Rabu, 06 November 2019

Penanda “Kebangkitan” Sastra Pesantren (?)





Kembali ke tema tulisan ini, tepatkah asumsi beberapa orang yang menyatakan bahwa novel HS ini menjadi penanda kebangkitan sastra pesantren? Ada lebih dari sekian argumen untuk memeriksa kebenarannya, termasuk (jika diperlukan) mendinamisasikan lagi persentuhan dan perdebatan wacana tentang apa dan bagaimana sastra pesantren itu sendiri.

Dalam hemat saya beberapa tahun belakangan, beriring dengan pesatnya dunia virtual terutama media sosial, karya sastra pesantren justru tampak seperti 'lesu'. Tidak banyak ditemui karya sastra pesantren (dengan varian maknanya) dalam perbincangan sastra Indonesia hari ini. Latar belakang yang mendasarinya hingga kini belum saya pahami secara utuh dan memuaskan. Sebagai sebuah gerakan pun (jika masih ada), sastra pesantren belum mampu menahan ruang sastranya untuk didedahkan secara berkesinambungan. Termasuk sastra pesantren dengan genre populer sekalipun!
Saya tidak tahu dan belum bisa meramalkan akankah sastra pesantren (baca: produksi karya) memiliki daya tahan yang memadai di dalam melakukan arus dan arah perjumpaan santer di luar sana secara terus-menerus. Hal yang memungkinkannya membentuk sebuah irisan tertentu atau justru memapankan dirinya sendiri dalam khasanah sastra Indonesia.

HS muncul seakan ‘mencuri’ momen. Saat perhatian sebagian besar publik berpusar pada pertarungan sengit politik nasional khususnya di lini masa media sosial, HS maju ke tengah gelanggang dengan mengusung dunia kisah tersendiri. Ketika situasi politik nasional disulut suhu memanas, HS muncul “di tengah-tengahnya” seolah angin penyejuk. Mengalihkan sejenak ruang konflik yang didominasi gonjang-ganjing berita, cuitan kebencian, menghasut, dan merisak hubungan antarindividu anak negeri, tak terkecuali entitas dari beberapa perempuan yang turut terlibat. Sekurangnya, HS menghadirkan sesuatu yang lain bagi pembaca yang kebanyakan entitas perempuan. Kelompok yang tempo hari marak diperbincangkan sebagai ‘pemandu sorak’ dari sekian sasaran dan pembuat hoax. Kelompok yang kerap disebut sebagai sasaran empuk dan terampuh bagi tembakan hoax, ditambah anggapan bahwa perempuan merupakan komunitas rendah melek literasi sehingga turut berperan menjadi reseller dan promotor ujaran kebencian. Selarik kronik memprihatinkan dalam laku sejarah peradaban sejarah sosial politik di Indonesia.

Sebagaimana yang saya tulis dalam “pengantar editor” novel HS, produksi karya yang mengulik kehidupan terdalam dari sebuah pesantren, terutama yang terkait dengan pengalaman perempuan berjumpa dengan kejawaan masih sangat minim. Padahal perempuan selalu memiliki pengalaman dan lipatan pengetahuan yang khas dan banyak! Khilma Anis menjadi satu-satunya yang berhasil menggulung pendapat saya itu. Sejak awal dia menulis novel atau cerita dalam bentuk lain, selalu Jawa berikut kejawaan disuguhkan. Dia meraciknya dari aneka olahan yang ‘mengawinkan’ dunia kebatinan Jawa, perempuan Jawa, dan pesantren. Sesuatu yang jika dirunut secara ‘geneologis’ sejatinya sudah terkawinkan sejak mula. Jawa dan pesantren memiliki sejarah panjang dalam tradisi keberislaman negeri ini. Semacam kisah klasik namun apik.

Novel HS menyuguhkan lain, ada sederet ‘amaliah’ dari laku spiritual keislaman seorang perempuan pesantren. Mendaras hapalan kitab suci, mutholaah kitab kuning, tafsir, hingga ritual ziarah kubur ke makam orang-orang saleh. Memotret dunia batin perempuan pesantren di mana sistem patriarki masih menancapkan kukunya dengan memposisikan perempuan sebagai subordinat. Saya pribadi menyatakan tidak sanggup menulis seperti Khilma Anis di HS ini. Betapa beratnya ‘memindah’ sesuatu yang telah melekat sehari-hari ke ruang perjumpaan lain dengan medium bahasa cerita. Sungguh tak ringan menyajikan racikan kisah dengan spetrum khas pesantren, merengkuhkan antara nilai-nilai hidup dari ajaran agama dan kejawaan, juga kisah cinta dewasa nan getir. Sebuah kesulitan berlapis untuk menyuarakan kepedihan yang dibungkus sekian argumen. Apalagi kadung lazim dipahami publik bahwa dunia pesantren selama ini ‘tersembunyi’ dari hal-hal yang bisa dikisahkan dan dikulik ke dunia luar, terutama kisah yang bersumber dari ‘pusat’ arus pesantren; ndalem kiai berikut geliat kehidupan penghuninya. Harus diakui, Khilma telah lolos menuliskannya.

Pandangan saya pribadi hingga saat ini terkadang masih belum luwes ketika berhadapan dengan kronik pesantren yang dituliskan dalam karya sastra, terutama prosa baik cerpen maupun novel. Mengutip Gus Dur, ranah pesantren dengan tradisi lokal yang khas sesungguhnya oleh sebagian kalangan kadung dianggap abstrak nan transenden, karenanya tidak gampang untuk “dicomot” melalui medium sastra. Sehingga produksi karya dari para penulis masih sedikit, terutama novel. Khilma tampak mencoba dan terus berusaha mengambil ruang itu. Masuk tanpa ragu dengan mengayunkan spirit ‘sastra pesantren’. Gagasan yang diusung dalam HS pun terbilang ‘berani’  dari wilayah santapan universal manusia; rumitnya cinta sepasang kekasih dan dilema pernikahan bersebab perjodohan khas tradisi pesantren.

Satu titik ‘kegelisahan’ saya sebagai penikmat karya sastra (berbasis) pesantren adalah masih berhamburannya gaya penceritaan yang artifisial. Kerapkali cukup mengganggu dan menerbitkan kebosanan akut. Irisan dari pertautan genre populer dan sebaliknya mungkin sekali lekas dihindari, lantaran sungguh tak mudah mengarungi diksi yang mampu menangkap hal ihwal mendalam dan subtil dari transendensi khas pesantren itu. Karya akhirnya kerap kali mudah terjebak sebagai ‘alat dakwah’  semata lengkap dengan retorikanya; menggurui, menasihati, dan sok tahu. Ragam bumbu yang coba diresapkan di dalamnya tetap saja terasa hambar, bukan gurih, apalagi lezat. Belum lagi dijumpai para penulis pembelajar pemula yang nyaman dalam ketidaksabaran ingin mendapat ruang pengakuan yang bersifat ‘materi’. Aktivitas menulis yang terus-menerus dan terkadang massif digerakkan, tidak diimbangi dengan pengetahuan kritis tentang dunia sastra pesantren itu sendiri. Tidak kelewat keliru. Namun membosankan!

Akhirul kalam, sastra pesantren masih digadang oleh PR panjang ini. Para penulis ditantang untuk terus-menerus berjibaku dengan eksperimennya. Tak terkecuali Khilma Anis. Lubang yang masih menganga ini di antaranya adalah bahwa sastra pesantren masih “berenang-renang di pinggiran”, belum menyelam lebih dalam. Butuh latihan dan tekun!

Allahua’lam bisshowab

Ruang Baca Pembaca "Hati Suhita" (Bag. 2)

Sekira dalam waktu dua hingga tiga bulan, akhirnya naskah HS berhasil dilahirkan dalam bentuk fisik sebagaimana dinanti-nanti oleh ribuan pembaca. Di sini, HS melompat sendiri. Lompatan yang tinggi bahkan. Menciptakan 'pasar' bagi para pembaca yang memburunya lengkap dengan euforia luar biasa riuh. HS seakan-akan menjadi bukan milik penulis (aplagi saya sebagai editornya). Tapi sah menjadi milik pembaca. Gegap gempita para pembaca itu bahkan terekam sebagai 'prestise' tersendiri manakala mereka berhasil menjadi pembaca pertama atau pemilik novel 'gelombang pertama'. Mengapa disebut demikian? Lantaran HS dicetak dengan pola 'gelombang' sebagai penanda urutan. Misal gelombang pertama adalah novel yang dicetak sebagai cetakan pertama. Gelombang pertama ini jumlah eksemplar lima ribu langsung ludes terpesan. Bahkan sejak gelombang pertama dibuka 'semacam' pre-order (saya katakan 'semacam' karena tidak bisa dikatakan sebagai pre-order konvensional sebagaimana lazimnya), gelombang kedua, ketiga, dan seterusnya sudah tertib mengantri. Rata-rata setiap gelombang mencetak 5 sampai 10 ribu eksemplar. Jika dibuat urutan 'cetakan', per seribu eksemplar adalah satu cetakan. Jadi cetakan pertama seribu eksemplar, dua ribu kedua dikategorikan cetakan kedua, dan seterusnya [wahai percetakan, kalau keliru silakan diklarifikasi]. Saya tidak begitu mengikuti perkembangan euforia ini dengan baik. Terkadang hanya sekali dua atau sepintas dua pintas saya mendengar. Selebihnya saya 'off'.

Saya kemudian melakukan pembacaan ulang atas novel HS yang berbentuk fisik tersebut. Senang karena akhirnya ada yang berkenan menuliskan masukan dan kritik, menyasar kekeliruan demi kekeliruan yang masih banyak terdapat di dalam buku itu. Sebagai evaluasi untuk kepenulisan mendatang bagi penulisnya, perlu dihadirkan seorang pemeriksa aksara. Khusus untuk memperbaiki tulisan yang sifatnya teknis. Hal ini sangat penting dan tidak bisa dikesampingkan. Seorang pembaca tekun akan merasa 'terusik kenyamanannya' tatkala menjumpai kesalahan penulisan. Bahkan semisal hanya satu huruf pun!

Saya mendengar dan mendapati ruang pembaca yang seakan dengan sendirinya terbentuk. Mereka, para pembaca yang sebelumnya tidak pernah/jarang membaca buku atau bahkan membaca karya sastra, pada akhirnya kesengsem lalu membaca HS hingga khatam. Bahkan ada yang sampai memelototi telepon pintar mereka untuk membaca naskah itu. Ruang pembaca HS juga terjadi secara alami melalui penyebaran massif tautan episode HS ke grup-grup whatsapp atau akun-akun media sosial dari ragam kelompok masyarakat. Di kala iklim membaca di negeri ini belum terbentuk baik dan dikeluhkan banyak pihak, kabar ini menjadi sesuatu yang menggembirakn bagi dunia literasi.

HS muncul setelah sebelumnya didahului oleh novel Wigati karya penulis yang sama. Novel HS menjadi novel yang diperbincangkan di mana-mana, kendati ruang perjumpaan ke tangan pembaca tetap hanya mengandalkan 'jalur indie'. Secara kebetulan pembaca didominasi para perempuan, terutama entitas perempuan dewasa dan para ibu muda. Tak kalah menarik untuk dikulik bahwa para pembaca memiliki ragam latar belakang. Tidak hanya berasal dari kalangan pondok-pondok pesantren dan lembaga pendidikan keislaman tertentu, sebagaimana selama ini kuat terlihat dan diklaim, tetapi juga berasal dari latar sosialita hingga kalangan Islam menengah perkotaan/urban. Beberapa kawan sempat berseloroh bahwa dilihat dari segi muatan novel memang sarat khasanah pondok pesantren yang khas, persoalan yang lazim terjadi, serta segudang konflik yang khas pesantren pula. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan bahwa entitas di luar pesantren pun bisa turut menikmatinya.

Hal inilah yang kerapkali menjadi pertanyaan dalam kajian-kajian terkait budaya dan literasi keislaman masa kini. Kemajuan medium yang menggelar bahasa menjadi penopang tak kalah besar jasanya. Bagaimana zaman dengan kemajuan digital memberikan ruang-ruang perjumpaan yang jauh di luar prediksi. Bagaimana terjadi persilangan dan persalingan wacana dan nilai-nilai yang terbentuk sendiri. Tampak betul dari bagaimana ruang pembaca itu riuh oleh ragam komentar.

Bagaimana Proses Persalinan Novel Hati Suhita? (Bag. 1)





Penulis Akhiriyati Sundari AS

(Editor novel “Hati Suhita”. Tinggal di Gejayan Yogyakarta)

Sekurang-kurangnya sembilan bulan, terhitung sejak cerita bersambung (cerbung) Hati Suhita diposting secara berkala di beranda medsos akun facebook Khilma Anis, penulisnya, hingga kini mewujud dalam sebuah buku fisik, masih tak luput dari perbincangan. Terutama dari para pembaca setianya. Kerap kali saya ditanya bagaimana terlibat "memroses" naskah mentah itu mulanya hingga rampung dan sampai ke tangan pembaca.


Sebagai seorang yang bekerja mengedit naskah, saya 'ditemui' oleh penulisnya ketika naskah belum jadi. Tiga belas bab ketika itu dan telah diposting ke publik. Saya justru baru membacanya ketika publik sudah riuh dengan euforianya. Bahkan, sebelumnya saya tidak tahu ada cerbung yang ramai dibicarakan publik. Persahabatan saya yang sangat karib dengan penulis adalah tidak menjamin bahwa saya mengetahui apa yang tengah dikerjakannya. Hehe..


Saya masih ingat betul. Rentang waktu Khilma mempublikasikan secara berkala, saat itu pula malam-malam biasanya dia chat lama dengan saya. Namun yang kami bahas bukanlah Suhita, melainkan novel Wigati untuk progres kedua.


Ya, saya memang mengikuti Wigati sejak pertama kali dituliskan, ketika masih starting kira-kira 30 persenan. Sebenarnya novel Wigati ini juga memiliki cerita tak kalah panjang dari Suhita. Menebalkan keyakinan bahwa setiap karya memiliki jalan nasibnya masing-masing.



Kembali ke novel Hati Suhita (selanjutnya saya singkat HS). Saya dihubungi dan menjalin komunikasi intens sejak HS mulai masuk offline usai periode ke-13 dari 34 bab keseluruhan. Jadi mulai bab ke-14 hingga tamat saya 'mendampingi' diskusi dengan penulis. Bukan hanya dengan saya saja penulis berdiskusi, namun dengan saya mungkin agak lebih banyak karena saya editornya.

Pola 'kerja' HS sungguh sebuah proses unik yang belum pernah saya lakoni sebelumnya. Penulis tidak menyampaikan apa yang menjadi langkah alur selanjutnya, maupun ending-nya akan bagaimana. Saya juga tidak menanyakan.


Semua mengalir begitu saja. Saya hanya 'berperan' mendiskusikan bagaimana gagasan itu dikembangkan per bab, juga meneropong hal-hal menyangkut isi/materi. Menelisik secara logika kepenulisan maupun track materi. Setelah itu penulis menuliskan resapan-resapan hasil diskusi kami dengan bekal lain yang sudah dimilikinya ke dalam gugusan paragaf.

Ketika satu bab selesai, penulis menyerahkannya kepada saya. Kadang juga dua sampai tiga bab. Saya lakukan pembacaan. Sedetil mungkin. Setelah itu terjadi diskusi lagi. Namun terbatas soal muatan tulisan. Begitu terus dilakukan sampai bab terakhir selesai.


Proses pembacaan yang saya dan penulis lakukan tidak serta merta menyelesaikan hal-hal yang diindikasikan untuk dilakukan revisi atau perbaikan. Namun memilih hanya poin-poin penting saja yang dianggap perlu untuk segera dilakukan perbaikan, baik dituliskan sebelum maupun untuk episode selanjutnya. Seluruhnya dibaca secara bersama-sama. Diulang-ulang hingga ada kata "oke" untuk naskah.


Ketika seluruh proses pembacaan ulang dan revisi tulisan dianggap selesai, barulah saya 'bekerja' sebagai seorang editor. Menelisik paragraf satu-satu, menyelaraskan bahasa, juga meneroka gagasan yang masih didapati atau diindikasi 'keluar' dari arah perbincangan semula. Berkali-kali sambil sesekali saya lakukan editing di ranah teknisnya (penyesuaian terhadap PUEBI).


Begitu naskah saya anggap final dari proses editing, saya serahkan ke penulis. Olehnya, naskah itu kemudian dicetak/diprint out. Dijilid tebal, lalu dikirimkan via pos ke alamat saya. Setelah menerimanya, saya melakukan pembacaan kembali melalui naskah fisik itu.


Berbekal pena merah seperti biasa, corat-coret lebih mudah dan tampak lebih teliti saya melakukannya. Lalu naskah kembali direvisi. Terus berulang-ulang hingga lima sampai tujuh kali kalau tidak salah ingat. Jogja-Jember menjadi jalanan panjang dan ruang yang lapang bagi HS.


Di dalam proses awal diskusi saya dengan penulis, ada 13 episode yang telah tayang di media sosial di mana saya tidak diberi kewenangan untuk melakukan editing. Praktis hanya sedikit membenahi di ranah teknisnya. Namun, "episode offline"-nya saya lakukan editing yang semestinya. Tidak terlalu payah untuk mengoreksi sisi tulisan di mana saya hapal bagaimana si penulis begitu lihai menarikan kalimat-kalimatnya.


Namun, ketika menemukan diksi yang kurang pas, alhasil butuh waktu dan pemikiran tersendiri juga. Ada satu bab yang tidak saya sertakan dalam naskah itu (baca: saya buang). Tentu saja dengan argumentasi yang patut dipertanggungjawabkan sebagai seorang editor. Lalu setelah naskah utuh dan saya nyatakan OKE FIX, barulah sama penulis langsung disetorkan ke percetakan.


Saya menjadi ‘penentu akhir’ pula apakah naskah sudah layak naik cetak atau belum. Jadi kalau ada hal terkait ‘kekurangan’ dari HS, publik boleh menggugat saya. Wkwk..


Behind the Scene

Pengalaman 'mendampingi' kelahiran HS, berada di belakang 'dapur' akan selalu menjadi sesuatu yang saya kenang. Ada kisah unik melatari proses kepenulisan HS. Ada emosi yang merangsek terlibat. Baik emosi penulis maupun emosi saya sendiri sebagai editor.

Ada situasi yang kami rasakan berdua begitu sentimentil. Yang demikian ini bisa terjadi lantaran hubungan saya dengan penulis tidak terbatas pada hubungan dalam ranah kreatif sastra dan kepenulisan, namun hubungan persahabatan antar dua pribadi yang terbangun sudah cukup lama dan mapan.


Kami terlibat perasaan sentimentil sebagai sahabat ketika saling mencurahkan apa yang dirasakan hati masing-masing berkait kisah HS. Kebetulan narasi dari kisah yang sedang ditulis turut berperan menopangnya. Jadilah tak sekali dua kami menangis bersama. Wah, saya jadi malu kalau mengingatnya.


Baper detected! Lalu tak dinyana, grafik sentimental bergerak naik itulah yang saya rasa memantik penulis hingga menelurkan gugusan paragraf yang membuat pembaca termehek-mehek.


Keterlibatan emosi secara penuh dalam proses diskusi karya itu lambat laun membuat saya menyadari bahwa sebuah tulisan kerap kali diciptakan di luar 'kuasa' diri. Seperti ada yang mencelos begitu saja dari dalam diri dan tidak bisa dikendalikan. Ia bisa berupa 'momen prosaik' tertentu yang lebih sering menggugah kedalaman makna dari yang selama ini mungkin tersembunyi. Berkelindan dengan pengalaman, rintisan pengetahuan, juga perasan akan ragam perasaan yang tak kesampaian untuk digundahkan dalam tulisan.


Selayak paket komplit. Jadi, ada dua hal bersifat 'materi' dan 'immateri' dalam perjumpaan naskah HS. Satu hal 'materi' lebih pada bagaimana gugusan kalimat itu muncul berkesinambungan murni sebagai sebuah produk karya sastra, satu hal 'immateri' lain muncul dari kedalaman hubungan antara saya dengan penulis selama ini. Sebagai dua sahabat yang terlibat pembicaraan tentang segala persoalan hidup, terutama bagaimana “ngayahi” ingatan akan hal yang telah terlampaui.


Akan tetapi, hal paling terkenang adalah terlibatnya ‘emosi massa’ pembaca. Ditopang oleh revolusi digital melalui media sosial, HS membawa fenomena baru dalam risalah kepenulisan novel di negeri ini.


Saya tidak pernah menemukan sebelumnya bagaimana “massa” bisa begitu riuh membaca dan menanggapi sebuah cerita bersambung yang “on going” hingga lalu berakhir menjadi sebuah buku novel yang teramat digandrungi.


Kesabaran netizen menantikan HS mewujud menjadi sebuah cerita yang berakhir dalam bentuk buku sungguh luar biasa. Tidak sedikit satu dua yang menghubungi saya menanyakan progres penulisan HS. Sampai-sampai ada yang request akan jalannya cerita. Padahal saya hanya seorang editor.

Sabtu, 02 November 2019

Pergolakan Politik Gerwani; Pelopor Gerakan Perempuan Feminis-Sosialis di Indonesia



Oleh: Akhiriyati Sundari



Pendahuluan
                Setengah abad genosida terbesar sepanjang abad 20 baru saja menandai titik waktunya di 30 September 2015 silam. Sementara orang menyebutnya sebagai pembantaian manusia besar-besaran kedua usai pemusnahan masal Yahudi Jerman oleh Serdadu SS Nazi semasa rezim Hitler. Terdapat satu jiwa manusia Indonesia dilenyapkan nyawanya, bahkan Letkol Sarwo Edi Wibowo menyebut tiga juta, dihilangkan paksa, diciduk dan dipenjarakan dengan siksaan fisik yang sangat sadis yang sulit diterima nalar manusia sehat, dipisahkan kehidupannya dari keluarga, dari orang-orang yang dicintainya. Tanpa pengadilan. Mereka adalah orang-orang yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia [PKI], simpatisan, orang-orang yang dituduh sebagai anggota, orang-orang yang pernah bersinggungan dengan partai komunis paling besar di Indonesia itu, orang-orang yang aktif bergabung dalam organisasi-organisasi underbouw PKI, tak luput adalah para perempuan aktivis Gerakan Wanita Indonesia [Gerwani]. Penumpasan satu lapisan sosial dalam kurun waktu 65-66 telah menyisakan luka tragedi yang tak terperi. Tuduhan demi tuduhan tak berdasar disematkan secara ‘abadi’ kepada Gerwani baik sebagai kelembagaan maupun kepada para perempuan yang aktif di dalamnya. Panggung sejarah tak luput diwarnai dengan goresan hitam terhadap organisasi paling radikal kal itu. Rezim Soeharto menjadi subjek paling sahih [untuk] dituduh [balik] sebagai penguasa yang dibangun di atas jutaan nyawa manusia tak berdosa. Rezim Soeharto pula yang patut dituduh sebagai ‘rezim gender’ terhadap pengebirian dan pemusnahan sejarah manis gerakan perempuan yang pernah Berjaya itu, berikut pembungkaman terhadap aktivitas perempuan sesudah 1965 hingga 32 tahun lamanya.

Gerwani; Sejarah Progresif Gerakan Perempuan Indonesia
                Momentum 1928 ketika dimulai ‘kesadaran nasional’ dengan diprakarsai terbentuknya organisasi modern Budi Utomo diikuti oleh para perempuan yang menggelar Kongres Perempuan pertama, tak ayal membuntutkan lurus garis perjuangan kesadaran masyarakat Indonesia pada entitas yang lebih luas. Gerwis [Gerakan Wanita Sedar] yang berdiri pada tahun 1950 untuk kemudian bermetamorfosa menjadi Gerwani pada tahun 1954, tercatat sebagai gerakan perempuan paling progresif-revolusioner penting di Indonesia. Kesadaran kritis dengan ditopang garis perjuangan termaju saat itu, yakni feminisme, sosialisme, dan nasionalisme kala itu berhasil membawa Gerwani tampil sangat aktif dan menelurkan perubahan peradaban signifikan bagi bangunan kebangsaan dan ke-Indonesiaan. Cakupan utamanya adalah perjuangan perempuan yang dibingkai feminisme. Sebagaimana produk yang dihasilkan dalam catatan-catatan perjuangan Kongres Perempuan sebelumnya, persoalan ‘ketertinggalan’ perempuan menjadi titik didih utama pula dalam perjuangan Gerwani. Terlebih pada kurun waktu antara kongresn pertama dan kedua, feminisme begitu kuat memandu langkah-langkah perjuangan Gerwani.
                Tuntutan untuk mengubah Undang-Undang Perkawinan dari yang selama itu dirasakan diskriminatif menjadi demokratis tidak pernah ditinggalkan. Selain itu Gerwani juga berada di garda depan dalam merumuskan garis perjuangan menuntut upah yang adil bagi buruh perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik, menuntut penyediaan lapangan pendidikan yang baik bagi perempuan, menuntut pemberian fasilitas penitipan anak, perhatian serius terhadap kasus-kasus perkosaan, trafficking, serta merumuskan pembagian kerja yang adil antara suami-istri di dalam rumah tangga. Segmentasi yang demikian progress di kalangan Gerwani kala itu tidak lantas begitu saja diterima dengan mudah bahkan oleh sesama aktivis perempuan dari organ lain. Catatan Saskia E Wieringa mengemukakan bagaimana Gerwani begitu dijauhi oleh ormas keagamaan kala itu seperti Aisyiah dari Muhammadiyah, Muslimat dari Masyumi, serta tak luput kemudian Muslimat NU dari Nahdhatul Ulama. Persinggungannya jelas pada soal poligami. Hal tersebut merupakan wilayah ‘otoritas keagamaan’ yang masih menjadi keyakinan dalam Islam sehingga tak bisa diganggu gugat. Sementara Gerwani yang sejak awal tidak melandaskan organisasinya pada agama tampak tidak merisaukan hal itu.

Gerwani dan Analisis Feminis
                Terdapat tiga aliran [teori] besar dalam feminisme [Gadis Arivia, 2003]; liberal, radikal, marxis-sosialis. Teori liberal lebih menekankan pada pendayagunaan akal atau rasio. Bagaimana perjuangan perempuan didudukkan pada porsinya untuk mengenali terlebih dahulu kapasitas yang ‘given’ dari Tuhan berupa perangkat otaknya. Untuk itu, perempuan musti menuntut adanya ‘iklim berpikir’ yang luas terdapat dalam pendidikan. Perempuan berhak mendapatkan pendidikan melalui sekolah-sekolah dengan tujuan mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru bagi memberdayakan kapasitas berpikirnya.
                Feminisme radikal mencurahkan fokusnya pada ketertindasan perempuan. Segregasi antara ranah privat dan publik yang masuk dalam ‘pembagian kerja secara seksual’ adalah inti atau akar dari ketertindasan itu. Penindasan menurut paham ini berawal dari ranah privat. Perempuan didominasi dan dikendalikan secara seksual dalam ranah privat/domestik. Maka munculah apa yang kemudian dikenal sebagai slogan the personal is political [yang pribadi adalah politis]. Penindasan yang terjadi di ranah domestik adalah berarti penindasan di ranah publik [pula].
                Sementara feminisme marxis-sosialis. Feminis sosialis lebih menekankan penindasan gender di samping penindasan kelas sebagai salah satu sebab dari penindasan terhadap perempuan. Sementara feminisme marxis beranggapan bahwa persoalan utamanya hanya terletak pada masalah kelas yang menyebabkan perbedaan fungsi dan status perempuan. Hal ini berbuntut pada pandangan bahwa bagi feminisme marxis, perempuan borjuis [kelas menengah ke atas] tidak akan mengalami penindasan yang sama dengan perempuan dari kelas proletar [kelas buruh].
                Secara idiologis, Gerwani lebih dekat pada PKI dengan marxis-sosialisnya. Secara praksis, semuanya menjadi kabur dan bahkan berbaur satu sama lain. Dimensi awal pergerakan Gerwani adalah menarik kasus Undang-Undang Perkawinan dalam setiap tuntutannya. Persoalan perkawinan pada aras tertentu adalah persoalan privat. Persoalan yang bersumber dari lingkup rumah tangga. Gerwani memandang ada diskriminasi di sini. Laki-laki boleh melakukan poligami. Laki-laki tanpa tindakan bertanggung jawab sedikitpun bisa berlenggang meninggalkan keluarganya, istrinya, demi kepentingannya sendiri. Terdapat penindasan perempuan di sini yakni si istri. Dalam hubungan rumah tangga, istri ‘ditundukkan’ secara seksual oleh suami. Aras perjuangan Gerwani bertolak dari hal ini. Tidak saja istri yang akan mengalami penderitaan dari perilaku suami di ranah privat itu, namun anak-anak juga menjadi pihak tak kalah menderita. Reformasi Undang-Undang Perkawinan menjadi penting untuk diperjuangkan bagi Gerwani untuk melindungi perempuan. Yang radikal dan sosialis terwakili di sini. Bahwa ada perbedaan gender yang tidak setara dalam hubungan perkawinan.
                Tuntutan Gerwani terhadap hak-hak buruh perempuan agar mendapat jatah upah setara, dalam wilayah ini mengadopsi teori feminis marxis-sosialis. Ada warna kelas sosial yang musti dipatahkan musabab penindasannya. Buruh perempuan digaji amat rendah dan tidak setara dengan laki-laki sementara beban kerja sama. Tak terkecuali buruh tani perempuan di desa-desa. Bergabung dengan Barisan Tani Indonesia [BTI], Gerwani menuntut reforma agraria agar dilaksanakan. Land Reform, agar dituntaskan meski kemudian dilakukan dengan ‘membuat kacau’ situasi sosial yakni adanya ‘aksi sepihak’ melawan Tuan Tanah sebagai salah satu dari ‘tujuh setan desa’ yang menjadi musuh perjuangan mereka.
                Pergerakan yang agresif Gerwani dengan kedekatannya dengan kalangan buruh kala itu, sudah memberikan simpulan tersendiri bahwa garis idiologis Gerwani mengarah pada komunis yang digunakan PKI. Roamntisme kisah Clara Zetkin, pemimpin partai sosialis permpuan pertama di dunia yang berasal dari Jerman telah menginspirasi anggota Gerwani untuk melakukan hal yang sama, menggalakkan kerja-kerja mengorganisir buruh secara massif. Bahkan romantisme itu juga ditunjukkan dengan turut sertanya Gerwani merayakan Hari Perempuan Internasional yang digagas oleh Clara Zetkin dan digaungkan ke seluruh dunia. Setali tiga uang dengan idiologi PKI yang dekat dengan Gerwani adalah keikutsertaannya dalam WIDF [Women International Democratic Federation] dan member ‘warna’ dalam organisasi tersebut. Ketidaksetujuannya dengan butir-butir hasil kesepakatan dalam pertemuan internasional misalnya, ditunjukkan Gerwani dengan keluar dari organisasi internasional itu, lantaran Gerwani menganggap tak akan ada perdamaian dalam bingkai imperialisme. Kesadaran kolonial telah lebih dulu dimiliki Gerwani. Ini menjadi penting untuk sekali lagi menyimpulkan bahwa Gerwani sungguh-sungguh berkiprah aktif pula dalam masalah politik nasional kala itu.
                Satu hal yang dianggap ‘ambigu’ adalah sikap ‘diam’ Gerwani terhadap perkawinan kedua Presiden Sukarno dengan Hartini. Satu sisi, Gerwani memperjuangkan secara radikal reformasi perkawinan, satu sisi Gerwani diam terhadap fakta bahwa terdapat kontraproduksi dari tuntutan perjuangan itu dan justru hal itu dilakukan oleh “Sang Bung Besar”. Dasar apologetiknya adalah persoalan imperialisme lebih penting dari sekadar persoalan ‘privat’ macam perkawinan. Agaknya, ini adalah wujud dari tindakan ‘politis’ Gerwani yang tengah mengubah haluan dari gerakan kader menuju pada gerakan massa. Artinya, terjadi ‘pemilahan wilayah’ secara tak disadari bahwa Gerwani mengakui ranah privat dan publik sebagai sesuatu yang ‘oposisi binner’.
                Sebuah sudut pandang lain menangkap ‘kemandirian’ Gerwani dalam berorganisasi, yakni menegaskan diri tidak terlibat dengan partai politik mana pun. Tidak menjadi sayap perempuan dari partai politik mana pun. Sebuah kenyataan yang bertolak belakang dengan narasi sejarah Orde Baru yang menempatkan Gerwani sebagai organisasi komunis underbouw PKI. Garis struktural Gerwani adalah independen. Sementara, PKI sebenarnya juga memiliki sayap perempuan tersendiri, namanya Wakom [Wanita Komunis] yang dipimpin oleh perempuan anggota PKI garis keras; Suharti, masuk dalam struktur PKI sebagai partai politik. Ketegasan kemandirian Gerwani dalam organisasi ini menandakan sebuah kenyataan radikal.
                Segaris dengan idiologi komunis pada saat itu, Gerwani membangun ‘hubungan dekat’ dengan Sukarno dengan slogan Nasakom-nya [Nasionalis, Agama, Komunis]. Hal yang kerap didengung-dengungkan adalah perjuangan progresif-revolusioner. Bahwa ‘revolusi belum selesai’. Karenanya, ada empat macam golongan kaum kontra-revolusioner yang menjadi musuk Gerwani, yakni kaum imperalis, kapitalis komprador, kapitalis birokrat, dan tuan tanah jahat. Perjuangan melawan imperialism ditunjukkan Gerwani dengan turut aktif mengirim anggota untuk mengikuti pelatihahan fisik menghadapi imperialis Belanda atas Irian Barat. Juga menghadapi ganyang Malaysia yang dituduh Sukarno sebagai negara imperialis boneka Belanda dan sekutunya.

Sesudah Oktober 1965
                Percobaan kup [pengambilalihan kekuasaan] yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mendaku dirinya para perwira Angkatan Darat dengan menculik dan membunuh enam jenderal AD dan satu perwira, merupakan titik awal dari rangkaian sejarah berdarah amat panjang. Wajah Indonesia berubah total mulai saat itu. Terjadi pembasmian besar-besaran terhadap PKI beserta ‘antek-anteknya’ yang dikomandoi oleh Soeharto. Tak terkecuali para perempuan Gerwani. Seluruh organisasi yang berbau ‘kiri’ dinyatakan haram hidup di Indonesia. Hantu komunias diciptakan bergentayangan dalam memori kolektif seluruh bangsa. Museum, buku-buku sejarah, film, dan propaganda media massa yang “satu pintu” sukses besar menghitam-putihkan kehidupan kebangsaan selama 32 tahun.
                Jutaan rakyat dibantai oleh saudara sebangsa sendiri. Militer di bawah Soeharto menerapkan politik adu domba di tingkat grass-root, horizontal, yang menghadap-hadapkan sesame anak bangsa sambil mengibas-ngibaskan tangannya sebagai tanda ‘cuci tangan’. Para perempuan mengalami perlakuan sadis dalam tahanan, disiksa, diperkosa, hingga dibunuh. Sebuah tragedi berdarah terbesar negeri ini yang sukses mempersembahkan diri sebagai tumbal Orde Baru.
                Para penyintas itu, kini sebagian besar telah kembali ke tengah-tengah masyarakat. Namun, stigma, bahkan setelah 50 tahun!, masih disematkan kepada mereka sebagai orang yang tidak bersih lingkungan, kotor, bejat moral, sundal, pemberontak dan sederet makian tidak manusiawi lainnya. Para perempuan Gerwani tidak pernah direhabilitasi nama baiknya. Tuduhan-tuduhan terhadap mereka sebagai bagian dari pembunuh jenderal dalam ‘ontran-ontran’ G30S di Jakarta tidak pernah terbukti. Tak ada pengadilan buat mereka. Sejarah hidup mereka dilubangi sedemikian dalam bahkan hingga di usia senja mereka, di saat kran kebebasan reformasi membuka lebar-lebar bagi hidup yang manusiawi.


Kesimpulan
                Titik balik kehidupan berkebangsaan di Indonesia didemarkasi dalam kurun 1965-1966 melalui peristiwa masaker terhebat di negeri ini. IPT ’65 yang digelar di Denhaag Belanda pada medio November lalu pun terasa tak ada gayung bersambut hingga hari ini dari seluruh lapisan anak bangsa. Seluruh anak bangsa seakan masih hidup dan sengaja dibuar hidup dalam situasi ‘senyap’ sejarah berdarah. Perjuangan kemanusiaan yang dibalut feminisme telah dengan ‘gemilang’ ditorehkan sejarahnya oleh Gerwani. Akan tetapi, merobohkan bangunan patriarki sesudah 32 tahun kokoh berdiri tentu tak mudah. Gesekan-gesekan dari ketaksepahaman di masyarakat terhadap gerakan perempuan progresif-radikal-kekirian, masih saja menunjukkan batang hidungnya. Feminisme, bahkan telah direduksi besar-besaran maknanya pula di sebagian besar masyarakat sebagai ‘paham kiri baru’ dari barat. Perjuangan terhadap kesetaraan dan keadilan masih tampak merangkak hingga hari ini, setelah belum munculnya lagi gerakan perempuan feminis seperti Gerwani.

***

Sumber-sumber bacaan:

Saskia E Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan; Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI, Yogyakarta: Galang Press 2010.

Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara; Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru, Depok: Komunitas Bambu 2011.

Susan Blackburn, Kongres Perempuan Pertama; Tinjauan Ulang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia/KITLV 2007.

Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan 2003.

Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia; Gerakan dan Pencapaian, Depok: Komunitas Bambu 2008.

Friedrich Engels, Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara, terj. Vidi, Jakarta: Kalyanamitra 2004.

Jurnal Perempuan edisi 30 “Perempuan dalam Seni Sastra, Jakarta: YJP 2003.

--------------------- edisi 52 “Kami Punya Sejarah”, Jakarta: YJP 2007.

Jurnal Tashwirul Afkar edisi 15 tahun 2003, “Peristiwa ’65-’66; Tragedi, Memori, dan rekonsiliasi, Jakarta: LAKPESDAM NU 2003.