Siang lengang menghampar
di beranda rumah Mak Minji. Tampak sesekali ia mondar-mandir keluar-masuk
rumah. Sedikit resah ia menanti anak dan menantu laki-lakinya datang. Janda
bertubuh subur dan berwajah keras mengekal itu kini tinggal sendirian. Putri
semata wayangnya belum genap sebulan dipinang orang. Di tanah seberang, si menantu
baru itu membawanya menanam hidup. Sebenarnya tidak sendirian betul perempuan
itu tinggal. Dua-tiga kerabatnya hidup bertetangga dengannya. Di sepetak tanah
warisan moyang mereka. Dirimbuni pepohon kelapa yang berjajar di kaki bukit. Di
pinggir sebatang sungai yang membelah dua desa.
Sehari-hari pekerjaan
perempuan itu membuat penganan kecil dan es lilin yang dititipkan di
warung-warung. Jika pekerjaan usai, ia akan tidur sepuasnya. Barangkali,
keseharian bergelut memasak dan mencicipi semua makanan dan tidur yang puas
itulah yang membuat tubuhnya gembul. Di saat lain, ia akan menyigi pohon
kelapanya yang berbuah lebat. Di sekujur tanah yang mengelilingi rumahnya,
pohon kelapa dan pohon pisang Kepok merimbuni rumah desa peninggalan orang
tuanya. Mak Minji akan memanggil penjual pisang atau penjual kelapa untuk
membeli hasil kebunnya itu. Ia tak perlu bersusah-susah menjual sendiri ke
pasar meski harganya jatuh bersebab ulah para tengkulak.
Tapi tidak dengan siang lengang
ini. Mak Minji tampak sibuk. Bukan saja ia tidak tidur siang sepuasnya, tak
pula ia memanggil tengkulak langganannya untuk menawar buah kelapa dan pisang
yang telah masak. Mak Minji tampak sesibuk orang kebanyakan dalam persiapan
helat. Ya, Mak Minji akan menikah. Tepatnya menikah lagi.
Bukan Mak Minji tak
hendak berkabar kepada orang-orang. Tetapi berita pinangan yang diterimanya
dari lelaki yang seorang pensiunan tentara itu telah lama menyeruak sampai ke
pelosok. Mengharu-biru orang ramai di tegalan, sawah, hutan jati, pusat desa,
dan tak luput para pejabat desa yang diam-diam menaruh perhatian padanya. Meski kata orang-orang
badan Mak Minji kelewat subur, tapi tak mencuri kemudaan dan kecantikannya.
Dalam usia yang cukup muda, 40 tahun dan sedang ayu-ayunya, perempuan itu telah
menikah selama enam kali. Angka yang fantastis untuk ukuran orang-orang desanya. Lebih fantastis
lagi, keenam suami Mak Minji itu berpisah dengannya bukan karena perceraian,
melainkan karena meninggal dunia. Macam-macam penyebab kematian itu.
Suami pertama yang
seorang petugas pemadam kebakaran, tewas saat bertugas. Suami kedua sekaligus
satu-satunya suami yang sempat memberinya seorang anak, meninggal sesaat
setelah terjatuh dari pohon kelapa, hendak mendaras air untuk dibuat gula
merah. Suami ketiga mengalami nasib sama, jatuh dari pohon kelapa tapi tidak
mati seketika, Mak Minji musti mengeluarkan biaya banyak untuk operasi tulang
dan menunggui di rumah sakit ortopedi, nyaris dua bulan penuh sebelum akhirnya
mati sia-sia. Suami keempat meninggal akibat penyakit gula. Suami kelima yang seorang
sopir truk pengangkut kelapa, mati kecelakaan di jalur pantura H-3 lebaran, dan
suami keenamnya meninggal lantaran sakit masuk angin mendadak.
Orang-orang kerap menyebutnya
perempuan bahu laweyan. Perempuan
yang setiap kali menikah, dipastikan suaminya akan meninggal. Dan, para lelaki
berikut para perangkat desa yang terpikat sekaligus tak pernah terikat padanya,
tak pernah berani untuk berhubungan kelewat jauh dengan perempuan itu. Takut
mati sia-sia. Anehnya, para istri di desa itu pun tak berani melabrak Mak Minji
ketika suami mereka diam-diam merajut kedekatan dengannya. Beredar kabar bahwa
Mak Minji memiliki kekuatan supranatural akibat status bahu laweyan yang disandangnya.
* * *
Beberapa kerabat tampak
berdatangan. Beberapa langsung menuju dapur melakukan persiapan. Seolah paham dengan keadaan, tak
perlu mempercakapkan lebih panjang perihal dengungan di mulut orang-orang,
mereka bekerja cekatan menyiapkan hidangan sementara Mak Minji bersiap pergi ke
toko bunga depan pasar kecamatan. Ada yang lupa dibelinya kemarin. Dan itu
menjadikan suasana separo gaduh dalam pembicaraan orang-orang.
”Apa macam hendak ia
beli bunga?” Ibu paruh baya yang sibuk memarut kelapa bertanya setengah
berbisik. Yang diajak bicara menoleh ke segala arah. Memastikan si tuan rumah
tak ada agar pembicaraan tak menuai bencana.
”Ah, mungkin bunga
setaman. Apalagi kalau tidak untuk sesajian. Tahu sendiri ’kan? Minji
tetap memikat ’kan karena pakai begituan ...” Jawab perempuan yang masih
kerabat itu. Tangannya yang tengah mengupas bawang terlihat berhenti. Seolah
menegaskan seriusnya ucapan.
”Ya, mungkin. Tapi bisa
jadi dia memiliki lelaku tertentu
seperti itu. Bukankah ia akan menikah? Biasanya ’kan begitu?” Seorang nenek
yang sibuk menyobeki daun pisang untuk alas besek kenduri sambil mengunyah
sirih, menimpali.
”Maksud Nenek, lelaku itu bertujuan agar suaminya kelak
akan mati juga? Dengan begitu Mak Minji mendapatkan tumbal bagi pesugihan-nya?” Kali ini perempuan si pemarut kelapa tadi bertanya dengan
berbisik.
Mak Minji memang dikenal
kaya. Setidaknya dari materi yang dimilikinya. Kilauan aneka perhiasan yang dikenakan,
serta perabot rumah yang bertekstur kekinian.
Menurut orang-orang, Mak
Minji yang jarang bergaul itu juga terkenal sebagai orang yang tidak pemurah.
Tak pernah ia bersedekah barang seribu perak. Kayu-kayu dari pelepah kelapa di
pekarangan rumah yang tak jarang jatuh sia-sia, tak pernah diberikannya kepada
para tetangga yang membutuhkan meski ia sendiri berkecukupan. Singkatnya,
hampir tak ada yang pernah dibuat senang oleh janda cantik itu. Anehnya,
orang-orang terlanjur percaya bahwa Mak Minji bukan orang sembarangan hingga
mereka tak berani berurusan panjang. Pun ketika mereka dimintai bantuan untuk persiapan helat,
hampir semua tetangga kiri-kanannya menyatakan sanggup.
* * *
Keesokan harinya,
suasana sederhana namun meriah, tumpah meruah di kediaman pengantin. Orang-orang larut dalam kesenangan berpesta.
Akad nikah berlangsung lancar. Sepasang mempelai yang tak lagi muda itu tampak sumringah.
Hiburan orkes ”organ tunggal” pun disuguhkan untuk menghibur tetamu. Biduan
cantik melenggak-lenggok menyanyikan lagu dangdut populer. Tak lupa lagu-lagu
Campursari kegemaran penduduk kampung.
Mak Minji menebar senyum
sarat arti. Begitu pun hadirin dan kerabat. Mereka larut dalam suka cita.
Seakan terlupa apa yang kerap mereka pergunjingkan akan pengantin perempuan.
Riang suasana itu tak sampai selesai. Orang-orang dikagetkan oleh Gayatri,
putri Mak Minji, yang jatuh pingsan tiba-tiba. Sontak alunan musik berhenti.
Seluruh mata memusat ke sumber kejadian. Tubuh Gayatri dipapah masuk. Upacara
sederhana itu disudahi sebelum waktunya. Dengungan terdengar di mulut
orang-orang. Tampak tetamu satu per satu meninggalkan ruang.
Mak Minji menangis
meraung-raung di samping tubuh Gayatri yang tak jua siuman. Suami barunya hanya
terpaku. Sebentar-sebentar resah. Pun begitu dengan sang menantu. Dalam kamar
itu mereka hanya berempat. Tangis Mak Minji barangsur-angsur reda. Tinggalkan sembab
dan titik yang berkaca-kaca. Hingga malam Gayatri masih terdiam meski napasnya
teratur. Saran dari keluarga dekat agar dipanggilkan mantri tak diiiyakan oleh
Mak Minji. Dijawabnya pasti nanti siuman sendiri.
Hati Mak Minji berdebar.
Di kamarnya harum bunga sedap malam menguar. Ini empat kali sudah Gayatri
pingsan. Selalu di saat ia melangsungkan pernikahan. Batin pengantin baru itu
ngilu. Kepalanya pening. Matanya sedikit berkunang-kunang. Mungkin karena keletihan
yang panjang usai perhelatan dan kebingungan yang mencekam, Mak Minji menyusul
Gayatri; pingsan!
Udara malam mengerudungi
desa itu. Menelusupkan dingin yang sangat ke pori. Suasana alam sunyi. Hanya
terdengar suara burung gagak di sudut desa, tak jauh dari hutan jati...
Kulonprogo, Agustus 2010
Keterangan cetak miring:
Bahu Laweyan: sebutan untuk orang yang setiap kali menikah,
pasangannya meninggal
Lelaku: semacam tirakat untuk beroleh tujuan tertentu
Pesugihan: kemakmuran yang diperoleh yang ditengarai bukan dari
hasil biasa
Sumringah: gembira teramat sangat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar