Kembali ke tema
tulisan ini, tepatkah asumsi beberapa orang yang menyatakan bahwa novel HS ini
menjadi penanda kebangkitan sastra pesantren? Ada lebih dari sekian argumen
untuk memeriksa kebenarannya, termasuk (jika diperlukan) mendinamisasikan lagi
persentuhan dan perdebatan wacana tentang apa dan bagaimana sastra pesantren
itu sendiri.
Dalam hemat saya
beberapa tahun belakangan, beriring dengan pesatnya dunia virtual terutama
media sosial, karya sastra pesantren justru tampak seperti 'lesu'. Tidak banyak
ditemui karya sastra pesantren (dengan varian maknanya) dalam perbincangan
sastra Indonesia hari ini. Latar belakang yang mendasarinya hingga kini belum
saya pahami secara utuh dan memuaskan. Sebagai sebuah gerakan pun (jika masih
ada), sastra pesantren belum mampu menahan ruang sastranya untuk didedahkan
secara berkesinambungan. Termasuk sastra pesantren dengan genre populer
sekalipun!
Saya tidak tahu dan
belum bisa meramalkan akankah sastra pesantren (baca: produksi karya) memiliki
daya tahan yang memadai di dalam melakukan arus dan arah perjumpaan santer di
luar sana secara terus-menerus. Hal yang memungkinkannya membentuk sebuah
irisan tertentu atau justru memapankan dirinya sendiri dalam khasanah sastra
Indonesia.
HS muncul seakan
‘mencuri’ momen. Saat perhatian sebagian besar publik berpusar pada pertarungan
sengit politik nasional khususnya di lini masa media sosial, HS maju ke tengah
gelanggang dengan mengusung dunia kisah tersendiri. Ketika situasi politik
nasional disulut suhu memanas, HS muncul “di tengah-tengahnya” seolah angin
penyejuk. Mengalihkan sejenak ruang konflik yang didominasi gonjang-ganjing berita,
cuitan kebencian, menghasut, dan merisak hubungan antarindividu anak negeri,
tak terkecuali entitas dari beberapa perempuan yang turut terlibat. Sekurangnya,
HS menghadirkan sesuatu yang lain bagi pembaca yang kebanyakan entitas
perempuan. Kelompok yang tempo hari marak diperbincangkan sebagai ‘pemandu
sorak’ dari sekian sasaran dan pembuat hoax. Kelompok yang kerap disebut
sebagai sasaran empuk dan terampuh bagi tembakan hoax, ditambah anggapan bahwa
perempuan merupakan komunitas rendah melek literasi sehingga turut berperan menjadi
reseller dan promotor ujaran kebencian. Selarik kronik memprihatinkan
dalam laku sejarah peradaban sejarah sosial politik di Indonesia.
Sebagaimana yang saya
tulis dalam “pengantar editor” novel HS, produksi karya yang mengulik kehidupan
terdalam dari sebuah pesantren, terutama yang terkait dengan pengalaman
perempuan berjumpa dengan kejawaan masih sangat minim. Padahal perempuan selalu
memiliki pengalaman dan lipatan pengetahuan yang khas dan banyak! Khilma Anis
menjadi satu-satunya yang berhasil menggulung pendapat saya itu. Sejak awal dia
menulis novel atau cerita dalam bentuk lain, selalu Jawa berikut kejawaan disuguhkan.
Dia meraciknya dari aneka olahan yang ‘mengawinkan’ dunia kebatinan Jawa,
perempuan Jawa, dan pesantren. Sesuatu yang jika dirunut secara ‘geneologis’
sejatinya sudah terkawinkan sejak mula. Jawa dan pesantren memiliki sejarah
panjang dalam tradisi keberislaman negeri ini. Semacam kisah klasik namun apik.
Novel HS menyuguhkan lain,
ada sederet ‘amaliah’ dari laku spiritual keislaman seorang perempuan
pesantren. Mendaras hapalan kitab suci, mutholaah kitab kuning, tafsir,
hingga ritual ziarah kubur ke makam orang-orang saleh. Memotret dunia batin
perempuan pesantren di mana sistem patriarki masih menancapkan kukunya dengan
memposisikan perempuan sebagai subordinat. Saya pribadi menyatakan tidak
sanggup menulis seperti Khilma Anis di HS ini. Betapa beratnya ‘memindah’
sesuatu yang telah melekat sehari-hari ke ruang perjumpaan lain dengan medium
bahasa cerita. Sungguh tak ringan menyajikan racikan kisah dengan spetrum khas
pesantren, merengkuhkan antara nilai-nilai hidup dari ajaran agama dan
kejawaan, juga kisah cinta dewasa nan getir. Sebuah kesulitan berlapis untuk
menyuarakan kepedihan yang dibungkus sekian argumen. Apalagi kadung lazim
dipahami publik bahwa dunia pesantren selama ini ‘tersembunyi’ dari hal-hal
yang bisa dikisahkan dan dikulik ke dunia luar, terutama kisah yang bersumber
dari ‘pusat’ arus pesantren; ndalem kiai berikut geliat kehidupan
penghuninya. Harus diakui, Khilma telah lolos menuliskannya.
Pandangan saya pribadi
hingga saat ini terkadang masih belum luwes ketika berhadapan dengan kronik
pesantren yang dituliskan dalam karya sastra, terutama prosa baik cerpen maupun
novel. Mengutip Gus Dur, ranah pesantren dengan tradisi lokal yang khas sesungguhnya
oleh sebagian kalangan kadung dianggap abstrak nan transenden, karenanya tidak
gampang untuk “dicomot” melalui medium sastra. Sehingga produksi karya dari
para penulis masih sedikit, terutama novel. Khilma tampak mencoba dan terus
berusaha mengambil ruang itu. Masuk tanpa ragu dengan mengayunkan spirit
‘sastra pesantren’. Gagasan yang diusung dalam HS pun terbilang ‘berani’ dari wilayah santapan universal manusia; rumitnya
cinta sepasang kekasih dan dilema pernikahan bersebab perjodohan khas tradisi
pesantren.
Satu titik
‘kegelisahan’ saya sebagai penikmat karya sastra (berbasis) pesantren adalah
masih berhamburannya gaya penceritaan yang artifisial. Kerapkali cukup
mengganggu dan menerbitkan kebosanan akut. Irisan dari pertautan genre
populer dan sebaliknya mungkin sekali lekas dihindari, lantaran sungguh tak
mudah mengarungi diksi yang mampu menangkap hal ihwal mendalam dan subtil dari
transendensi khas pesantren itu. Karya akhirnya kerap kali mudah terjebak
sebagai ‘alat dakwah’ semata lengkap
dengan retorikanya; menggurui, menasihati, dan sok tahu. Ragam bumbu yang coba
diresapkan di dalamnya tetap saja terasa hambar, bukan gurih, apalagi lezat.
Belum lagi dijumpai para penulis pembelajar pemula yang nyaman dalam
ketidaksabaran ingin mendapat ruang pengakuan yang bersifat ‘materi’. Aktivitas
menulis yang terus-menerus dan terkadang massif digerakkan, tidak diimbangi
dengan pengetahuan kritis tentang dunia sastra pesantren itu sendiri. Tidak
kelewat keliru. Namun membosankan!
Akhirul kalam, sastra
pesantren masih digadang oleh PR panjang ini. Para penulis ditantang untuk
terus-menerus berjibaku dengan eksperimennya. Tak terkecuali Khilma Anis.
Lubang yang masih menganga ini di antaranya adalah bahwa sastra pesantren masih
“berenang-renang di pinggiran”, belum menyelam lebih dalam. Butuh latihan dan
tekun!
Allahua’lam bisshowab
Blognya dimainkan donk cik gu...nanti bisa daftarkan ad sense, kali aja ..hahahaha...saya juga baru belajar neh..masukkan adsene, biar google ngasih uang wkkwkwk..seru kan, nulis ikhlas tapi di apresiasi ama google...
BalasHapus