Selasa, 23 April 2024

Sumi Berangkat di Senja itu


“Akhirnya kriwikan dadi grojogan, Mas”, ucapku sembari menerima uluran secangkir kopi tanpa gula buatan suamiku. Sore ini kami menggiring ujung hari dengan berbincang di sisi samping tempat kami tinggal, yang kami fungsikan sebagai beranda. Kendati hanya seluas tiga kali lima meter, suamiku cekatan menata nyaris di semua sisi. Didesainnya sebuah kolam ikan mini yang tidak ada ikannya di sudut tembok pembatas. Tampak hanya ada tiga lembar daun dan tangkai bunga teratai yang masih menguncup, mengapung di atas air. Sepoi angin mengembus ke wajahku. Segar.

“Masih soal Sumi?”, responsnya, sejurus kemudian meletakkan pantatnya duduk di sebelahku. Diletakkannya gawai miliknya di atas meja, usai scroll mengecek progres harian pekerjaannya sebagai seorang desain interior.

“Iya. Apalagi kalau bukan itu?”, jawabku dengan nada tanya. Kami diam, jeda sejenak. Suamiku menghela napas berat. Nyaris semua tentang Sumi selalu aku kisahkan kepadanya. Sumi, teman sepermainan semasa kecil dulu di kampung. Nama yang di ingatanku hanya tersemat penderitaan di sebagian besar hidupnya kini.

“Apa yang kamu sampaikan ke Sumi?”, tanya suamiku.

“Ndak ada yang bisa kusampaikan, Mas. Selain harusnya ia berpisah saja dari Topo, suaminya. Wong sekarang malah kian ruwet dan membesar masalahnya. Sumi terlihat bimbang dan kalut. Tapi tidak tahu bagaimana mengatasinya. Ia takut suaminya kembali merundungnya. KDRT”, aku bicara dengan rasa prihatin yang buntu.

Sumi Liem, nama aslinya. Ia warga keturunan. Terlahir dari Bapak Cina, ibu Jawa. Kebetulan ia tinggal selisih tiga rumah dengan rumah keluargaku. Kami kerap bermain dan bersekolah bersama-sama. Kulitku yang cenderung legam dan kulitnya yang putih glowing menjadikan kami seperti dua anak yang datang dari dua dunia asing jauh. Sumi mewarisi hampir seratus persen ciri fisik dari bapaknya. Hanya hidung yang mirip ibunya, sedikit lebar dan besar. Anak-anak sekolah kami kadang merundungnya. Mengejek hidungnya yang mirip bongkok pelepah batang kelapa. Sumi kerap melawan. Tak jarang berakhir dengan perkelahian. Meski tubuhnya setipis papan tripleks, saking kerempengnya, kekuatan fisiknya rupanya bertolak belakang. Ia bisa sekuat baja. Karenanya ia selalu menang kelahi, sekalipun melawan anak laki-laki.

Keluarga Sumi tergolong kalangan the have, demikian kami mengistilahkannya dahulu. Keluarga berpunya. Orangtuanya membuka usaha studio foto dan penyewaan tenda, tarub, meja, kursi, dan alat-alat hajatan. Itungannya terbesar di sebuah kota kecil kabupaten. Tujuh kilometer dari rumah. Sumi anak tunggal. Namun hal itu tidak menjadikannya bak princess, sebagaimana imajinasi tentang Ratu Bidadari yang sering sama-sama kami baca dari majalah Bobo langganannya. Sumi satu-satunya anak yang langganan majalah itu. Orangtuanya lebih dari mampu untuk hanya sekadar membayar langganan majalah anak-anak termahal kala itu. Aku beruntung bisa nebeng, menuntaskan dahagaku membaca. Lebih tepatnya, takjub dengan gambar-gambar bagus di majalah itu.

Segala kebutuhan Sumi tercukupi. Sangat tercukupi dibandingkan dengan keluarga-keluarga lain di kampung kami. Ditambah lagi eyang Sumi yang tinggal satu rumah dengannya, adalah orang terpandang di kampung kami. Tanah sawah dan tegalannya banyak. Eyang Sumi menjabat lurah di desa kami. Tanah bengkok-nya sangat menjanjikan. Lantaran sifat dermawannya, eyang Sumi sangat dihormati dan disegani seluruh warga. Nyaris tidak ada yang kurang dari masa kecilnya. Kami berpisah ketika orangtua Sumi pindah ke ibukota. Membuka bisnis di sana. Sumi diajaknya serta. Sumi memulai sekolah SMP di sana.

Aku kehilangan sahabat riang dan baik hati seperti Sumi sejak saat itu. Meski setahun sekali Sumi pasti mudik saat lebaran, kami tidak pernah leluasa bermain sama-sama karena tradisi lebaran di keluarga terpandang eyang Sumi selalu saja padat, selalu ada acara besar yang membuat Sumi harus terlibat di dalamnya. Kepergianku merantau ke lain provinsi selepas SMA dan jarang pulang, turut andil dalam membuat kami tidak pernah bisa bersua.

“Hati-hati berbicara soal ini dengannya, Dik. Keprihatinan kita pada kondisi Sumi sewajarnya saja. Karena ini sudah urusan pribadi ia dan keluarganya”, ucap suamiku membuyarkan jalan-jalannya ingatanku.

“Ya tapi tetap saja Sumi harus dibantu, Mas. Dia tidak ada siapa-siapa sekarang. Hanya aku yang dianggapnya bisa menjadi support system-nya” sanggahku.

“Benar, aku mengingatkan saja kalau-kalau kamu lupa. Masalah begini kan hampir selalu ada di seluruh keluarga di Indonesia” sahut suamiku cepat.

Masalah keluarga Indonesia”, kami berucap serempak bersamaan. Ya, kami sering mengatakan kalimat itu setiap kali membahas peliknya persoalan keluarga di mana-mana. Tapi aku merasa kelu. Masalah Sumi terasa sangat serius lantaran ia sahabat baikku. Aku turut merasakan kepahitan yang ia alami. Jika dulu raut wajah Sumi putih glowing cantik khas warga keturunan, maka kini wajahnya putih pucat seperti mayat.

Suamiku diam. Biasanya ia akan begitu ketika perbincangan di antara kami kehabisan kalimat. Ia tahu aku reaksioner jika sudah menyangkut sahabatku itu. Ia sengaja membiarkan aku rusuh dengan pikiranku sendiri.

 

MEI 1998

Langit hitam menudungi ibukota kala itu, awal dari penderitaan hidup Sumi. Sekurangnya demikian yang aku dengar tentang Sumi di kemudian hari. Keluarga Sumi porak-poranda. Kedua orangtuanya hangus terbakar saat api menyulut di bangunan rumah sekaligus pertokoan di mana mereka tinggal. Sumi diseret oleh orang-orang yang tak dikenalnya. Sumpah serapah dan caci maki lantaran matanya yang sipit menghujani telinganya. Sumi yang kukenal punya fisik sekuat baja, kala itu lunglai dalam kepungan massa. Tubuhnya koyak oleh hantaman fisik yang tak sanggup aku ceritakan. Ia ditemukan beberapa hari setelahnya di rumah sakit. Konon kawan-kawan aktivis di kampusnya berhasil menolongnya.

Namun sejak saat itu hidup Sumi suwung, lahir batinnya telah koyak. Ia menanggung luka sangat dalam dari sesuatu yang tidak pernah ia mengerti. Gejolak sosial yang hanya ia kenal lewat teori-teori ilmu sosial di bangku kuliahnya, tidak dinyana menghampiri hidupnya dan menghabisi tanpa ampun. Sumi dijemput pulang oleh keluarga eyangnya. Pulang ke kampungku dalam kondisi mental hancur dan depresi berat.

Beberapa waktu kemudian Sumi berbadan dua. Tragedi Mei itu ternyata membuat perutnya bunting. Tanpa tahu sesiapa dan bagaimana. Hanya ingat bahwa ada banyak laki-laki laknat dan durjana. Kengerian yang nyaris membuatnya gila. Keluarga eyang Sumi lalu menikahkannya dengan laki-laki yang dipilih dan dipaksa. Ada berkat atas imbalan materi sebagai syarat. Tentu saja si laki-laki yang kebetulan anak dari asisten rumah tangga keluarga eyang Sumi itu mau menikahi Sumi. Ia kaya mendadak sejak saat itu. Entah apa yang sedang coba diselamatkan oleh keluarga eyang Sumi terhadapnya. Nasib Sumi atau rasa malu dan kehormatan keluarga besar kepala desa.

Aku ingat, waktu itu aku berbicara di telepon dengan ibuku. Mengalirlah kisah itu dari mulut ibuku. Sumi dibawa pergi suaminya ke kota yang sama dengan kota di mana aku merantau bekerja. Berbekal harta dari eyang Sumi, sepasang pengantin paksa itu menanam kehidupan barunya. Tidak begitu menemui kesulitan selain merawat Sumi dalam kondisi depresi dan hamil. Mertua Sumi turut serta khusus untuknya. Suami Sumi tidak bekerja. Dukungan keuangan yang banyak itu membuatnya merasa aman. Termasuk mengamankan dirinya dari tanggung jawab atas Sumi yang dipasrahkan kepadanya. Suami Sumi menganggur. Lalu mata rantai kesengsaraaan Sumi itu benar-benar tidak bisa terputus.

Aku baru mengetahui saat aku pulang kampung, saat pernikahanku dihelat. Eyang Sumi meninggal sepekan sebelum hari pernikahanku. Rupanya  masalah keluarga Indonesia” itu berdengung riuh di antara para perewangan. Tak hanya didominasi oleh ibu-ibu di dapur, sekelompok kecil bapak-bapak yang menjaga patehan pun tak sepi dari bergosip. Semua mengarah ke peristiwa yang terjadi di keluarga eyang Sumi.

Keluarga eyang Sumi diguncang prahara karena persoalan warisan sepeninggal eyang kepala desa. Kerabat dekat kian merapat dan kerabat jauh kian mendekat. Semua sulit bersepakat. Ujungnya saling berebut. Tentu saja Sumi tidak kebagian. Orang-orang tidak peduli. Hanya mengingat bahwa Sumi membawa penyakit kejiwaan. Namun waktu itu justru aku lihat Sumi sudah tampak sehat. Dia datang menghadiri pernikahanku. Kami bahkan sempat berbincang cukup lama, hingga membuat janji untuk bertemu. Aku dan suamiku kebetulan tinggal tidak jauh dari rumahnya, di kota yang sama.

“Aku sekarang bekerja di pabrik tekstil, Wigid. Libur hanya hari Minggu dan hari besar”, Sumi membuka percakapan denganku saat aku bertandang ke rumahnya. Sebulan sesudah aku menikah. Sejujurnya aku tercengang melihat pemandangan di depanku. Sumi tinggal di sebuah rumah petak. Katanya mengontrak. Bukan rumah milik sendiri.

“Suamimu?”, tanyaku bermaksud ingin tahu pekerjaan suaminya.

“Mas Topo tidak bekerja. Kalau kutanya pasti langsung marah dan memakiku”, wajahnya berubah suram. “Dia membenciku. Katanya akulah yang menyebabkannya sengsara karena harus menikahiku”

“Kenapa bisa begitu? Bukannya Topo sudah mendapatkan harta karena menikahimu?”, Aku menyela, tak paham. Aku mengenal Topo, suaminya. Dia dulu kakak kelas, dua  tingkat di atas kami semasa di SD. Dia juga yang dulu pernah kena bogem mentah Sumi karena mengejek hidungnya yang seperti bongkok pelepah kelapa.

“Ya ‘kan karena dulu ada eyang. Semua dibiayai sama eyang. Sekarang eyang sudah ndak ada. Kami ndak punya apa-apa lagi. Yang ada selama ini hanya buat kesenangannya bermain judi di rumah Pak Joko. Seharian juga dia betah di sana”.

“Ya tapi kalau membencimu bagaimana bisa kamu sampai punya anak lagi sama dia?” Aku nyerocos bertanya wagu, teringat dia punya dua anak dari suaminya itu. Di depanku ini bahkan terlihat perut Sumi yang sedang membesar, hamil lagi. Sumi bersungut kesal ke arahku. Kutepok jidatku sendiri. Bodoh. Pertanyaanku dungu.

“Awalnya dia baik padaku, Wigid. Dia dulu bilang suka padaku. Jadi aku juga mulai suka padanya. Aku lupa ber-KB. Makanya aku bunting”, jawab Sumi. Keningku datar. Kugerakkan kedua bibirku ke dalam. Miris. Topo pasti tidak peduli soal alat kontrasepsi. Tapi bagaimana dengan biaya hidup mereka?

“Kata Mas Topo aku sudah jatuh miskin. Tidak ada yang bisa diharapkan dari keluargaku. Jadi aku harus bekerja sendiri untuk membiayai hidup. Aku tidak bisa menyuruhnya bekerja. Dia selalu mengungkit-ungkit masa lalu itu. Sakit banget rasanya, Gid”, isak Sumi terdengar sepanjang ia bercerita. Sumi jadi pencari nafkah tunggal dengan bekerja di pabrik seharian. Ketiga anaknya ditinggal di kontrakan bersama suaminya. Entah, aku tidak sanggup membayangkan mengingat bagaimana perangai Topo. Apa mungkin dia bisa menjaga anak-anaknya ketika Sumi tidak ada karena pergi bekerja?

Begitulah. Sumi kerap menceritakan dirinya kepadaku. Semua situasi sulitnya. Aku mendengarnya, namun aku merasa tidak berdaya karena tidak bisa membantunya. Bulan-bulan berikutnya aku mulai jarang bercakap dengannya. Aku mulai disibukkan dengan kehadiran bayi mungil pertamaku.

Aku bersyukur suamiku sigap dan cekatan. Aku hanya perlu mengurus bayi kami saja. Seluruh pekerjaan rumah dia yang selesaikan, termasuk memasak dan mengurus pakaian. Pekerjaanku sudah lama aku tinggalkan sejak menikah. Praktis aku hanya di rumah. Sambil mencoba usaha kecil-kecilan dengan berjualan online.

Sesekali Sumi masih berkabar padaku lewat pesan singkat. Biasanya hanya mengabarkan jika kondisi anak-anaknya sehat. Ia tidak lagi bercerita tentang dirinya dan segala macam kesulitannya. Aku juga tidak menanyakan. Aku hanya menduga barangkali hidupnya telah berubah membaik. Sampai kemudian saat anakku sudah masuk usia sekolah pertamanya di TK, aku terkejut mendapati hal lain. Ketika itu aku tengah mengantar-jemput anakku. Rupanya Kepala SekolahTK anakku selama ini tinggal di satu gang yang sama dengan Sumi. Dari Bu Kepala Sekolah aku jadi tahu bagaimana kondisi Sumi.

Tidak ada yang berubah membaik. Aku tidak menyangka sekian lama itu Sumi bertahan. Namun aku jadi tidak tahan. Kutemui Sumi di rumahnya. Dia tampak semakin kurus dan tirus. Rumah kontrakannya masih sama. Tidak terurus rapi dan kumuh. Aku menghela napas.

“Kamu nggak cerita ke aku, Sum?” suaraku serak mendapati kondisi Sumi sore itu. Dia dengan lemah sedang sibuk di dapur membuatkan bubur untuk anaknya. Anak pertamanya terbaring sakit. Kata Sumi sudah seminggu tidak sekolah. Dua anaknya yang lain sedang bermain di sekitar rumah. Anak terakhir Sumi mengalami down syndrome dan meninggal tak lama setelah dilahirkan. Aku menangis dalam hati. Rumah Sumi terasa sunyi. Terasa sepi.

“Suamimu di mana?”, tanyaku.

“Mas Topo pulang ke kampung. Sudah  dua bulan ini. Katanya disuruh bantu saudaranya yang mandor proyek, ada perbaikan jalan di kecamatan sebelah. Tapi kata ibu mertuaku Mas Topo ndak pernah kelihatan ada di kampung.”

“La? Berarti suamimu menghilang? Terus anak-anakmu sama siapa kalau kamu tinggal ke pabrik?”

“Aku sudah tidak bekerja di pabrik lagi. Aku sekarang ikut kerja di katering Bu Suprih, di mulut gang depan yang kamu lewati tadi kalau ke sini. Sebelahan sama rumah Bu Kepala Sekolah TK anakmu. Jadi anakku bisa tetap di rumah sambil kuawasi. Masih tertangani kok”, wajah suram Sumi tidak bisa disembunyikan. Begitu pula warnanya yang putih pucat.

“Kamu tidak bercerai saja, Sum? Topo itu hanya menambahi berat beban hidupmu. Bahkan bisa membuatmu sulit lagi kalau sewaktu-waktu dia kembali datang,” aku berucap sambil geleng-geleng kepala. Ikut kesal dengan ulah suami Sumi. Di saat itulah Sumi mengatakan kalau ia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa. Ia merasa hidup sendiri tanpa suami dan keluarga.

“Aku pernah menyampaikan itu ke Mas Topo. Karena aku sudah tidak kuat. Kalau saja waktu itu tidak ditolong oleh tetangga, mungkin aku sudah mati karena dihajar sama Mas Topo. Anak-anak menjerit melihatku berdarah.”

“Sum, memangnya kenapa sampai Topo kasar begitu?” Aku semakin emosional.

“Mas Topo marah. Lalu mengungkit-ungkit lagi masa lalu. Dia sepertinya dendam karena aku tidak mendapat warisan dari eyangku. Dia pernah bilang mau merebutnya dari Pakde, Bude, dan kerabatku. Kata ibu mertuaku, mereka sempat berantem hebat di kampung.” Sorot mata Sumi redup.

“Aku minta, Sum. Tolong kamu cerita ke aku kalau ada apa-apa, siapa tahu aku bisa bantu,” desakku. “Badan tinggal tulang sama kulit begini, bisa-bisanya kamu bertahan dan diam saja”.

“Wigid, rasa-rasanya aku sudah tidak sanggup berpikir apa-apa lagi. Bisaku ya hanya kerja dan  kerja, juga ngurus anak-anak. Aku bahkan lupa kalau ada kamu”, bibir Sumi bergetar ketika mengucap kalimat terakhir. Aku memeluknya. Sumi terisak tanpa suara.

Sore itu aku pulang dengan hati yang kuyu. Aku terus saja bercerita di depan suamiku. Tentang Sumi sahabatku. Tentang suaminya yang tidak peduli. Meninggalkan Sumi dan anak-anaknya dalam kondisi lemah. Juga diam-diam aku mengutuki diriku sendiri. Mengapa bisa ‘kecolongan’ tidak tahu dengan nasib Sumi, dan tanpa aku bisa membantunya.

Sumi Liem adalah sahabat baikku. Dia tidak pernah marah. Cenderung pendiam tapi lembut. Aku tidak pernah bertanya satu kali pun atau mengungkit cerita tentang Mei 1998 yang membalik takdir hidupnya. Dari anak tunggal keluarga kaya dan berpendidikan tinggi, berbalik nol derajat menjadi sangat lemah dan miskin seperti sekarang. Ia harus banting tulang sendirian menghidupi diri dan anak-anaknya tanpa bantuan suami. Tanpa mengeluh, setidaknya di hadapanku.

Suamiku paham aku mudah sedih. Mudah terbawa perasaan. Direngkuhnya aku. Ditenangkan. “Mas, katanya sesama perempuan harus support perempuan. Tapi aku bingung, aku merasa tidak mampu membantu Sumi. Kupikir Sumi baik-baik saja hanya karena dia tidak pernah bercerita lagi padaku tentang dirinya. Kupikir selama ini Sumi hanya fokus bekerja di pabrik. Arrghh…ternyata..”, suaraku isakku parau, terbenam di dekapannya. Entah mengapa aku merasa sangat pilu. Suamiku membaca pesan singkat di hapeku yang kusodorkan padanya. Pesan singkat dari Bu Kepala Sekolah TK anakku. Mengabarkan bahwa Sumi baru saja ditemukan tewas di rumah kontrakan bersama anak-anaknya. Ada botol dan cairan mencurigakan di dekat mayat mereka.

Anakku tiba-tiba masuk ke kamar kami, kaget melihat kami berpelukan tidak biasa. Lebih-lebih melihatku berlinang air mata.

“Ibu kenapa menangis?” teriaknya.

 

*****

 

kriwikan dadi grojogan (istilah dalam bahasa Jawa)= sesuatu yang semula kecil menjadi besar.

Perewangan = sebutan untuk orang-orang yang membantu suatu hajatan di kampung

Patehan = sebutan untuk divisi konsumsi makan dan minum dalam suatu hajatan

 

 

 

*CERPEN ini telah dipublikasikan di Jurnal Perempuan Edisi 116 "Ekonomi dan Perawatan" Desember 2023