
disibukkan dengan kehadiran bayi mungil pertamaku.
Aku
bersyukur suamiku sigap dan cekatan. Aku hanya perlu mengurus bayi kami saja.
Seluruh pekerjaan rumah dia yang selesaikan, termasuk memasak dan mengurus
pakaian. Pekerjaanku sudah lama aku tinggalkan sejak menikah. Praktis aku hanya
di rumah. Sambil mencoba usaha kecil-kecilan dengan berjualan online.
Sesekali
Sumi masih berkabar padaku lewat pesan singkat. Biasanya hanya mengabarkan jika
kondisi anak-anaknya sehat. Ia tidak lagi bercerita tentang dirinya dan segala
macam kesulitannya. Aku juga tidak menanyakan. Aku hanya menduga barangkali
hidupnya telah berubah membaik. Sampai kemudian saat anakku sudah masuk usia
sekolah pertamanya di TK, aku terkejut mendapati hal lain. Ketika itu aku tengah
mengantar-jemput anakku. Rupanya Kepala SekolahTK anakku selama ini tinggal di
satu gang yang sama dengan Sumi. Dari Bu Kepala Sekolah aku jadi tahu bagaimana
kondisi Sumi.
Tidak
ada yang berubah membaik. Aku tidak menyangka sekian lama itu Sumi bertahan.
Namun aku jadi tidak tahan. Kutemui Sumi di rumahnya. Dia tampak semakin kurus
dan tirus. Rumah kontrakannya masih sama. Tidak terurus rapi dan kumuh. Aku
menghela napas.
“Kamu
nggak cerita ke aku, Sum?” suaraku serak mendapati kondisi Sumi sore itu. Dia
dengan lemah sedang sibuk di dapur membuatkan bubur untuk anaknya. Anak
pertamanya terbaring sakit. Kata Sumi sudah seminggu tidak sekolah. Dua anaknya
yang lain sedang bermain di sekitar rumah. Anak terakhir Sumi mengalami down
syndrome dan meninggal tak lama setelah dilahirkan. Aku menangis dalam
hati. Rumah Sumi terasa sunyi. Terasa sepi.
“Suamimu
di mana?”, tanyaku.
“Mas
Topo pulang ke kampung. Sudah dua bulan
ini. Katanya disuruh bantu saudaranya yang mandor proyek, ada perbaikan jalan di
kecamatan sebelah. Tapi kata ibu mertuaku Mas Topo ndak pernah kelihatan ada di
kampung.”
“La?
Berarti suamimu menghilang? Terus anak-anakmu sama siapa kalau kamu tinggal ke
pabrik?”
“Aku
sudah tidak bekerja di pabrik lagi. Aku sekarang ikut kerja di katering Bu
Suprih, di mulut gang depan yang kamu lewati tadi kalau ke sini. Sebelahan sama
rumah Bu Kepala Sekolah TK anakmu. Jadi anakku bisa tetap di rumah sambil
kuawasi. Masih tertangani kok”, wajah suram Sumi tidak bisa disembunyikan.
Begitu pula warnanya yang putih pucat.
“Kamu
tidak bercerai saja, Sum? Topo itu hanya menambahi berat beban hidupmu. Bahkan
bisa membuatmu sulit lagi kalau sewaktu-waktu dia kembali datang,” aku berucap
sambil geleng-geleng kepala. Ikut kesal dengan ulah suami Sumi. Di saat itulah
Sumi mengatakan kalau ia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa. Ia merasa hidup
sendiri tanpa suami dan keluarga.
“Aku
pernah menyampaikan itu ke Mas Topo. Karena aku sudah tidak kuat. Kalau saja
waktu itu tidak ditolong oleh tetangga, mungkin aku sudah mati karena dihajar
sama Mas Topo. Anak-anak menjerit melihatku berdarah.”
“Sum,
memangnya kenapa sampai Topo kasar begitu?” Aku semakin emosional.
“Mas
Topo marah. Lalu mengungkit-ungkit lagi masa lalu. Dia sepertinya dendam karena
aku tidak mendapat warisan dari eyangku. Dia pernah bilang mau merebutnya dari Pakde,
Bude, dan kerabatku. Kata ibu mertuaku, mereka sempat berantem hebat di
kampung.” Sorot mata Sumi redup.
“Aku
minta, Sum. Tolong kamu cerita ke aku kalau ada apa-apa, siapa tahu aku bisa
bantu,” desakku. “Badan tinggal tulang sama kulit begini, bisa-bisanya kamu
bertahan dan diam saja”.
“Wigid,
rasa-rasanya aku sudah tidak sanggup berpikir apa-apa lagi. Bisaku ya hanya
kerja dan kerja, juga ngurus anak-anak.
Aku bahkan lupa kalau ada kamu”, bibir Sumi bergetar ketika mengucap kalimat
terakhir. Aku memeluknya. Sumi terisak tanpa suara.
Sore
itu aku pulang dengan hati yang kuyu. Aku terus saja bercerita di depan
suamiku. Tentang Sumi sahabatku. Tentang suaminya yang tidak peduli.
Meninggalkan Sumi dan anak-anaknya dalam kondisi lemah. Juga diam-diam aku
mengutuki diriku sendiri. Mengapa bisa ‘kecolongan’ tidak tahu dengan nasib
Sumi, dan tanpa aku bisa membantunya.
Sumi
Liem adalah sahabat baikku. Dia tidak pernah marah. Cenderung pendiam tapi
lembut. Aku tidak pernah bertanya satu kali pun atau mengungkit cerita tentang
Mei 1998 yang membalik takdir hidupnya. Dari anak tunggal keluarga kaya dan
berpendidikan tinggi, berbalik nol derajat menjadi sangat lemah dan miskin
seperti sekarang. Ia harus banting tulang sendirian menghidupi diri dan anak-anaknya
tanpa bantuan suami. Tanpa mengeluh, setidaknya di hadapanku.
Suamiku
paham aku mudah sedih. Mudah terbawa perasaan. Direngkuhnya aku. Ditenangkan.
“Mas, katanya sesama perempuan harus support perempuan. Tapi aku
bingung, aku merasa tidak mampu membantu Sumi. Kupikir Sumi baik-baik saja
hanya karena dia tidak pernah bercerita lagi padaku tentang dirinya. Kupikir
selama ini Sumi hanya fokus bekerja di pabrik. Arrghh…ternyata..”, suaraku isakku
parau, terbenam di dekapannya. Entah mengapa aku merasa sangat pilu. Suamiku
membaca pesan singkat di hapeku yang kusodorkan padanya. Pesan singkat dari Bu
Kepala Sekolah TK anakku. Mengabarkan bahwa Sumi baru saja ditemukan tewas di
rumah kontrakan bersama anak-anaknya. Ada botol dan cairan mencurigakan di
dekat mayat mereka.
Anakku
tiba-tiba masuk ke kamar kami, kaget melihat kami berpelukan tidak biasa.
Lebih-lebih melihatku berlinang air mata.
“Ibu
kenapa menangis?” teriaknya.
*****
kriwikan dadi grojogan
(istilah dalam bahasa Jawa)= sesuatu yang semula kecil menjadi besar.
Perewangan = sebutan
untuk orang-orang yang membantu suatu hajatan di kampung
Patehan = sebutan untuk
divisi konsumsi makan dan minum dalam suatu hajatan
*CERPEN ini telah dipublikasikan di Jurnal Perempuan Edisi 116 "Ekonomi dan Perawatan" Desember 2023