Sabtu, 02 November 2019

Pergolakan Politik Gerwani; Pelopor Gerakan Perempuan Feminis-Sosialis di Indonesia



Oleh: Akhiriyati Sundari



Pendahuluan
                Setengah abad genosida terbesar sepanjang abad 20 baru saja menandai titik waktunya di 30 September 2015 silam. Sementara orang menyebutnya sebagai pembantaian manusia besar-besaran kedua usai pemusnahan masal Yahudi Jerman oleh Serdadu SS Nazi semasa rezim Hitler. Terdapat satu jiwa manusia Indonesia dilenyapkan nyawanya, bahkan Letkol Sarwo Edi Wibowo menyebut tiga juta, dihilangkan paksa, diciduk dan dipenjarakan dengan siksaan fisik yang sangat sadis yang sulit diterima nalar manusia sehat, dipisahkan kehidupannya dari keluarga, dari orang-orang yang dicintainya. Tanpa pengadilan. Mereka adalah orang-orang yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia [PKI], simpatisan, orang-orang yang dituduh sebagai anggota, orang-orang yang pernah bersinggungan dengan partai komunis paling besar di Indonesia itu, orang-orang yang aktif bergabung dalam organisasi-organisasi underbouw PKI, tak luput adalah para perempuan aktivis Gerakan Wanita Indonesia [Gerwani]. Penumpasan satu lapisan sosial dalam kurun waktu 65-66 telah menyisakan luka tragedi yang tak terperi. Tuduhan demi tuduhan tak berdasar disematkan secara ‘abadi’ kepada Gerwani baik sebagai kelembagaan maupun kepada para perempuan yang aktif di dalamnya. Panggung sejarah tak luput diwarnai dengan goresan hitam terhadap organisasi paling radikal kal itu. Rezim Soeharto menjadi subjek paling sahih [untuk] dituduh [balik] sebagai penguasa yang dibangun di atas jutaan nyawa manusia tak berdosa. Rezim Soeharto pula yang patut dituduh sebagai ‘rezim gender’ terhadap pengebirian dan pemusnahan sejarah manis gerakan perempuan yang pernah Berjaya itu, berikut pembungkaman terhadap aktivitas perempuan sesudah 1965 hingga 32 tahun lamanya.

Gerwani; Sejarah Progresif Gerakan Perempuan Indonesia
                Momentum 1928 ketika dimulai ‘kesadaran nasional’ dengan diprakarsai terbentuknya organisasi modern Budi Utomo diikuti oleh para perempuan yang menggelar Kongres Perempuan pertama, tak ayal membuntutkan lurus garis perjuangan kesadaran masyarakat Indonesia pada entitas yang lebih luas. Gerwis [Gerakan Wanita Sedar] yang berdiri pada tahun 1950 untuk kemudian bermetamorfosa menjadi Gerwani pada tahun 1954, tercatat sebagai gerakan perempuan paling progresif-revolusioner penting di Indonesia. Kesadaran kritis dengan ditopang garis perjuangan termaju saat itu, yakni feminisme, sosialisme, dan nasionalisme kala itu berhasil membawa Gerwani tampil sangat aktif dan menelurkan perubahan peradaban signifikan bagi bangunan kebangsaan dan ke-Indonesiaan. Cakupan utamanya adalah perjuangan perempuan yang dibingkai feminisme. Sebagaimana produk yang dihasilkan dalam catatan-catatan perjuangan Kongres Perempuan sebelumnya, persoalan ‘ketertinggalan’ perempuan menjadi titik didih utama pula dalam perjuangan Gerwani. Terlebih pada kurun waktu antara kongresn pertama dan kedua, feminisme begitu kuat memandu langkah-langkah perjuangan Gerwani.
                Tuntutan untuk mengubah Undang-Undang Perkawinan dari yang selama itu dirasakan diskriminatif menjadi demokratis tidak pernah ditinggalkan. Selain itu Gerwani juga berada di garda depan dalam merumuskan garis perjuangan menuntut upah yang adil bagi buruh perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik, menuntut penyediaan lapangan pendidikan yang baik bagi perempuan, menuntut pemberian fasilitas penitipan anak, perhatian serius terhadap kasus-kasus perkosaan, trafficking, serta merumuskan pembagian kerja yang adil antara suami-istri di dalam rumah tangga. Segmentasi yang demikian progress di kalangan Gerwani kala itu tidak lantas begitu saja diterima dengan mudah bahkan oleh sesama aktivis perempuan dari organ lain. Catatan Saskia E Wieringa mengemukakan bagaimana Gerwani begitu dijauhi oleh ormas keagamaan kala itu seperti Aisyiah dari Muhammadiyah, Muslimat dari Masyumi, serta tak luput kemudian Muslimat NU dari Nahdhatul Ulama. Persinggungannya jelas pada soal poligami. Hal tersebut merupakan wilayah ‘otoritas keagamaan’ yang masih menjadi keyakinan dalam Islam sehingga tak bisa diganggu gugat. Sementara Gerwani yang sejak awal tidak melandaskan organisasinya pada agama tampak tidak merisaukan hal itu.

Gerwani dan Analisis Feminis
                Terdapat tiga aliran [teori] besar dalam feminisme [Gadis Arivia, 2003]; liberal, radikal, marxis-sosialis. Teori liberal lebih menekankan pada pendayagunaan akal atau rasio. Bagaimana perjuangan perempuan didudukkan pada porsinya untuk mengenali terlebih dahulu kapasitas yang ‘given’ dari Tuhan berupa perangkat otaknya. Untuk itu, perempuan musti menuntut adanya ‘iklim berpikir’ yang luas terdapat dalam pendidikan. Perempuan berhak mendapatkan pendidikan melalui sekolah-sekolah dengan tujuan mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru bagi memberdayakan kapasitas berpikirnya.
                Feminisme radikal mencurahkan fokusnya pada ketertindasan perempuan. Segregasi antara ranah privat dan publik yang masuk dalam ‘pembagian kerja secara seksual’ adalah inti atau akar dari ketertindasan itu. Penindasan menurut paham ini berawal dari ranah privat. Perempuan didominasi dan dikendalikan secara seksual dalam ranah privat/domestik. Maka munculah apa yang kemudian dikenal sebagai slogan the personal is political [yang pribadi adalah politis]. Penindasan yang terjadi di ranah domestik adalah berarti penindasan di ranah publik [pula].
                Sementara feminisme marxis-sosialis. Feminis sosialis lebih menekankan penindasan gender di samping penindasan kelas sebagai salah satu sebab dari penindasan terhadap perempuan. Sementara feminisme marxis beranggapan bahwa persoalan utamanya hanya terletak pada masalah kelas yang menyebabkan perbedaan fungsi dan status perempuan. Hal ini berbuntut pada pandangan bahwa bagi feminisme marxis, perempuan borjuis [kelas menengah ke atas] tidak akan mengalami penindasan yang sama dengan perempuan dari kelas proletar [kelas buruh].
                Secara idiologis, Gerwani lebih dekat pada PKI dengan marxis-sosialisnya. Secara praksis, semuanya menjadi kabur dan bahkan berbaur satu sama lain. Dimensi awal pergerakan Gerwani adalah menarik kasus Undang-Undang Perkawinan dalam setiap tuntutannya. Persoalan perkawinan pada aras tertentu adalah persoalan privat. Persoalan yang bersumber dari lingkup rumah tangga. Gerwani memandang ada diskriminasi di sini. Laki-laki boleh melakukan poligami. Laki-laki tanpa tindakan bertanggung jawab sedikitpun bisa berlenggang meninggalkan keluarganya, istrinya, demi kepentingannya sendiri. Terdapat penindasan perempuan di sini yakni si istri. Dalam hubungan rumah tangga, istri ‘ditundukkan’ secara seksual oleh suami. Aras perjuangan Gerwani bertolak dari hal ini. Tidak saja istri yang akan mengalami penderitaan dari perilaku suami di ranah privat itu, namun anak-anak juga menjadi pihak tak kalah menderita. Reformasi Undang-Undang Perkawinan menjadi penting untuk diperjuangkan bagi Gerwani untuk melindungi perempuan. Yang radikal dan sosialis terwakili di sini. Bahwa ada perbedaan gender yang tidak setara dalam hubungan perkawinan.
                Tuntutan Gerwani terhadap hak-hak buruh perempuan agar mendapat jatah upah setara, dalam wilayah ini mengadopsi teori feminis marxis-sosialis. Ada warna kelas sosial yang musti dipatahkan musabab penindasannya. Buruh perempuan digaji amat rendah dan tidak setara dengan laki-laki sementara beban kerja sama. Tak terkecuali buruh tani perempuan di desa-desa. Bergabung dengan Barisan Tani Indonesia [BTI], Gerwani menuntut reforma agraria agar dilaksanakan. Land Reform, agar dituntaskan meski kemudian dilakukan dengan ‘membuat kacau’ situasi sosial yakni adanya ‘aksi sepihak’ melawan Tuan Tanah sebagai salah satu dari ‘tujuh setan desa’ yang menjadi musuh perjuangan mereka.
                Pergerakan yang agresif Gerwani dengan kedekatannya dengan kalangan buruh kala itu, sudah memberikan simpulan tersendiri bahwa garis idiologis Gerwani mengarah pada komunis yang digunakan PKI. Roamntisme kisah Clara Zetkin, pemimpin partai sosialis permpuan pertama di dunia yang berasal dari Jerman telah menginspirasi anggota Gerwani untuk melakukan hal yang sama, menggalakkan kerja-kerja mengorganisir buruh secara massif. Bahkan romantisme itu juga ditunjukkan dengan turut sertanya Gerwani merayakan Hari Perempuan Internasional yang digagas oleh Clara Zetkin dan digaungkan ke seluruh dunia. Setali tiga uang dengan idiologi PKI yang dekat dengan Gerwani adalah keikutsertaannya dalam WIDF [Women International Democratic Federation] dan member ‘warna’ dalam organisasi tersebut. Ketidaksetujuannya dengan butir-butir hasil kesepakatan dalam pertemuan internasional misalnya, ditunjukkan Gerwani dengan keluar dari organisasi internasional itu, lantaran Gerwani menganggap tak akan ada perdamaian dalam bingkai imperialisme. Kesadaran kolonial telah lebih dulu dimiliki Gerwani. Ini menjadi penting untuk sekali lagi menyimpulkan bahwa Gerwani sungguh-sungguh berkiprah aktif pula dalam masalah politik nasional kala itu.
                Satu hal yang dianggap ‘ambigu’ adalah sikap ‘diam’ Gerwani terhadap perkawinan kedua Presiden Sukarno dengan Hartini. Satu sisi, Gerwani memperjuangkan secara radikal reformasi perkawinan, satu sisi Gerwani diam terhadap fakta bahwa terdapat kontraproduksi dari tuntutan perjuangan itu dan justru hal itu dilakukan oleh “Sang Bung Besar”. Dasar apologetiknya adalah persoalan imperialisme lebih penting dari sekadar persoalan ‘privat’ macam perkawinan. Agaknya, ini adalah wujud dari tindakan ‘politis’ Gerwani yang tengah mengubah haluan dari gerakan kader menuju pada gerakan massa. Artinya, terjadi ‘pemilahan wilayah’ secara tak disadari bahwa Gerwani mengakui ranah privat dan publik sebagai sesuatu yang ‘oposisi binner’.
                Sebuah sudut pandang lain menangkap ‘kemandirian’ Gerwani dalam berorganisasi, yakni menegaskan diri tidak terlibat dengan partai politik mana pun. Tidak menjadi sayap perempuan dari partai politik mana pun. Sebuah kenyataan yang bertolak belakang dengan narasi sejarah Orde Baru yang menempatkan Gerwani sebagai organisasi komunis underbouw PKI. Garis struktural Gerwani adalah independen. Sementara, PKI sebenarnya juga memiliki sayap perempuan tersendiri, namanya Wakom [Wanita Komunis] yang dipimpin oleh perempuan anggota PKI garis keras; Suharti, masuk dalam struktur PKI sebagai partai politik. Ketegasan kemandirian Gerwani dalam organisasi ini menandakan sebuah kenyataan radikal.
                Segaris dengan idiologi komunis pada saat itu, Gerwani membangun ‘hubungan dekat’ dengan Sukarno dengan slogan Nasakom-nya [Nasionalis, Agama, Komunis]. Hal yang kerap didengung-dengungkan adalah perjuangan progresif-revolusioner. Bahwa ‘revolusi belum selesai’. Karenanya, ada empat macam golongan kaum kontra-revolusioner yang menjadi musuk Gerwani, yakni kaum imperalis, kapitalis komprador, kapitalis birokrat, dan tuan tanah jahat. Perjuangan melawan imperialism ditunjukkan Gerwani dengan turut aktif mengirim anggota untuk mengikuti pelatihahan fisik menghadapi imperialis Belanda atas Irian Barat. Juga menghadapi ganyang Malaysia yang dituduh Sukarno sebagai negara imperialis boneka Belanda dan sekutunya.

Sesudah Oktober 1965
                Percobaan kup [pengambilalihan kekuasaan] yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mendaku dirinya para perwira Angkatan Darat dengan menculik dan membunuh enam jenderal AD dan satu perwira, merupakan titik awal dari rangkaian sejarah berdarah amat panjang. Wajah Indonesia berubah total mulai saat itu. Terjadi pembasmian besar-besaran terhadap PKI beserta ‘antek-anteknya’ yang dikomandoi oleh Soeharto. Tak terkecuali para perempuan Gerwani. Seluruh organisasi yang berbau ‘kiri’ dinyatakan haram hidup di Indonesia. Hantu komunias diciptakan bergentayangan dalam memori kolektif seluruh bangsa. Museum, buku-buku sejarah, film, dan propaganda media massa yang “satu pintu” sukses besar menghitam-putihkan kehidupan kebangsaan selama 32 tahun.
                Jutaan rakyat dibantai oleh saudara sebangsa sendiri. Militer di bawah Soeharto menerapkan politik adu domba di tingkat grass-root, horizontal, yang menghadap-hadapkan sesame anak bangsa sambil mengibas-ngibaskan tangannya sebagai tanda ‘cuci tangan’. Para perempuan mengalami perlakuan sadis dalam tahanan, disiksa, diperkosa, hingga dibunuh. Sebuah tragedi berdarah terbesar negeri ini yang sukses mempersembahkan diri sebagai tumbal Orde Baru.
                Para penyintas itu, kini sebagian besar telah kembali ke tengah-tengah masyarakat. Namun, stigma, bahkan setelah 50 tahun!, masih disematkan kepada mereka sebagai orang yang tidak bersih lingkungan, kotor, bejat moral, sundal, pemberontak dan sederet makian tidak manusiawi lainnya. Para perempuan Gerwani tidak pernah direhabilitasi nama baiknya. Tuduhan-tuduhan terhadap mereka sebagai bagian dari pembunuh jenderal dalam ‘ontran-ontran’ G30S di Jakarta tidak pernah terbukti. Tak ada pengadilan buat mereka. Sejarah hidup mereka dilubangi sedemikian dalam bahkan hingga di usia senja mereka, di saat kran kebebasan reformasi membuka lebar-lebar bagi hidup yang manusiawi.


Kesimpulan
                Titik balik kehidupan berkebangsaan di Indonesia didemarkasi dalam kurun 1965-1966 melalui peristiwa masaker terhebat di negeri ini. IPT ’65 yang digelar di Denhaag Belanda pada medio November lalu pun terasa tak ada gayung bersambut hingga hari ini dari seluruh lapisan anak bangsa. Seluruh anak bangsa seakan masih hidup dan sengaja dibuar hidup dalam situasi ‘senyap’ sejarah berdarah. Perjuangan kemanusiaan yang dibalut feminisme telah dengan ‘gemilang’ ditorehkan sejarahnya oleh Gerwani. Akan tetapi, merobohkan bangunan patriarki sesudah 32 tahun kokoh berdiri tentu tak mudah. Gesekan-gesekan dari ketaksepahaman di masyarakat terhadap gerakan perempuan progresif-radikal-kekirian, masih saja menunjukkan batang hidungnya. Feminisme, bahkan telah direduksi besar-besaran maknanya pula di sebagian besar masyarakat sebagai ‘paham kiri baru’ dari barat. Perjuangan terhadap kesetaraan dan keadilan masih tampak merangkak hingga hari ini, setelah belum munculnya lagi gerakan perempuan feminis seperti Gerwani.

***

Sumber-sumber bacaan:

Saskia E Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan; Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI, Yogyakarta: Galang Press 2010.

Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara; Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru, Depok: Komunitas Bambu 2011.

Susan Blackburn, Kongres Perempuan Pertama; Tinjauan Ulang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia/KITLV 2007.

Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan 2003.

Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia; Gerakan dan Pencapaian, Depok: Komunitas Bambu 2008.

Friedrich Engels, Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara, terj. Vidi, Jakarta: Kalyanamitra 2004.

Jurnal Perempuan edisi 30 “Perempuan dalam Seni Sastra, Jakarta: YJP 2003.

--------------------- edisi 52 “Kami Punya Sejarah”, Jakarta: YJP 2007.

Jurnal Tashwirul Afkar edisi 15 tahun 2003, “Peristiwa ’65-’66; Tragedi, Memori, dan rekonsiliasi, Jakarta: LAKPESDAM NU 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar