Oleh: Akhiriyati Sundari
Pendahuluan
Setengah
abad genosida terbesar sepanjang abad 20 baru saja menandai titik waktunya di 30
September 2015 silam. Sementara orang menyebutnya sebagai pembantaian manusia
besar-besaran kedua usai pemusnahan masal Yahudi Jerman oleh Serdadu SS Nazi semasa
rezim Hitler. Terdapat satu jiwa manusia Indonesia dilenyapkan nyawanya, bahkan
Letkol Sarwo Edi Wibowo menyebut tiga juta, dihilangkan paksa, diciduk dan
dipenjarakan dengan siksaan fisik yang sangat sadis yang sulit diterima nalar
manusia sehat, dipisahkan kehidupannya dari keluarga, dari orang-orang yang
dicintainya. Tanpa pengadilan. Mereka adalah orang-orang yang tergabung dalam
Partai Komunis Indonesia [PKI], simpatisan, orang-orang yang dituduh sebagai
anggota, orang-orang yang pernah bersinggungan dengan partai komunis paling
besar di Indonesia itu, orang-orang yang aktif bergabung dalam
organisasi-organisasi underbouw PKI, tak luput adalah para perempuan
aktivis Gerakan Wanita Indonesia [Gerwani]. Penumpasan satu lapisan sosial
dalam kurun waktu 65-66 telah menyisakan luka tragedi yang tak terperi. Tuduhan
demi tuduhan tak berdasar disematkan secara ‘abadi’ kepada Gerwani baik sebagai
kelembagaan maupun kepada para perempuan yang aktif di dalamnya. Panggung
sejarah tak luput diwarnai dengan goresan hitam terhadap organisasi paling
radikal kal itu. Rezim Soeharto menjadi subjek paling sahih [untuk] dituduh
[balik] sebagai penguasa yang dibangun di atas jutaan nyawa manusia tak
berdosa. Rezim Soeharto pula yang patut dituduh sebagai ‘rezim gender’ terhadap
pengebirian dan pemusnahan sejarah manis gerakan perempuan yang pernah Berjaya
itu, berikut pembungkaman terhadap aktivitas perempuan sesudah 1965 hingga 32
tahun lamanya.
Gerwani; Sejarah Progresif Gerakan Perempuan
Indonesia
Momentum
1928 ketika dimulai ‘kesadaran nasional’ dengan diprakarsai terbentuknya
organisasi modern Budi Utomo diikuti oleh para perempuan yang menggelar Kongres
Perempuan pertama, tak ayal membuntutkan lurus garis perjuangan kesadaran
masyarakat Indonesia pada entitas yang lebih luas. Gerwis [Gerakan Wanita
Sedar] yang berdiri pada tahun 1950 untuk kemudian bermetamorfosa menjadi
Gerwani pada tahun 1954, tercatat sebagai gerakan perempuan paling
progresif-revolusioner penting di Indonesia. Kesadaran kritis dengan ditopang
garis perjuangan termaju saat itu, yakni feminisme, sosialisme, dan
nasionalisme kala itu berhasil membawa Gerwani tampil sangat aktif dan
menelurkan perubahan peradaban signifikan bagi bangunan kebangsaan dan
ke-Indonesiaan. Cakupan utamanya adalah perjuangan perempuan yang dibingkai
feminisme. Sebagaimana produk yang dihasilkan dalam catatan-catatan perjuangan
Kongres Perempuan sebelumnya, persoalan ‘ketertinggalan’ perempuan menjadi
titik didih utama pula dalam perjuangan Gerwani. Terlebih pada kurun waktu
antara kongresn pertama dan kedua, feminisme begitu kuat memandu
langkah-langkah perjuangan Gerwani.
Tuntutan
untuk mengubah Undang-Undang Perkawinan dari yang selama itu dirasakan
diskriminatif menjadi demokratis tidak pernah ditinggalkan. Selain itu Gerwani
juga berada di garda depan dalam merumuskan garis perjuangan menuntut upah yang
adil bagi buruh perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik, menuntut penyediaan
lapangan pendidikan yang baik bagi perempuan, menuntut pemberian fasilitas
penitipan anak, perhatian serius terhadap kasus-kasus perkosaan, trafficking,
serta merumuskan pembagian kerja yang adil antara suami-istri di dalam rumah
tangga. Segmentasi yang demikian progress di kalangan Gerwani kala itu tidak
lantas begitu saja diterima dengan mudah bahkan oleh sesama aktivis perempuan
dari organ lain. Catatan Saskia E Wieringa mengemukakan bagaimana Gerwani
begitu dijauhi oleh ormas keagamaan kala itu seperti Aisyiah dari Muhammadiyah,
Muslimat dari Masyumi, serta tak luput kemudian Muslimat NU dari Nahdhatul
Ulama. Persinggungannya jelas pada soal poligami. Hal tersebut merupakan
wilayah ‘otoritas keagamaan’ yang masih menjadi keyakinan dalam Islam sehingga
tak bisa diganggu gugat. Sementara Gerwani yang sejak awal tidak melandaskan
organisasinya pada agama tampak tidak merisaukan hal itu.
Gerwani dan Analisis Feminis
Terdapat
tiga aliran [teori] besar dalam feminisme [Gadis Arivia, 2003]; liberal,
radikal, marxis-sosialis. Teori liberal lebih menekankan pada pendayagunaan
akal atau rasio. Bagaimana perjuangan perempuan didudukkan pada porsinya untuk
mengenali terlebih dahulu kapasitas yang ‘given’ dari Tuhan berupa perangkat
otaknya. Untuk itu, perempuan musti menuntut adanya ‘iklim berpikir’ yang luas
terdapat dalam pendidikan. Perempuan berhak mendapatkan pendidikan melalui
sekolah-sekolah dengan tujuan mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru bagi
memberdayakan kapasitas berpikirnya.
Feminisme
radikal mencurahkan fokusnya pada ketertindasan perempuan. Segregasi antara
ranah privat dan publik yang masuk dalam ‘pembagian kerja secara seksual’
adalah inti atau akar dari ketertindasan itu. Penindasan menurut paham ini berawal
dari ranah privat. Perempuan didominasi dan dikendalikan secara seksual dalam
ranah privat/domestik. Maka munculah apa yang kemudian dikenal sebagai slogan the
personal is political [yang pribadi adalah politis]. Penindasan yang
terjadi di ranah domestik adalah berarti penindasan di ranah publik [pula].
Sementara
feminisme marxis-sosialis. Feminis sosialis lebih menekankan penindasan gender
di samping penindasan kelas sebagai salah satu sebab dari penindasan terhadap
perempuan. Sementara feminisme marxis beranggapan bahwa persoalan utamanya
hanya terletak pada masalah kelas yang menyebabkan perbedaan fungsi dan status
perempuan. Hal ini berbuntut pada pandangan bahwa bagi feminisme marxis,
perempuan borjuis [kelas menengah ke atas] tidak akan mengalami penindasan yang
sama dengan perempuan dari kelas proletar [kelas buruh].
Secara
idiologis, Gerwani lebih dekat pada PKI dengan marxis-sosialisnya. Secara
praksis, semuanya menjadi kabur dan bahkan berbaur satu sama lain. Dimensi awal
pergerakan Gerwani adalah menarik kasus Undang-Undang Perkawinan dalam setiap
tuntutannya. Persoalan perkawinan pada aras tertentu adalah persoalan privat.
Persoalan yang bersumber dari lingkup rumah tangga. Gerwani memandang ada
diskriminasi di sini. Laki-laki boleh melakukan poligami. Laki-laki tanpa
tindakan bertanggung jawab sedikitpun bisa berlenggang meninggalkan
keluarganya, istrinya, demi kepentingannya sendiri. Terdapat penindasan
perempuan di sini yakni si istri. Dalam hubungan rumah tangga, istri
‘ditundukkan’ secara seksual oleh suami. Aras perjuangan Gerwani bertolak dari
hal ini. Tidak saja istri yang akan mengalami penderitaan dari perilaku suami
di ranah privat itu, namun anak-anak juga menjadi pihak tak kalah menderita.
Reformasi Undang-Undang Perkawinan menjadi penting untuk diperjuangkan bagi
Gerwani untuk melindungi perempuan. Yang radikal dan sosialis terwakili di
sini. Bahwa ada perbedaan gender yang tidak setara dalam hubungan perkawinan.
Tuntutan
Gerwani terhadap hak-hak buruh perempuan agar mendapat jatah upah setara, dalam
wilayah ini mengadopsi teori feminis marxis-sosialis. Ada warna kelas sosial
yang musti dipatahkan musabab penindasannya. Buruh perempuan digaji amat rendah
dan tidak setara dengan laki-laki sementara beban kerja sama. Tak terkecuali
buruh tani perempuan di desa-desa. Bergabung dengan Barisan Tani Indonesia
[BTI], Gerwani menuntut reforma agraria agar dilaksanakan. Land Reform,
agar dituntaskan meski kemudian dilakukan dengan ‘membuat kacau’ situasi sosial
yakni adanya ‘aksi sepihak’ melawan Tuan Tanah sebagai salah satu dari ‘tujuh
setan desa’ yang menjadi musuh perjuangan mereka.
Pergerakan
yang agresif Gerwani dengan kedekatannya dengan kalangan buruh kala itu, sudah
memberikan simpulan tersendiri bahwa garis idiologis Gerwani mengarah pada
komunis yang digunakan PKI. Roamntisme kisah Clara Zetkin, pemimpin partai
sosialis permpuan pertama di dunia yang berasal dari Jerman telah menginspirasi
anggota Gerwani untuk melakukan hal yang sama, menggalakkan kerja-kerja
mengorganisir buruh secara massif. Bahkan romantisme itu juga ditunjukkan
dengan turut sertanya Gerwani merayakan Hari Perempuan Internasional yang
digagas oleh Clara Zetkin dan digaungkan ke seluruh dunia. Setali tiga uang
dengan idiologi PKI yang dekat dengan Gerwani adalah keikutsertaannya dalam
WIDF [Women International Democratic Federation] dan member ‘warna’
dalam organisasi tersebut. Ketidaksetujuannya dengan butir-butir hasil
kesepakatan dalam pertemuan internasional misalnya, ditunjukkan Gerwani dengan
keluar dari organisasi internasional itu, lantaran Gerwani menganggap tak akan
ada perdamaian dalam bingkai imperialisme. Kesadaran kolonial telah lebih dulu
dimiliki Gerwani. Ini menjadi penting untuk sekali lagi menyimpulkan bahwa
Gerwani sungguh-sungguh berkiprah aktif pula dalam masalah politik nasional
kala itu.
Satu
hal yang dianggap ‘ambigu’ adalah sikap ‘diam’ Gerwani terhadap perkawinan
kedua Presiden Sukarno dengan Hartini. Satu sisi, Gerwani memperjuangkan secara
radikal reformasi perkawinan, satu sisi Gerwani diam terhadap fakta bahwa
terdapat kontraproduksi dari tuntutan perjuangan itu dan justru hal itu
dilakukan oleh “Sang Bung Besar”. Dasar apologetiknya adalah persoalan
imperialisme lebih penting dari sekadar persoalan ‘privat’ macam perkawinan.
Agaknya, ini adalah wujud dari tindakan ‘politis’ Gerwani yang tengah mengubah
haluan dari gerakan kader menuju pada gerakan massa. Artinya, terjadi
‘pemilahan wilayah’ secara tak disadari bahwa Gerwani mengakui ranah privat dan
publik sebagai sesuatu yang ‘oposisi binner’.
Sebuah
sudut pandang lain menangkap ‘kemandirian’ Gerwani dalam berorganisasi, yakni
menegaskan diri tidak terlibat dengan partai politik mana pun. Tidak menjadi
sayap perempuan dari partai politik mana pun. Sebuah kenyataan yang bertolak
belakang dengan narasi sejarah Orde Baru yang menempatkan Gerwani sebagai
organisasi komunis underbouw PKI. Garis struktural Gerwani adalah
independen. Sementara, PKI sebenarnya juga memiliki sayap perempuan tersendiri,
namanya Wakom [Wanita Komunis] yang dipimpin oleh perempuan anggota PKI garis
keras; Suharti, masuk dalam struktur PKI sebagai partai politik. Ketegasan
kemandirian Gerwani dalam organisasi ini menandakan sebuah kenyataan radikal.
Segaris
dengan idiologi komunis pada saat itu, Gerwani membangun ‘hubungan dekat’
dengan Sukarno dengan slogan Nasakom-nya [Nasionalis, Agama, Komunis]. Hal yang
kerap didengung-dengungkan adalah perjuangan progresif-revolusioner. Bahwa
‘revolusi belum selesai’. Karenanya, ada empat macam golongan kaum
kontra-revolusioner yang menjadi musuk Gerwani, yakni kaum imperalis, kapitalis
komprador, kapitalis birokrat, dan tuan tanah jahat. Perjuangan melawan
imperialism ditunjukkan Gerwani dengan turut aktif mengirim anggota untuk
mengikuti pelatihahan fisik menghadapi imperialis Belanda atas Irian Barat.
Juga menghadapi ganyang Malaysia yang dituduh Sukarno sebagai negara imperialis
boneka Belanda dan sekutunya.
Sesudah Oktober 1965
Percobaan
kup [pengambilalihan kekuasaan] yang dilakukan oleh sekelompok orang yang
mendaku dirinya para perwira Angkatan Darat dengan menculik dan membunuh enam
jenderal AD dan satu perwira, merupakan titik awal dari rangkaian sejarah
berdarah amat panjang. Wajah Indonesia berubah total mulai saat itu. Terjadi
pembasmian besar-besaran terhadap PKI beserta ‘antek-anteknya’ yang dikomandoi
oleh Soeharto. Tak terkecuali para perempuan Gerwani. Seluruh organisasi yang
berbau ‘kiri’ dinyatakan haram hidup di Indonesia. Hantu komunias diciptakan
bergentayangan dalam memori kolektif seluruh bangsa. Museum, buku-buku sejarah,
film, dan propaganda media massa yang “satu pintu” sukses besar
menghitam-putihkan kehidupan kebangsaan selama 32 tahun.
Jutaan
rakyat dibantai oleh saudara sebangsa sendiri. Militer di bawah Soeharto
menerapkan politik adu domba di tingkat grass-root, horizontal, yang
menghadap-hadapkan sesame anak bangsa sambil mengibas-ngibaskan tangannya
sebagai tanda ‘cuci tangan’. Para perempuan mengalami perlakuan sadis dalam tahanan,
disiksa, diperkosa, hingga dibunuh. Sebuah tragedi berdarah terbesar negeri ini
yang sukses mempersembahkan diri sebagai tumbal Orde Baru.
Para
penyintas itu, kini sebagian besar telah kembali ke tengah-tengah masyarakat.
Namun, stigma, bahkan setelah 50 tahun!, masih disematkan kepada mereka sebagai
orang yang tidak bersih lingkungan, kotor, bejat moral, sundal, pemberontak dan
sederet makian tidak manusiawi lainnya. Para perempuan Gerwani tidak pernah
direhabilitasi nama baiknya. Tuduhan-tuduhan terhadap mereka sebagai bagian
dari pembunuh jenderal dalam ‘ontran-ontran’ G30S di Jakarta tidak pernah
terbukti. Tak ada pengadilan buat mereka. Sejarah hidup mereka dilubangi
sedemikian dalam bahkan hingga di usia senja mereka, di saat kran kebebasan reformasi
membuka lebar-lebar bagi hidup yang manusiawi.
Kesimpulan
Titik
balik kehidupan berkebangsaan di Indonesia didemarkasi dalam kurun 1965-1966
melalui peristiwa masaker terhebat di negeri ini. IPT ’65 yang digelar di
Denhaag Belanda pada medio November lalu pun terasa tak ada gayung bersambut
hingga hari ini dari seluruh lapisan anak bangsa. Seluruh anak bangsa seakan
masih hidup dan sengaja dibuar hidup dalam situasi ‘senyap’ sejarah berdarah.
Perjuangan kemanusiaan yang dibalut feminisme telah dengan ‘gemilang’
ditorehkan sejarahnya oleh Gerwani. Akan tetapi, merobohkan bangunan patriarki
sesudah 32 tahun kokoh berdiri tentu tak mudah. Gesekan-gesekan dari
ketaksepahaman di masyarakat terhadap gerakan perempuan
progresif-radikal-kekirian, masih saja menunjukkan batang hidungnya. Feminisme,
bahkan telah direduksi besar-besaran maknanya pula di sebagian besar masyarakat
sebagai ‘paham kiri baru’ dari barat. Perjuangan terhadap kesetaraan dan
keadilan masih tampak merangkak hingga hari ini, setelah belum munculnya lagi
gerakan perempuan feminis seperti Gerwani.
***
Sumber-sumber bacaan:
Saskia E Wieringa, Penghancuran Gerakan
Perempuan; Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI, Yogyakarta:
Galang Press 2010.
Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara; Konstruksi
Sosial Keperempuanan Orde Baru, Depok: Komunitas Bambu 2011.
Susan Blackburn, Kongres Perempuan Pertama;
Tinjauan Ulang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia/KITLV 2007.
Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis,
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan 2003.
Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Perempuan
Indonesia; Gerakan dan Pencapaian, Depok: Komunitas Bambu 2008.
Friedrich Engels, Asal-Usul Keluarga,
Kepemilikan Pribadi dan Negara, terj. Vidi, Jakarta: Kalyanamitra 2004.
Jurnal Perempuan edisi 30 “Perempuan dalam
Seni Sastra, Jakarta: YJP 2003.
--------------------- edisi 52 “Kami Punya
Sejarah”, Jakarta: YJP 2007.
Jurnal Tashwirul Afkar edisi 15 tahun 2003,
“Peristiwa ’65-’66; Tragedi, Memori, dan rekonsiliasi, Jakarta: LAKPESDAM NU
2003.