Jumat, 08 Juni 2012

Kekerasan itu Bernama Teror

Pada suatu sore...

Kami duduk berhadap-hadapan. Satu meter saja jarak antara kami. Perempuan bermata belok dan berkerudung hijau lumut dengan dua ujung kain ditautkan di belakang kepala itu duduk di atas sebuah kursi kayu berpelitur coklat. Pelan ia berkisah. Aku menyimaknya dari bibir jendela yang kududuki. Aku cukup menikmati kesegaran angin sore yang merasuk di ruang 8 x 3 meter ini. Di langit-langit atas tampak susunan kayu warna coklat, rapi, dan kokoh. Ya, di atas ruangan ini adalah lantai dua. Tak sempat aku memeriksa naik ke atas, hanya saja sebelum kumasuki ruangan ini aku sempat melongoknya. Seperti sebuah rumah panggung yang baru dibangun. Dibawah persis rumah panggung itu, bersebelahan dengan ruangan tempat kami berada, perpustakaan tampak tertata rapi namun sepi. Kaca bagian depan masih sisakan bongkah pecahan dan hanya ditempeli lakban bening melintang untuk menandakan bahwa ada pecahan kaca di situ. Cukup lebar.

Jari telunjuknya mengarah ke monitor flat di atas meja samping kami. "Ini baru saja kupakai. Punyaku yang lama jadi korban, remuk dirusak, untung saja CPU-ku tidak kena, tuh aku taruh di bawah". Hmm, ciri khas Indonesia banget. Saat terkena musibah apa pun, masih ada kalimat "untung saja", sebuah pertanda syukur masih ada yang "tidak kena musibah". Seluruh kisah yang mengalir dari mulutnya sudah kudengar sebelumnya. Bahkan mungkin seluruh negeri ini juga pernah mendengar dari pemberitaan media. Namun terasa berbeda tatkala berita itu tertutur langsung dari korban yang mengalami.

Kronologis penyerangan itu tak begitu menjadi perhatianku. Lantaran aku sudah tahu. Aku lebih tertarik menyimak ungkapan perasaannya saat itu dan kini. Tak hanya perempuan di depanku ini, hampir semua kawan-kawannya merasakan hal yang sama. Terteror. Jika mendengar suara motor meraung-raung, atau bahkan suara-suara massif dari kendaraan bermotor, rasa di dada langsung "mak tratap", tergeragap. Hingga saat pulang ke kontrakannya, dia merasa teror itu masih membuntutinya. Kamar pribadinya yang dekat dengan jalan raya membuatnya tak bisa tidur, lantaran jika mendengar deru kendaraan bermotor dirinya mudah tergeragap. Hal itu berlangsung hingga dua pekan paska kejadian terkutuk itu. Ya, terkutuk. Apakah namanya jika sebuah diskusi biasa yang berlangsung damai dan biasa-biasa saja tiba-tiba dibubarkan paksa, gedung, kaca-kaca, dan aset-aset di dalam rumah dirusak membabi-buta tanpa ada perlawanan, jika bukan perbuatan terkutuk?

Sampai di sini aku terhenyak. Apa yang dapat diperbincangkan lagi antara kami? Aku larut dalam nuansa emosinya yang stabil dan tertata baik itu. Selarit pun tak kurasakan aroma kebencian terhadap para penyerang yang terkutuk itu. Kami terdiam agak lama sebelum akhirnya kami musti beranjak meninggalkan ruangan itu.

Sepanjang perjalanan pulang, aku bertanya-tanya; terbuat dari apa hati orang-orang itu? Orang-orang yang sempit pikiran dan hati, lalu dengan kebencian dan kebengisannya menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak terhadap yang berbeda dari yang mereka yakini? Melakukan pengrusakan dengan meneriakkan nama Tuhan? Bagaimana mungkin yang mengaku beriman dan mendirikan sholat berjamaah di masjid setiap harinya, bisa memiliki pemahaman dan ekspresi keyakinan ketuhanan yang sedemikian picik?

Tiba di kamar, kubuka-buka jejaring sosial massif dan kutemukan beberapa dari orang-orang macam itu tengah berkicau--meracau. Menebar kebencian tanpa bisa dimaklumi lagi. Muncul lagi pertanyaanku, pada saat aku sembahyang Maghrib; aku juga sholat sama seperti mereka. Aku yakin cara sembahyangku, cara menghadap Tuhanku sama dengan mereka. Namun, apa ya yang kira-kira terbenak dalam diri mereka ketika sembahyang? Bacaan sholatkah? Urut-urutan gerakan sholatkah? Atau suntuk dengan bagaimana Tuhan dengan asyik diajak bercakap-cakap secara imajiner dalam batin? Hingga terbit kepasrahan mendalam akan dhaifnya manusia dan bisa merasakan sakit jika menyakiti manusia lain?

Allahu a'lam bis showwab..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar