Minggu, 26 Januari 2025

Menonton "ASURA", Menonton Lanskap Sebuah Keluarga di Negeri Sakura

 

 

 

Drama series Jepang ini tayang perdana di pelantar Netflix, 9 Januari lalu. Kisah keluarga Kotaro Takezawa (70 tahun) yang diperankan oleh aktor senior Jun Kunimura dengan empat anak perempuan dewasa. Tentang sisi gelap seorang ayah yang dibuat "to the point" dalam tayangan episode pertama, hingga menjadi kemasan dari seluruh cerita dan menyibak misteri lain oleh masing-masing anggota keluarga. Dorama (dalam istilah Jepang) ini terurai dalam tujuh episode, masing-masing berdurasi satu jam. Menyuguhkan empat tokoh utama aktris Jepang dalam jajaran top. Rie Miyazawa berperan sebagai Tsunako, anak pertama berusia 50 tahun, lahir pada saat Perang Dunia II usai di mana Jepang mengalami kekalahan dan mengalami kehidupan keluarga yang sulit. Machiko Ono memerankan anak kedua (Makiko) berusia 40-an tahun, seorang ibu rumah tangga dengan dua anak remaja. Anak perempuan Takezawa yang ketiga adalah Takiko (diperankan oleh Yu Aoi) yang bekerja sebagai PNS di perpustakaan kota. Si bungsu diperankan oleh Suzu Hirose sebagai Sakiko. Keempat anak perempuan dewasa Takezawa tersebut tinggal di kediaman masing-masing dengan hanya Makiko yang dikisahkan tinggal bersama keluarga dalam biduk rumah tangga.

Dorama ini tercatat sebagai kisah drama/series realis yang sangat natural dari dialog yang terbangun satu sama lain. Karakter kuat nyaris dari seluruh pemainnya membuatnya layak disebut "film berdurasi panjang" ketimbang drama. Mengambil latar tahun 1979 di Tokyo yang kala itu telah menjelma "peradaban baru" dalam kancah modernisme usai kalah dalam percaturan perang dunia dan memasuki era Perang Dingin, Asura mengetengahkan sisi sosial dari unit kecilnya bernama keluarga. Pasang surut relasi antaranggota keluarga dengan empat anak yang semuanya telah dewasa, nyaris mengambil seluruh penceritaan.

Adalah Takiko, si anak ketiga yang bekerja sebagai pustakawan menyewa detektif untuk menyelidiki Takezawa. Sang ayah terbukti memiliki perempuan lain selain ibunya berikut seorang anak laki-laki berusia 7 tahun. Barang bukti berupa foto-foto dan identitas perempuan lain dalam hidup ayahnya itu lantas dibawa ke pertemuan keempat saudara kandung tersebut. Mereka bertemu di rumah Makiko. Percakapan yang benar-benar berlangsung secara natural sebagaimana layaknya antarsaudari kandung saat bertemu, hal remeh temeh dan menggelikan yang kadang menyinggung romantisme masa lalu mereka ketika masih tinggal bersama orangtua, memandu riuhnya pertemuan malam itu, meski berakhir dengan pemukulan terhadap Sakiko oleh Takiko lantaran tersinggung dengan ucapannya yang menyerang pribadi dan tampak tidak mau serius dengan kasus sang ayah. Takiko yang berkarakter serius dikisahkan tidak memiliki relasi emosional yang dekat dengan si bungsu, tidak seperti Tsunako dan Makiko.


Takiko mengambil peran sentral dalam problem utama ini dengan alasan membela dan menyelamatkan ibunya. Sebuah alasan yang tampaknya tidak begitu mendapat dukungan kuat oleh saudarinya yang lain, kecuali Makiko. Tsunako sendiri dapat ditebak sikapnya lantaran ia memiliki sisi pribadi yang disembunyikan sehingga naif jika ia mendukung Takiko untuk menyibak perselingkuhan ayahnya. Sakiko si anak bungsu yang bekerja sebagai pelayan restoran dan tengah menjalin hubungan dengan petinju profesional amatir tampak sangat tidak peduli, sejalan dengan karakter yang dilekatkan kepadanya sebagai tokoh yang suka bertindak konyol dan tidak dewasa. Hanya Makiko yang setuju dengan langkah Takiko, yang sesungguhnya lebih dibayangi oleh ketakutan bahwa kelak suaminya pun akan berada satu barisan dengan ayahnya. Namun, baik Tsunako, Makiko, maupun Sakiko disatukan dalam perspektif yang sama yang bisa jadi di luar dugaan penonton, yakni pandangan permissif mereka bahwa "lelaki memang begitu" seakan memaklumi perilaku selingkuh laki-laki.

Penceritaan dengan sangat realis ini bagi saya menyenangkan. Tidak seperti drama-drama lain seperti Korea atau Cina yang bungkus dramatisasinya kerap overdosis, dorama satu ini disuguhkan dengan karakter, latar, dan pengemasan cerita yang cukup kuat dan menjauh dari kesan dramatisasi. Terkesan tidak dibuat-buat. Seolah benar-benar dibawa masuk ke dalam khasanah hidup sehari-hari di dalam sebuah keluarga, di dalam sebuah masyarakat Jepang. Diperkuat dengan penataan latar ruang sebuah rumah keluarga era 1979-1980-an dengan aneka perabot dan partisi yang disusun "begitu penuh" dan tidak teratur. Sentuhan modernitas ditampilkan lewat adanya pesawat telepon kabel, televisi, alat pemutar video, juga kulkas. Bahkan, di sebuah scene, si bungsu Sakiko tampil mengendarai mobil mewah dengan atap terbuka, sebagai penanda pencapaian status ekonomi usai menikah dengan petinju profesional yang karirnya menanjak. Satu hal yang rupanya menjadi titik rumitnya dalam relasi dengan Takiko, kakak persis atasnya.

Konflik berjalan "amat teratur" usai terungkap perselingkuhan Takezawa. Fuji, istri Takezawa, diperankan oleh Keiko Matsuzaka justru tidak banyak mengambil peran dalam ketegangan cerita drama ini. Karakter keibuan yang sangat kuat menempel padanya membuat hidup dijalani dengan sangat biasa. Emosi dipendam dengan sangat halus, lantas dibuat "meledak" sekian detik oleh sutradara, dilokasikan secara cerdik dengan shoot kamera ke mainan mobil-mobilan ukuran kecil yang cukup ditekan menggunakan telapak tangan hingga remuk dan ditimpukkan ke dinding papan hingga mencipta sebuah lubang. Saking halusnya emosi yang dikelolanya, terlontar kalimat "begitu perempuan mengakui, maka saat itu ia kalah", untuk menanggapi kasus selingkuh laki-laki.

Kendati seolah puncak konflik mengambil hal umum dari alat drama, yakni rumah sakit yang mempertemukan mereka semua dengan si ibu yang kemudian meninggal dunia dalam kehancuran hati, Asura tidak menghentikan diri di situ. Cerita seolah memulai dari awal lagi, seolah hendak menyelesaikan hubungan-hubungan yang rumit yang tersisa antarsaudari dengan ayah mereka. Detil yang tidak tertebak, jadi alat bagi sutradara untuk kian mempermanis penceritaan. Dari Asura penonton diajak menonton lanskap sebuah keluarga dengan empat anak perempuan yang semuanya berusia dewasa, menonton bagaimana kehidupan yang berlangsung dalam sebuah keluarga itu sejatinya tidak pernah berjarak cukup jauh dari realitas sehari-hari, realitas kekinian di berbagai bangsa.

Selasa, 03 September 2024

Drama Keluarga Biasa yang Tidak Biasa; Catatan Usai Menonton Film "The Magic of Ordinary Days"

 


Minggu pagi, 7 Desember 1941 Jepang berhasil meluluhlantakkan armada laut AS di sebuah pelabuhan terkuat bernama Pearl Harbour. Peristiwa tragis itu telah menewaskan korban yang begitu besar di pihak AS.
Peristiwa ini sekaligus menandai dimulainya Perang Asia Timur Raya sekaligus masuknya Amerika Serikat ke dalam Perang Dunia II.

Rilis pada tahun 2005, film ini dibintangi oleh dua tokoh utama Keri Russel sebagai Livy, seorang perempuan cerdas dan berbakat yang datang dari sebuah kota di AS. Mahasiswi pascasarjana dengan konsentrasi arkeologi. Sangat tertarik dengan 'hal yang dianggap usang oleh sebagian orang', karenanya butuh untuk 'digali' lebih dalam. Tokoh utama kedua diperankan oleh Skeet Ulrich yang berperan sebagai Raymond, seorang petani di distrik maha luas di kawasan Amerika, memiliki keluarga dengan latar belakang militer dan semangat nasionalisme atas eksistensi negara. Adik laki-lakinya, seorang tentara yang turut terjun langsung dalam Perang Dunia. Sekaligus menjadi korban tewas dari peristiwa penyerangan Pearl Harbor oleh militer Jepang yang mengubah dunia dan arah kebijakan sentral politik Amerika kala itu. Sang adik yang anumerta tersebut dimakamkan di sebuah pemakaman sunyi di desa mereka tinggal. Ray dan adik perempuannya, memiliki luka batin tak terkira atas kematian sang adik laki-laki tersebut. Maka ia sebagai kakak kemudian bertekad untuk "menjaga makam adik" dengan mengabdikan diri selamanya tinggal di desa tersebut ketimbang turut menyumbangkan diri sebagai bagian dari nasionalisme warga Amerika, sebagai tentara. Ray tampak hanya seperti lelaki petani desa biasa. Namun film itu mengisahkan latar belakang awal abad 20 dalam tataran modernitas awal negara AS, sekurangnya tampak dari representasi mesin traktor dan sudah adanya pesawat telepon. Sehingga meski tinggal di desa kawasan pertanian, Ray adalah juga seorang petani sukses.

Menit awal film ini mengisahkan Livy sebagai seorang gadis yang 'dibuang' oleh ayahnya, lantaran kedapatan hamil di luar pernikahan sementara pacar yang menghamilinya tidak bertanggung jawab. Sang ayah menyusun skenario 'penyelamatan muka' dari penjagaannya terhadap nilai dan kehormatan keluarga. Mengirim Livy ke desa di mana Ray tinggal. Skenario pernikahan untuk memberikan perlindungan terhadap kehamilan Livy ini ditangani oleh pendeta terpandang yang berkoneksi dengan ayah Livy.

Utusan pendeta menjemput kedatangan Livy di stasiun. Mereka menuju rumah dan mempertemukan dengan Ray. Pada pandangan pertama dikisahkan bahwa si laki-laki langsung bisa menerima dan bahkan jatuh cinta dalam sikap yang sunyi dan tenang meski ia
tahu bahwa perjodohan mereka adalah semata kontrak dan tidak selamanya. Sementara Livy masih tampak menjaga jarak dan menyimpan pertanyaan tidak menentu di hatinya.

Adegan berikutnya langsung disusul dengan sebuah upacara pemberkatan pernikahan oleh pendeta di gereja. Pemberkatan pernikahan itu hanya disaksikan oleh adik Ray dan seorang pemetik piano. Ray lantas membawa Livy pulang ke rumahnya. Ray telah melakukan segala persiapan lebih dari cukup. Menyediakan rumah yang ditempatinya seorang diri selama ini, lengkap dengan segala isinya untuk mendukung (kenyamanan) seorang ibu hamil. Livy sebagai tokoh utama di film ini benar-benar diperlakukan sebagai "perempuan yang sangat beruntung". Livy dengan sangat baik diterima di lingkungan sosial yang menjauhkan dirinya dari tekanan sosial, bahkan dalam bentuk apa pun. Ray (juga keluarganya, dalam hal ini adik perempuannya yang kebetulan telah berkeluarga) seolah menjadi "pahlawan berkuda putih" yang bersedia menjemput sang putri dalam keadaan 'terhormat' serta tidak merasakan kekurangan dan kesukaran hidup apa pun.

 Jika ada kesulitan, maka satu-satunya yang dirasakan pada awalnya adalah belum adanya telepon kabel di rumah Ray, meskipun pada akhirnya keinginannya dipenuhi oleh Ray di akhir cerita. Keinginan Livy untuk bisa berkomunikasi atau berkabar dengan keluarganya di rumah (terutama Abby, adik perempuannya) menjadi sedikit terhambat. Livy musti keluar rumah, keluar dari distrik persawahan mahaluas tersebut menuju kota--yang juga masih dalam skala kecil--untuk bisa melakukan panggilan telepon melalui KBU atau kabin khusus telepon umum. Livy harus menggunakan agen pos untuk berkirim surat. Di film ini memang tidak ditampakkan televisi (sebagai penanda modernitas lain, selain telepon).

Ray diperankan dengan karakter yang agak kaku, tidak romantis, namun tetap lembut. Semata ditujukan untuk dapat memberikan kenyamanan bagi Livy. Pernikahan paksa itu terkesan tidak menimbulkan efek buruk, justru sebaliknya, meski tetap tercipta jarak antara keduanya dengan masing-masing tidur di kamar sendiri. Begitu juga dengan Livy, berhati baik dan lembut serta mampu berperan sebagai ibu rumah tangga domestik dengan sangat baik. Hanya digambarkan satu kekurangannya, yakni tidak bisa memasak. Pasangan suami-istri ini juga dikelilingi sirkel sosial yang nyaris baik dan memberikan rasa aman dan nyaman bagi Livy untuk tinggal lama.

Ordinary days alias hari-hari biasa, hari-hari selayaknya orang berkeluarga, berumah tangga. Hanya adagium yang populer di jawa witing tresna jalaran seka kulina muncul dari bahasa tubuh Ray terhadap Livy. Sedikit romantik hadir sesaat ketika mereka berdua baru pulang dari pesta perayaan ulang tahun adik perempuan Ray. Di pesta itu mereka tampil untuk pertama kalinya dalam situasi "dekat" secara fisik, yakni dengan menari. Sentuhan fisik itu rupanya memicu hal sentimentil romantik di diri Ray terutama. Hampir saja Ray mencium Livy ketika hendak berangkat tidur, namun Livy menolak halus.

Latar Perang Dunia II

Sedikit ketegangan dimulai dari Livy yang suatu hari menemukan teman baru, dua  perempuan pekerja di areal pertanian. Rupanya mereka adalah tawanan perang. Dua orang yang mengaku orang Amerika, namun jelas mereka adalah orang Jepang. Tidak dijelaskan gamblang di film ini tentang peran kedua perempuan pekerja tawanan ini. Mereka tinggal di kamp khusus dan sehari-hari bekerja di areal pertanian. Bila waktu istirahat bekerja tiba, mereka mengeksplor wilayah itu dengan menunjukkan minat mereka terhadap fauna, yakni kupu-kupu. Mereka dikisahkan sebagai dua orang yang menyukai kupu-kupu, menggambarnya di buku gambar khusus. Lantaran di areal itu terdapat diversifikasi fauna kupu-kupu yang cukup banyak. Livy yang tengah jalan-jalan tidak sengaja memergoki mereka berdua. Terjadilah perkenalan singkat dan Livy menawarkan kedua orang Jepang itu main ke rumahnya saat senggang. Persahabatan muncul dari situ.

Saat Livy menyampaikan hal itu, Ray hanya menunjukkan respons datar dan sedikit sinis, "orang Amerika tapi Jepang" ucapnya. Dengan hati-hati menjaga nada ucapannya, Livy menanyakan apakah Ray terganggu lantaran adiknya tewas dalam serangan Pearl Harbour. Agaknya sedikit ketegangan mulai tampak di sini. Namun Ray menutup obrolan dengan menyatakan bahwa ia bukanlah pembenci dan bukan yang suka bersosialisasi. Di kemudian waktu Livy baru mengetahui bagaimana hati Ray hancur bersebab kematian adik laki-lakinya itu. Saat makan malam peringatan Hari Thanksgiving, Ray mengungkapkan harapannya agar perang dunia usai dan mereka akan menjalani hidup dalam damai.

Latar Perang Dunia II dalam film ini juga tampak bahwa AS tengah bersitegang dengan negara-negara Eropa termasuk Jerman. Hal ini muncul ketika Livy bercerita tentang tokoh Arkeolog yang mendasarinya untuk menulis tesis tentang Troya, sebuah kota yang hilang. Ray langsung menanyakan apakah tokoh itu seorang Nazi Jerman. Livy menjawab bukan.

Dua negara disebut dalam film ini, Jepang dan Jerman, menjadi kunci ketegangan faktor luar yang rupanya mampu menembus dinding rumah tangga hubungan dua orang yang awalnya terlibat dalam pernikahan paksa. Persahabatan Livy dengan dua perempuan Jepang pekerja yang merupakan tawanan kemudian membawa mereka pada situasi yang nyaris berbahaya. Salah satu perempuan Jepang rupanya berpacaran dengan tawanan dari Jerman. Si laki-laki memanfaatkan kedekatan pacarnya dengan Livy, yakni menumpang mobil bak Livy agar membawanya pergi keluar dari kawasan itu. Akan tetapi, kecerdikan Livy mampu menggagalkan itu semua dengan sangat dramatis.

Witing Tresna Jalaran Seka Kulina

Pepatah jawa itu rupanya juga berlaku di Amerika. Kesabaran Ray dalam memperlakukan Livy, menjadi teman yang baik meski kadang ada sedikit diselingi kesalahpahaman, membuahkan hasil. Livy yang awalnya ragu dengan dirinya sendiri apakah pantas bersandingan dengan Ray, akhirnya mau menerima pernyataan Ray yang mencintainya. Ray tidak meminta membalasnya, hanya memberikan penguatan kepada Livy bahwa dia harus bisa memaafkan dirinya sendiri. Kalimat menyentuh itu berhasil membuat Livy mengurungkan niatnya untuk pergi meninggalkan Ray usai perayaan Thanksgiving. Kisah mereka berakhir bahagia dengan lahirnya si bayi yang dilingkupi kasih sayang orang-orang di sekitarnya.


Sumber tontonan: https://www.youtube.com/watch?v=vLsNPQRk5ds

Senin, 22 Juli 2024

(Sekali Lagi) Membincang (tentang) ”Sastra Pesantren"

 

Arsip tulisan tahun 2009, diposting ulang di sini untuk dokumentasi

Kalau ada sastrawan kita yang merasa terpanggil untuk menggarap kehidupan pesantren sebagai objek sastra nantinya, terlebih dahulu harus diyakininya persoalan-persoalan dramatis yang akan dikemukakannya. Tanpa penguasaan penuh, hasilnya hanyalah akan berisi kedangkalan pandangan belaka” (Abdurrahman Wahid, 2001)


Bagi penulis yang tidak terlalu akrab dengan kehidupan pesantren, pernyataan di atas sesungguhnya menyimpan kemasygulan. Bagaimana mungkin bagi diri penulis untuk menulis sastra dengan menjadikan pesantren sebagi objeknya, sementara penulis sendiri tidak terlalu akrab dengan dunia pesantren itu sendiri?

Barangkali inilah yang pernah disebut oleh sastrawan-penyair Acep Zamzam Noor—seperti apa yang dirasakan oleh penulis—sebagai ’beban’ tersendiri ketika ingin bersastra-pesantren, menulis sastra pesantren, atau sekian embel-embel lain yang berkaitan dengan sastra-pesantren. Di sisi lain, penulis sepakat dengan ungkapan Gus Dur di atas bahwa harus ada ’pendalaman’ secara pribadi terhadap kehidupan pesantren. Dari ’pendalaman’ itulah akan muncul ’penguasaan penuh’ terhadap apa yang disebut sebagai pesantren.

Membincang sastra pesantren, sesungguhnya tak akan pernah selesai dus secara terminologis (istilah). Beberapa waktu lalu memang sempat menjadi hangat perbincangan—kalau tidak boleh disebut sebagai polemik—tentang apa sesungguhnya yang disebut ”sastra pesantren” itu? Apakah segala karya cipta sastra tentang dunia pesantren dan seisinya ataukah suatu karya sastra yang meski bukan berkisah tentang pesantren, namun ditulis oleh seorang santri dari sebuah pesantren? Penulis yakin tidak ada yang bisa dikatakan baku dari pengertian sastra pesantren. Ia akan berkembang dengan sendirinya seiring waktu yang berubah.

Pesantren dan dunianya menurut hemat penulis adalah sebuah warna (dalam bahasa Gus Dur kerap disebut dengan subkultur) yang tersendiri dari elemen-elemen kehidupan negeri ini. Pesantren memiliki kehidupan yang unik, bukan saja karena ia ’berbeda’ dari kehidupan masyarakat pada umumnya, melainkan lebih dari itu, pesantren menjadi tempat yang subur bagi bersemainya nilai-nilai luhur ajaran agama. Ia menjadi benteng moral dari kebobrokan zaman yang mengalir deras di dunia luar. Tempat menjadikan nilai luhur sebagai tradisi menyehari-hari ini jugalah yang terbukti melahirkan manusia-manusia tangguh ketika menghadapi hidup di kemudian hari.

Denyut kehidupan di pesantren yang berkisar antara bilik-bilik kamar (asrama), masjid/mushola pusat sebagai tempat beribadah (beberapa mungkin juga dijadikan sebagai sarana halaqoh/belajar bersama) dan ruang-ruang kelas bagi pesantren yang menerapkan model belajar klasikal, dan kediaman pengasuh (kiai) adalah menyimpan berjuta inspirasi yang tak ada habisnya untuk dituangkan dengan tetesan pena membentuk karya sastra. Akan tetapi, dalam sejarah sastra di negeri ini penggarapan karya sastra berlatar belakang pesantren seperti dimaksud penulis di atas, belumlah lama. Tercatat baru di tahun 50-an dan 60-an, seorang bernama Djamil Suherman yang mengenyam kehidupan pesantren, aktif menggarap pesantren sebagai latar karya-karyanya berupa cerita-cerita pendek.

Di tahun-tahun belakangan ini, kita mengenal pula muncul nama orang-orang dari latar belakang pesantren yang juga menuliskan karya terkait pesantren. Ada KH Mustofa Bisri (Gus Mus) yang begitu menonjol dengan karya sufistik-religi (Keislaman) melalui puisi dan cerpen-cerpennya, Acep Zamzam Noor yang juga penyair, Jamal D Rahman, Ahmad Tohari, Alm. Zainal Arifin Thoha, untuk menyebut sedikit saja dari nama-nama yang akrab di hati penulis, sampai pada perkembangan sastrawan periode-periode muda sekarang yang banyak sekali jumlahnya. Mayoritas mereka adalah santri atau setidaknya pernah mengenyam pendidikan di pesantren.

Nama-nama yang dikenal penulis seperti di atas, bergelut di dunia pesantren dengan kesungguhan yang tidak diragukan. Meski harus diakui bahwa pesantren (manapun) tidak pernah memasukkan kurikulum ”belajar sastra” secara khusus dalam pendidikan yang dilangsungi, namun justru mereka dengan keinginan sendiri secara mandiri bergelut dengan ruang-ruang penempaan batin yang luar biasa untuk menuliskan suatu karya. Iklim yang ada di sebuah pesantren menurut hemat penulis, menyediakan diri sepenuhnya bagi santri untuk merenung, membaca, menulis sekaligus meresapi hal-hal yang sulit sekali untuk dijelaskan dengan dunia nyata. Maksudnya, resapan-resapan atas kehidupan yang bernilai yang hanya mampu dituangkan dalam karya. Biasanya ada pula beberapa dari santri itu membentuk komunitas dalam sebuah pesantren. Tentu saja hal ini bisa terjadi bila ada dukungan penuh, misalnya dari sesepuh atau pengasuh pesantren itu sendiri. Juga hal yang tidak ketinggalan adalah minat baca-tulis santri sendiri. Seharusnya adalah hal yang niscaya terjadi di sebuah pesantren, tradisi baca-tulis ini menjadi bagian hidup santri. Bagaimana mungkin misalnya santri dapat melahirkan suatu karya tulis bila santri itu sendiri malas membaca dan menulis?

Sebagai penutup dari tulisan ini, barangkali ini menjadi kegelisahan penulis sendiri bahwa jika kita masih bingung merumuskan gagasan tentang apa itu sastra pesantren, lantas kita bisa berbuat apa? Penulis sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa pergumulan dengan sastra pesantren adalah tidak perlu mengedepankan harus menghasilkan karya sastra murni pesantren. Harus segala yang berbau pesantren. Akan tetapi lebih luas dari itu, kita perlu mengeksplorasi nilai-nilai yang ditradisikan di pesantren untuk kita ajak keluar. Bagaimana nilai pesantren tanggap terhadap perubahan zaman, bagaimana pesantren merespon kehidupan yang telah sedemikian mengglobal di luar sana. Toh, sastra sudah semestinya meluas seluas semesta ini dan bukan hanya terkungkung di pesantren an sich.

 
Wallahua’lam bis showab

Yogyakarta, 2009 

Sabtu, 01 Juni 2024

DI HADAPAN PUSARA IBU

 

Aku datang dengan rindu yang pecah dan tergelincir
Setangkup bunga di genggaman
Sebagai hadiah kecil
Yang kutaburkan di atas tanahmu

Aku datang bagai orang yang didera luka memar-memar
Bersembunyi di balik buku harian berisi riwayat yang mulai pudar
Setengadah tanganku, setengadah hatiku, memungut wajahmu dipagut jiwaku
Bahasaku bahasa doa, kulafalkan dengan bibir beku

Setelah engkau tiada di sisi kami, Ibu, seluruh ruhku bertanggalan
Bagai tulang yang dilolosi satu per satu dari daging tubuhku
Ketika tak kusadari cawan takdir begitulah semestinya aku sesap
Menganyam waktu di mana keabadianmu adalah sesuatu yang tak tertawarkan
Juga menyakitkan
Bagi seorang bayi yang butuh air susu
usai terlepas dari tali pusar yang mengenalkan iman dan ketakkekalan

Di hadapan pusaramu
Bongkahan hati sedang coba kuselamatkan
Menerima derita perpisahan paling tak tertanggungkan; perpisahan denganmu
Wahai, perisai hidupku
Utusan Tuhan yang telah mempertemukan dan mengenalkan aku dengan kakak-kakak kandungku

Aku terduduk di hadapan pusaramu
Menggenggam jalan hidup yang kujulurkan di sekujur sulur kalbu
Membuka kembali rekam ingatan masa kecilku, dalam gendonganmu
Ketika air mata adalah makhluk asing yang tak pernah kukenal sebagai tamu
Dan binar mata adalah satu-satunya dunia milikku
Kubawa dari gua garba tempatku meringkuk hangat dan tak ingin menjadi ada tak ingin menjadi waktu

Aku datang di Kamis petang
Menyambung urat nadiku dari sangkan paran yang coba kujelang
Mengulurkan ayat-ayat Tuhan yang kukeluarkan dari celah bibirku
Memandu udara di sekitar pusara
Menggoyangkan tanaman berdaun merah kesukaanmu
Menggunakannya sebagai satu-satunya bahasa

Di hadapan pusaramu
Kubacakan puisiku tentang cinta abadi yang mengikat kita
Kesejatian dari kekasih paling sejati yang pernah tercipta
Dan aku yang terikat kepadamu
Oleh air susu dan doa yang kau balurkan di seluruh darah daging tubuhku
Memahat kesaksian
Engkau ditakdirkan hanya untuk melunasi kebaikan-kebaikan

Yogyakarta, 2018

Selasa, 23 April 2024

Sumi Berangkat di Senja itu


“Akhirnya kriwikan dadi grojogan, Mas”, ucapku sembari menerima uluran secangkir kopi tanpa gula buatan suamiku. Sore ini kami menggiring ujung hari dengan berbincang di sisi samping tempat kami tinggal, yang kami fungsikan sebagai beranda. Kendati hanya seluas tiga kali lima meter, suamiku cekatan menata nyaris di semua sisi. Didesainnya sebuah kolam ikan mini yang tidak ada ikannya di sudut tembok pembatas. Tampak hanya ada tiga lembar daun dan tangkai bunga teratai yang masih menguncup, mengapung di atas air. Sepoi angin mengembus ke wajahku. Segar.

“Masih soal Sumi?”, responsnya, sejurus kemudian meletakkan pantatnya duduk di sebelahku. Diletakkannya gawai miliknya di atas meja, usai scroll mengecek progres harian pekerjaannya sebagai seorang desain interior.

“Iya. Apalagi kalau bukan itu?”, jawabku dengan nada tanya. Kami diam, jeda sejenak. Suamiku menghela napas berat. Nyaris semua tentang Sumi selalu aku kisahkan kepadanya. Sumi, teman sepermainan semasa kecil dulu di kampung. Nama yang di ingatanku hanya tersemat penderitaan di sebagian besar hidupnya kini.

“Apa yang kamu sampaikan ke Sumi?”, tanya suamiku.

“Ndak ada yang bisa kusampaikan, Mas. Selain harusnya ia berpisah saja dari Topo, suaminya. Wong sekarang malah kian ruwet dan membesar masalahnya. Sumi terlihat bimbang dan kalut. Tapi tidak tahu bagaimana mengatasinya. Ia takut suaminya kembali merundungnya. KDRT”, aku bicara dengan rasa prihatin yang buntu.

Sumi Liem, nama aslinya. Ia warga keturunan. Terlahir dari Bapak Cina, ibu Jawa. Kebetulan ia tinggal selisih tiga rumah dengan rumah keluargaku. Kami kerap bermain dan bersekolah bersama-sama. Kulitku yang cenderung legam dan kulitnya yang putih glowing menjadikan kami seperti dua anak yang datang dari dua dunia asing jauh. Sumi mewarisi hampir seratus persen ciri fisik dari bapaknya. Hanya hidung yang mirip ibunya, sedikit lebar dan besar. Anak-anak sekolah kami kadang merundungnya. Mengejek hidungnya yang mirip bongkok pelepah batang kelapa. Sumi kerap melawan. Tak jarang berakhir dengan perkelahian. Meski tubuhnya setipis papan tripleks, saking kerempengnya, kekuatan fisiknya rupanya bertolak belakang. Ia bisa sekuat baja. Karenanya ia selalu menang kelahi, sekalipun melawan anak laki-laki.

Keluarga Sumi tergolong kalangan the have, demikian kami mengistilahkannya dahulu. Keluarga berpunya. Orangtuanya membuka usaha studio foto dan penyewaan tenda, tarub, meja, kursi, dan alat-alat hajatan. Itungannya terbesar di sebuah kota kecil kabupaten. Tujuh kilometer dari rumah. Sumi anak tunggal. Namun hal itu tidak menjadikannya bak princess, sebagaimana imajinasi tentang Ratu Bidadari yang sering sama-sama kami baca dari majalah Bobo langganannya. Sumi satu-satunya anak yang langganan majalah itu. Orangtuanya lebih dari mampu untuk hanya sekadar membayar langganan majalah anak-anak termahal kala itu. Aku beruntung bisa nebeng, menuntaskan dahagaku membaca. Lebih tepatnya, takjub dengan gambar-gambar bagus di majalah itu.

Segala kebutuhan Sumi tercukupi. Sangat tercukupi dibandingkan dengan keluarga-keluarga lain di kampung kami. Ditambah lagi eyang Sumi yang tinggal satu rumah dengannya, adalah orang terpandang di kampung kami. Tanah sawah dan tegalannya banyak. Eyang Sumi menjabat lurah di desa kami. Tanah bengkok-nya sangat menjanjikan. Lantaran sifat dermawannya, eyang Sumi sangat dihormati dan disegani seluruh warga. Nyaris tidak ada yang kurang dari masa kecilnya. Kami berpisah ketika orangtua Sumi pindah ke ibukota. Membuka bisnis di sana. Sumi diajaknya serta. Sumi memulai sekolah SMP di sana.

Aku kehilangan sahabat riang dan baik hati seperti Sumi sejak saat itu. Meski setahun sekali Sumi pasti mudik saat lebaran, kami tidak pernah leluasa bermain sama-sama karena tradisi lebaran di keluarga terpandang eyang Sumi selalu saja padat, selalu ada acara besar yang membuat Sumi harus terlibat di dalamnya. Kepergianku merantau ke lain provinsi selepas SMA dan jarang pulang, turut andil dalam membuat kami tidak pernah bisa bersua.

“Hati-hati berbicara soal ini dengannya, Dik. Keprihatinan kita pada kondisi Sumi sewajarnya saja. Karena ini sudah urusan pribadi ia dan keluarganya”, ucap suamiku membuyarkan jalan-jalannya ingatanku.

“Ya tapi tetap saja Sumi harus dibantu, Mas. Dia tidak ada siapa-siapa sekarang. Hanya aku yang dianggapnya bisa menjadi support system-nya” sanggahku.

“Benar, aku mengingatkan saja kalau-kalau kamu lupa. Masalah begini kan hampir selalu ada di seluruh keluarga di Indonesia” sahut suamiku cepat.

Masalah keluarga Indonesia”, kami berucap serempak bersamaan. Ya, kami sering mengatakan kalimat itu setiap kali membahas peliknya persoalan keluarga di mana-mana. Tapi aku merasa kelu. Masalah Sumi terasa sangat serius lantaran ia sahabat baikku. Aku turut merasakan kepahitan yang ia alami. Jika dulu raut wajah Sumi putih glowing cantik khas warga keturunan, maka kini wajahnya putih pucat seperti mayat.

Suamiku diam. Biasanya ia akan begitu ketika perbincangan di antara kami kehabisan kalimat. Ia tahu aku reaksioner jika sudah menyangkut sahabatku itu. Ia sengaja membiarkan aku rusuh dengan pikiranku sendiri.

 

MEI 1998

Langit hitam menudungi ibukota kala itu, awal dari penderitaan hidup Sumi. Sekurangnya demikian yang aku dengar tentang Sumi di kemudian hari. Keluarga Sumi porak-poranda. Kedua orangtuanya hangus terbakar saat api menyulut di bangunan rumah sekaligus pertokoan di mana mereka tinggal. Sumi diseret oleh orang-orang yang tak dikenalnya. Sumpah serapah dan caci maki lantaran matanya yang sipit menghujani telinganya. Sumi yang kukenal punya fisik sekuat baja, kala itu lunglai dalam kepungan massa. Tubuhnya koyak oleh hantaman fisik yang tak sanggup aku ceritakan. Ia ditemukan beberapa hari setelahnya di rumah sakit. Konon kawan-kawan aktivis di kampusnya berhasil menolongnya.

Namun sejak saat itu hidup Sumi suwung, lahir batinnya telah koyak. Ia menanggung luka sangat dalam dari sesuatu yang tidak pernah ia mengerti. Gejolak sosial yang hanya ia kenal lewat teori-teori ilmu sosial di bangku kuliahnya, tidak dinyana menghampiri hidupnya dan menghabisi tanpa ampun. Sumi dijemput pulang oleh keluarga eyangnya. Pulang ke kampungku dalam kondisi mental hancur dan depresi berat.

Beberapa waktu kemudian Sumi berbadan dua. Tragedi Mei itu ternyata membuat perutnya bunting. Tanpa tahu sesiapa dan bagaimana. Hanya ingat bahwa ada banyak laki-laki laknat dan durjana. Kengerian yang nyaris membuatnya gila. Keluarga eyang Sumi lalu menikahkannya dengan laki-laki yang dipilih dan dipaksa. Ada berkat atas imbalan materi sebagai syarat. Tentu saja si laki-laki yang kebetulan anak dari asisten rumah tangga keluarga eyang Sumi itu mau menikahi Sumi. Ia kaya mendadak sejak saat itu. Entah apa yang sedang coba diselamatkan oleh keluarga eyang Sumi terhadapnya. Nasib Sumi atau rasa malu dan kehormatan keluarga besar kepala desa.

Aku ingat, waktu itu aku berbicara di telepon dengan ibuku. Mengalirlah kisah itu dari mulut ibuku. Sumi dibawa pergi suaminya ke kota yang sama dengan kota di mana aku merantau bekerja. Berbekal harta dari eyang Sumi, sepasang pengantin paksa itu menanam kehidupan barunya. Tidak begitu menemui kesulitan selain merawat Sumi dalam kondisi depresi dan hamil. Mertua Sumi turut serta khusus untuknya. Suami Sumi tidak bekerja. Dukungan keuangan yang banyak itu membuatnya merasa aman. Termasuk mengamankan dirinya dari tanggung jawab atas Sumi yang dipasrahkan kepadanya. Suami Sumi menganggur. Lalu mata rantai kesengsaraaan Sumi itu benar-benar tidak bisa terputus.

Aku baru mengetahui saat aku pulang kampung, saat pernikahanku dihelat. Eyang Sumi meninggal sepekan sebelum hari pernikahanku. Rupanya  masalah keluarga Indonesia” itu berdengung riuh di antara para perewangan. Tak hanya didominasi oleh ibu-ibu di dapur, sekelompok kecil bapak-bapak yang menjaga patehan pun tak sepi dari bergosip. Semua mengarah ke peristiwa yang terjadi di keluarga eyang Sumi.

Keluarga eyang Sumi diguncang prahara karena persoalan warisan sepeninggal eyang kepala desa. Kerabat dekat kian merapat dan kerabat jauh kian mendekat. Semua sulit bersepakat. Ujungnya saling berebut. Tentu saja Sumi tidak kebagian. Orang-orang tidak peduli. Hanya mengingat bahwa Sumi membawa penyakit kejiwaan. Namun waktu itu justru aku lihat Sumi sudah tampak sehat. Dia datang menghadiri pernikahanku. Kami bahkan sempat berbincang cukup lama, hingga membuat janji untuk bertemu. Aku dan suamiku kebetulan tinggal tidak jauh dari rumahnya, di kota yang sama.

“Aku sekarang bekerja di pabrik tekstil, Wigid. Libur hanya hari Minggu dan hari besar”, Sumi membuka percakapan denganku saat aku bertandang ke rumahnya. Sebulan sesudah aku menikah. Sejujurnya aku tercengang melihat pemandangan di depanku. Sumi tinggal di sebuah rumah petak. Katanya mengontrak. Bukan rumah milik sendiri.

“Suamimu?”, tanyaku bermaksud ingin tahu pekerjaan suaminya.

“Mas Topo tidak bekerja. Kalau kutanya pasti langsung marah dan memakiku”, wajahnya berubah suram. “Dia membenciku. Katanya akulah yang menyebabkannya sengsara karena harus menikahiku”

“Kenapa bisa begitu? Bukannya Topo sudah mendapatkan harta karena menikahimu?”, Aku menyela, tak paham. Aku mengenal Topo, suaminya. Dia dulu kakak kelas, dua  tingkat di atas kami semasa di SD. Dia juga yang dulu pernah kena bogem mentah Sumi karena mengejek hidungnya yang seperti bongkok pelepah kelapa.

“Ya ‘kan karena dulu ada eyang. Semua dibiayai sama eyang. Sekarang eyang sudah ndak ada. Kami ndak punya apa-apa lagi. Yang ada selama ini hanya buat kesenangannya bermain judi di rumah Pak Joko. Seharian juga dia betah di sana”.

“Ya tapi kalau membencimu bagaimana bisa kamu sampai punya anak lagi sama dia?” Aku nyerocos bertanya wagu, teringat dia punya dua anak dari suaminya itu. Di depanku ini bahkan terlihat perut Sumi yang sedang membesar, hamil lagi. Sumi bersungut kesal ke arahku. Kutepok jidatku sendiri. Bodoh. Pertanyaanku dungu.

“Awalnya dia baik padaku, Wigid. Dia dulu bilang suka padaku. Jadi aku juga mulai suka padanya. Aku lupa ber-KB. Makanya aku bunting”, jawab Sumi. Keningku datar. Kugerakkan kedua bibirku ke dalam. Miris. Topo pasti tidak peduli soal alat kontrasepsi. Tapi bagaimana dengan biaya hidup mereka?

“Kata Mas Topo aku sudah jatuh miskin. Tidak ada yang bisa diharapkan dari keluargaku. Jadi aku harus bekerja sendiri untuk membiayai hidup. Aku tidak bisa menyuruhnya bekerja. Dia selalu mengungkit-ungkit masa lalu itu. Sakit banget rasanya, Gid”, isak Sumi terdengar sepanjang ia bercerita. Sumi jadi pencari nafkah tunggal dengan bekerja di pabrik seharian. Ketiga anaknya ditinggal di kontrakan bersama suaminya. Entah, aku tidak sanggup membayangkan mengingat bagaimana perangai Topo. Apa mungkin dia bisa menjaga anak-anaknya ketika Sumi tidak ada karena pergi bekerja?

Begitulah. Sumi kerap menceritakan dirinya kepadaku. Semua situasi sulitnya. Aku mendengarnya, namun aku merasa tidak berdaya karena tidak bisa membantunya. Bulan-bulan berikutnya aku mulai jarang bercakap dengannya. Aku mulai disibukkan dengan kehadiran bayi mungil pertamaku.

Aku bersyukur suamiku sigap dan cekatan. Aku hanya perlu mengurus bayi kami saja. Seluruh pekerjaan rumah dia yang selesaikan, termasuk memasak dan mengurus pakaian. Pekerjaanku sudah lama aku tinggalkan sejak menikah. Praktis aku hanya di rumah. Sambil mencoba usaha kecil-kecilan dengan berjualan online.

Sesekali Sumi masih berkabar padaku lewat pesan singkat. Biasanya hanya mengabarkan jika kondisi anak-anaknya sehat. Ia tidak lagi bercerita tentang dirinya dan segala macam kesulitannya. Aku juga tidak menanyakan. Aku hanya menduga barangkali hidupnya telah berubah membaik. Sampai kemudian saat anakku sudah masuk usia sekolah pertamanya di TK, aku terkejut mendapati hal lain. Ketika itu aku tengah mengantar-jemput anakku. Rupanya Kepala SekolahTK anakku selama ini tinggal di satu gang yang sama dengan Sumi. Dari Bu Kepala Sekolah aku jadi tahu bagaimana kondisi Sumi.

Tidak ada yang berubah membaik. Aku tidak menyangka sekian lama itu Sumi bertahan. Namun aku jadi tidak tahan. Kutemui Sumi di rumahnya. Dia tampak semakin kurus dan tirus. Rumah kontrakannya masih sama. Tidak terurus rapi dan kumuh. Aku menghela napas.

“Kamu nggak cerita ke aku, Sum?” suaraku serak mendapati kondisi Sumi sore itu. Dia dengan lemah sedang sibuk di dapur membuatkan bubur untuk anaknya. Anak pertamanya terbaring sakit. Kata Sumi sudah seminggu tidak sekolah. Dua anaknya yang lain sedang bermain di sekitar rumah. Anak terakhir Sumi mengalami down syndrome dan meninggal tak lama setelah dilahirkan. Aku menangis dalam hati. Rumah Sumi terasa sunyi. Terasa sepi.

“Suamimu di mana?”, tanyaku.

“Mas Topo pulang ke kampung. Sudah  dua bulan ini. Katanya disuruh bantu saudaranya yang mandor proyek, ada perbaikan jalan di kecamatan sebelah. Tapi kata ibu mertuaku Mas Topo ndak pernah kelihatan ada di kampung.”

“La? Berarti suamimu menghilang? Terus anak-anakmu sama siapa kalau kamu tinggal ke pabrik?”

“Aku sudah tidak bekerja di pabrik lagi. Aku sekarang ikut kerja di katering Bu Suprih, di mulut gang depan yang kamu lewati tadi kalau ke sini. Sebelahan sama rumah Bu Kepala Sekolah TK anakmu. Jadi anakku bisa tetap di rumah sambil kuawasi. Masih tertangani kok”, wajah suram Sumi tidak bisa disembunyikan. Begitu pula warnanya yang putih pucat.

“Kamu tidak bercerai saja, Sum? Topo itu hanya menambahi berat beban hidupmu. Bahkan bisa membuatmu sulit lagi kalau sewaktu-waktu dia kembali datang,” aku berucap sambil geleng-geleng kepala. Ikut kesal dengan ulah suami Sumi. Di saat itulah Sumi mengatakan kalau ia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa. Ia merasa hidup sendiri tanpa suami dan keluarga.

“Aku pernah menyampaikan itu ke Mas Topo. Karena aku sudah tidak kuat. Kalau saja waktu itu tidak ditolong oleh tetangga, mungkin aku sudah mati karena dihajar sama Mas Topo. Anak-anak menjerit melihatku berdarah.”

“Sum, memangnya kenapa sampai Topo kasar begitu?” Aku semakin emosional.

“Mas Topo marah. Lalu mengungkit-ungkit lagi masa lalu. Dia sepertinya dendam karena aku tidak mendapat warisan dari eyangku. Dia pernah bilang mau merebutnya dari Pakde, Bude, dan kerabatku. Kata ibu mertuaku, mereka sempat berantem hebat di kampung.” Sorot mata Sumi redup.

“Aku minta, Sum. Tolong kamu cerita ke aku kalau ada apa-apa, siapa tahu aku bisa bantu,” desakku. “Badan tinggal tulang sama kulit begini, bisa-bisanya kamu bertahan dan diam saja”.

“Wigid, rasa-rasanya aku sudah tidak sanggup berpikir apa-apa lagi. Bisaku ya hanya kerja dan  kerja, juga ngurus anak-anak. Aku bahkan lupa kalau ada kamu”, bibir Sumi bergetar ketika mengucap kalimat terakhir. Aku memeluknya. Sumi terisak tanpa suara.

Sore itu aku pulang dengan hati yang kuyu. Aku terus saja bercerita di depan suamiku. Tentang Sumi sahabatku. Tentang suaminya yang tidak peduli. Meninggalkan Sumi dan anak-anaknya dalam kondisi lemah. Juga diam-diam aku mengutuki diriku sendiri. Mengapa bisa ‘kecolongan’ tidak tahu dengan nasib Sumi, dan tanpa aku bisa membantunya.

Sumi Liem adalah sahabat baikku. Dia tidak pernah marah. Cenderung pendiam tapi lembut. Aku tidak pernah bertanya satu kali pun atau mengungkit cerita tentang Mei 1998 yang membalik takdir hidupnya. Dari anak tunggal keluarga kaya dan berpendidikan tinggi, berbalik nol derajat menjadi sangat lemah dan miskin seperti sekarang. Ia harus banting tulang sendirian menghidupi diri dan anak-anaknya tanpa bantuan suami. Tanpa mengeluh, setidaknya di hadapanku.

Suamiku paham aku mudah sedih. Mudah terbawa perasaan. Direngkuhnya aku. Ditenangkan. “Mas, katanya sesama perempuan harus support perempuan. Tapi aku bingung, aku merasa tidak mampu membantu Sumi. Kupikir Sumi baik-baik saja hanya karena dia tidak pernah bercerita lagi padaku tentang dirinya. Kupikir selama ini Sumi hanya fokus bekerja di pabrik. Arrghh…ternyata..”, suaraku isakku parau, terbenam di dekapannya. Entah mengapa aku merasa sangat pilu. Suamiku membaca pesan singkat di hapeku yang kusodorkan padanya. Pesan singkat dari Bu Kepala Sekolah TK anakku. Mengabarkan bahwa Sumi baru saja ditemukan tewas di rumah kontrakan bersama anak-anaknya. Ada botol dan cairan mencurigakan di dekat mayat mereka.

Anakku tiba-tiba masuk ke kamar kami, kaget melihat kami berpelukan tidak biasa. Lebih-lebih melihatku berlinang air mata.

“Ibu kenapa menangis?” teriaknya.

 

*****

 

kriwikan dadi grojogan (istilah dalam bahasa Jawa)= sesuatu yang semula kecil menjadi besar.

Perewangan = sebutan untuk orang-orang yang membantu suatu hajatan di kampung

Patehan = sebutan untuk divisi konsumsi makan dan minum dalam suatu hajatan

 

 

 

*CERPEN ini telah dipublikasikan di Jurnal Perempuan Edisi 116 "Ekonomi dan Perawatan" Desember 2023



Minggu, 18 Juni 2023

Mbak Editor dan Film Hati Suhita

 

 

Tidak sedikit yang kerap melontarkan pertanyaan kepada saya secara pribadi, perihal respons saya terhadap naik layarnya Hati Suhita ke layar perak. Rata-rata yang bertanya demikian telah mengetahui bahwa saya adalah editor dari novel tersebut dan dilibatkan pula dalam proses editing naskah skenario, baik untuk film maupun serialnya. Sebenarnya ‘sejauh mana’ keterlibatan seorang editor naskah dalam konteks film Hati Suhita ini? Kira-kira demikian poin pertanyaannya.

 

Saya lupa persisnya kapan dimulai obrolan antara saya dan Khilma terkait film yang lalu saya dilibatkan dalam proses yang diawali dengan proofreading bersama. Yang pasti jaraknya relatif lama antara ‘penggodokan’ naskah meliputi pembacaan lalu editing dan dimulainya eksekusi di lapangan (proses syuting). Diawali dengan naskah skenario film terlebih dulu―kala itu belum kenal dan tahu siapa Alim Sudio si penulis skenario ini. Kami (saya dan Khilma) hanya fokus saja terhadap naskah skenario. Ketika naskah itu dinyatakan selesai, rupanya beberapa waktu kemudian ada ‘pembaruan’ untuk naskah film, sekaligus diserahkan pula naskah untuk produksi serialnya.

 

Proses membaca dan mengedit naskah terhitung tidak begitu lama dibandingkan dengan waktu ketika menggarap naskah film ini untuk pertama kalinya (kalau tidak keliru pada masa awal pandemi). Biasanya pada saat kami berdiskusi dalam format zoom, agak memakan waktu cukup lama, hingga berjam-jam. Terkadang muncul rasa lelah dan ngantuk di ujung waktu. Barangkali karena belum terbiasa. Terakhir yang saya ingat adalah bulan Juni 2022 semua pekerjaan terkait naskah skenario dinyatakan “selesai”. Lalu Agustus baru mulai eksekusi pengambilan syuting.

 

Lalu, apakah ada bedanya kerja editing naskah novel dan naskah skenario film?

 

Sekilas tampak tidak ada bedanya, lantaran ‘induk cerita’ adalah satu, yakni kisah tentang Alina Suhita (tentang proses kerja editing naskah novel itu, pernah saya tuliskan dua tahun silam, dipublikasikan pertama kali di situs sabak.or.id *). Akan tetapi, ketika ditilik ke dalam, jelas ada yang beda, baik dari segi teknis maupun alur cerita. Di dalam naskah skenario film terdapat beberapa scene atau penggambaran adegan dengan alur cerita yang ditambahi atau dikurangi. Ditambahi, bahwa di novel tidak ada, namun di film diadakan. Dikurangi, bahwa di novel ada, namun tidak disertakan ke dalam cerita film. Semuanya dilakukan semata sebagai “improvisasi” ketika mengadaptasi novel ke film dengan tujuan agar sekurangnya cerita menjadi ‘lebih hidup’ ketika diadegankan. Hanya saja tetap ada hal pakem yang tidak boleh ditanggalkan dari kisah di novel, yakni poin-poin utama, berikut logika yang sudah terbangun tegak di sana. Salah satu contohnya adalah kisah berakhir dengan happy ending.

 

Hal lain yang saya rasakan selama proses membaca draft skenario kemudian mengeditnya adalah dengan mencoba “hanyut ke dalam naskah”, mempraktikkan cara pengucapan dengan suara berikut gestur fisik. Bagi teman-teman pegiat teater pastinya paham dan sudah selesai pada babagan begini. Namun, bagi saya tentu saja sulit karena latar belakang saya bukan seni peran, saya hanya pembaca yang terbiasa mengindera dalam laku diam dan hening. Di sesi diskusi antara saya dan Khilma, poin-poin begini kadang cukup memakan waktu. Mencari-cari ‘ide yang pas’ untuk diletakkan ke tubuh naskah. Di sana termasuk mengoreksi gugusan kata dan kalimat yang telah disusun oleh si penulis naskah skenario (Alim Sudio). Singkat cerita, ketika dirasa ‘cukup’, maka naskah skenario itu pun “di-lock” oleh produser. Tugas saya selesai.

Pertanyaan berikutnya yang barangkali muncul adalah bagian mana saja buah pikiran saya ada di dalam naskah itu atau berapa persen? Saya tidak mengingat persisnya. Namun bagi sekalian Anda yang telah menyaksikan film itu, jika teringat dalam adegan ada anasir-anasir dari khasanah pesantren dan isu kesetaraan gender, bisa diperkirakan di situ saya ada berkontribusi. Misalnya amtsilatut tashrifiyyah (pedoman tatabahasa Arab di pondok pesantren). Memang sempat ‘menuai debat’ antara saya dan Khilma, terutama kekhawatiran jika nanti para cast-nya tidak mampu mengucapkan dengan fasih atau menyelesaikan dialog dengan baik. Saya ingat waktu itu saya menjawab, “itu tanggung jawab sutradara mengarahkan cast-nya”. Sependek pikiran saya waktu itu hanya “kapan lagi ada kesempatan membawa anasir kepesantrenan ke dalam sinema Indonesia?”. Uhukkk!

 

Di kesempatan tulisan ini, tentu saja saya tidak bisa membuka sekian “rahasia dapur” dari proses dan dinamika selama pembuatan film Hati Suhita. Lalu adakah catatan dari Mbak Editor sendiri terhadap film itu? Ya, tentu saja ada! Namun sebagian besar sudah masuk dalam “dinamika & dialektika” antara saya dan Khilma selama proses itu berjalan, bahkan hingga detik terakhir film itu “dibungkus” untuk kemudian disajikan ke khalayak. Dari banyak kritikan, tanggapan, dan masukan yang sempat saya baca di linimasa oleh banyak sekali netizen yang budiman, semuanya sudah lebih dulu ada dalam catatan saya. Karenanya, saya tidak kaget dengan dengungan keriuhan itu. Sejak awal saya sudah menandai bahwa pada bagian ini dan bagian itu pasti akan menuai “respons” penonton. Ya itulah dinamisasi linimasa kita bersebab tontonan publik. Tidak ada yang bisa dibendung. Saya hanya menyediakan diri sebagai optik, untuk melihat spektrum itu syukur-syukur bisa lebih luas dan jelas. Segala hal ihwal tentangnya tentu saja menjadi teropong yang bagus, khususnya bagi pihak produser dan sutradara, untuk ke depan lebih “rapi & disiplin” dalam mengerjakan sebuah karya.

 

Akhirul kalam dalam tulisan singkat ini saya sangat ingin menyampaikan terima kasih tidak terhingga atas riuh respons para netizen yang budiman yang telah menyaksikan film tersebut, berikut segala kritik dan masukan. Juga, saya ingin sampaikan rasa haru dalam untaian rasa terima kasih saya untuk euphoria yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya akan muncul dari para penonton di seluruh penjuru. Kekuatan koordinasi dan negosisasi terutama para perempuan di mana-mana untuk bisa “merangsek masuk ke bioskop” sungguh fenomenal, terutama dari kalangan nahdhiyyin, baik struktural maupun kultural. Bisa jadi mayoritas dari mereka baru pertama kali menyambangi bioskop. Hal ini memantik dejavu saya ketika novel HS muncul di awal-awal dulu, mereka yang membaca tidak sedikit yang mengaku baru terpantik suka membaca ketika ada novel itu. Tidak sedikit yang mengaku bahwa sebelum-sebelumnya mereka tidak pernah membaca, termasuk membaca novel. Bagaimana naskah novel itu secara berantai mereka bagi-bagikan secara suka cita dan suka rela, melalui platform apa saja yang terjangkau oleh mereka. Bahkan, hari ketika mereka menonton ke bioskop itu mereka tahbiskan sebagai “Hari Bapak-Bapak Momong Anak Sedunia”, lantaran mayoritas dari para emak itu harus meninggalkan anak-anak mereka demi untuk masuk bioskop nonton Hati Suhita. Saya terharu ketika mendengar cerita riuh dari mereka yang kebingungan “Gimana caranya ke bioskop? Gimana caranya beli tiket? Gimana caranya masuk mall yang ada bioskopnya, gimana cara parkir motor/mobil di mall? Gimana caranya ke toilet dan musala?”. Ya, itulah lanskap sosial Suhita effect yang terekam di benak saya.

 

Terima kasih, Khilma. Terima kasih pembaca novel Hati Suhita. Terima kasih penonton film Hati Suhita. Terima kasih, para pecinta Hati Suhita. Terima kasih, Starvision. Terima kasih seluruh tim dan crew film Hati Suhita.

 

Mohon maaf jika saya punya andil dengan ‘tidak berhasil menyuguhkan yang terbaik’. Mohon maaf jika saya tidak merespons apa yang tidak perlu saya respons. Sampai jumpa di sinema-sinema berikutnya. Yang belum nonton filmnya: AYO BURUAN NONTON!

 

Pogung Kidul Yogyakarta, 5 Juni 2023

https://sabak.or.id/sundari/esai/bagaimana-proses-persalinan-novel-hati-suhita-bag-1/ , https://sabak.or.id/sundari/esai/ruang-baca-pembaca-hati-suhita-bag-2/ , https://sabak.or.id/sundari/esai/hati-suhita-penanda-kebangkitan-sastra-pesantren-bag-3-selesai/ .